Jakarta, OG Indonesia -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan menilai tidak ada kemajuan signifikan dalam transisi energi terbarukan Indonesia selama 100 hari pertama kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Koalisi menilai sejumlah aspek dalam kebijakan transisi energi–yang mengacu pada rekomendasi delapan Quick Wins yang diserahkan kepada Tim Pertumbuhan 8% Prabowo-Gibran–bahkan mengalami kemunduran.
Kemunduran tersebut dapat terlihat dari langkah Presiden Prabowo yang justru memprioritaskan energi baru seperti hilirisasi batu bara, nuklir, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), dan gas. Padahal, dalam Quick Wins 2, Koalisi meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut. Sayangnya, Pemerintah bahkan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/2025 tentang Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional. Keppres itu meminta perbankan nasional untuk membiayai proyek hilirisasi.
“Langkah pemerintah mengintegrasikan energi baru dan energi fosil sebagai bagian dari kebijakan strategis adalah suatu kemunduran, karena kami justru merekomendasikan agar sumber energi yang problematis dihindari. Seperti nuklir, kita tahu itu berisiko tinggi dan berbiaya mahal, tapi pemerintah fokus mau membangun 5 gigawatt (GW) PLTN hingga 2040, dan ada 29 lokasi PLTN yang diusulkan Dewan Energi Nasional (DEN). Ini jelas menjadi rapor merah kebijakan energi dalam 100 hari pertama,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, Kamis (23/1/2025).
Koalisi juga menyoroti ketidakselarasan di dalam pemerintahan terkait rencana pensiun dini PLTU. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil, Presiden Prabowo telah menyatakan komitmen penghentian seluruh pembangkit listrik bertenaga fosil dalam 15 tahun ke depan. Namun, komitmen pensiun dini PLTU yang menekankan penghentian total (phase-out) tersebut kini bergeser menjadi pengurangan kapasitas secara bertahap (phase-down).
Peninjauan ulang program bahan bakar nabati (biofuel), seperti biodiesel 50% (B50) dan lebih tinggi, serta bioetanol 10%, juga tidak berjalan. Biofuel menjadi sorotan koalisi lantaran berisiko menciptakan dampak negatif jangka panjang dan bertolak belakang dengan komitmen global Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Namun, pemerintah gencar mempromosikan pembukaan lahan baru untuk pangan dan energi tanpa dasar kajian yang memadai.
Koalisi juga mendorong evaluasi program co-firing biomassa di PLTU, karena berisiko besar menjadi solusi palsu yang hanya memperpanjang ketergantungan pada PLTU batubara.
“Pemerintah perlu segera mengkaji ulang pelaksanaan co-firing, bila benar-benar ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan inklusif, tanpa harus menjadi beban bagi sektor hutan. Kami juga melihat implementasi co-firing penuh kecurangan, salah satunya meningkatkan tonase biomassa dengan dicampur air sebelum dibakar di PLTU. Praktik ini jelas merugikan negara dan membohongi publik,” jelas Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI).
Investasi Hijau
Quick wins lain yang juga direkomendasikan Koalisi yakni penerapan prinsip-prinsip lingkungan, sosial dan tata kelola (Environmental, Social and Governance/ESG) sebagai persyaratan mendapatkan perizinan investasi, demi menjamin inklusi sosial dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Namun, pemerintah belum menunjukkan langkah konkrit untuk mengimplementasikannya secara resmi, meski Presiden Prabowo telah meminta investor Amerika Serikat yang berinvestasi di Indonesia untuk menerapkan ESG.
“Penguatan dan implementasi prinsip dan standar ESG seharusnya menjadi prioritas yang dibenahi dan menjadi bagian dari sistem pertahanan negara dari resiko dampak sosial dan lingkungan saat ini maupun dalam jangka panjang,” ujar Indra Sari Wardhani, Plt Direktur Program Koaksi Indonesia.
Selanjutnya, Koalisi juga belum melihat kemajuan yang berarti terkait quick wins insentif pembiayaan peralihan ke energi terbarukan bagi pemberdayaan UMKM dan koperasi. Meskipun Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia telah berkomitmen mendukung UMKM dan koperasi dalam pelaksanaan transisi energi, implementasinya masih jauh dari memadai.
Koalisi juga mengkritisi upaya pencapaian target Net Zero Emission (NZE) melalui implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang belum juga terealisasi. Pasalnya, pemerintah masih memberikan Sertifikat Pengurangan Emisi-Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) bagi proyek-proyek bahan bakar fosil, seperti PLTGU. Koalisi mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan NEK dan memastikan proyek-proyek yang diperdagangkan di bursa karbon benar-benar terbukti menurunkan emisi GRK secara signifikan, bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata. RH