Sekitar 80 Persen Industri Baja Indonesia Gunakan Teknologi Tinggi Emisi

Foto: Ridwan Harahap

Jakarta, OG Indonesia --
Di tengah tren dekarbonisasi industri baja global, sekitar 80% industri baja Indonesia masih menggunakan tungku peleburan logam yang padat emisi, yakni teknologi blast furnace (BF) dan basic oxygen furnace (BOF). Industri baja harus beralih ke teknologi rendah karbon agar dapat bersaing di pasar global, mengingat valuasi ekspor besi dan baja telah lebih tinggi dari impor, dan Uni Eropa akan segera memberlakukan kebijakan  Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). 

Hal itu terungkap dalam laporan terbaru Centre for Research for Energy and Clean Air (CREA) bertajuk “Potensi Penuh Besi dan Baja Indonesia Bergantung pada Teknologi Rendah Karbon”. Mengacu laporan, investasi logam dasar Indonesia naik pesat beberapa tahun terakhir, dari US$ 14,8 miliar pada 2020 menjadi US$ 37,3 miliar pada 2023.

Dari Indonesia, investasi besar datang dari Gunung Steel Group, sementara investor asing termasuk China (Fuhai Group, Ansteel Group, dan Delong Group) dan Korea Selatan (POSCO). Namun, sebagian besar investasi ini justru masuk ke proyek-proyek pembuatan baja dengan teknologi BF dan BOF.

“Meskipun industri besi dan baja Indonesia telah muncul sebagai pemain global utama, ketergantungannya pada proses yang padat emisi, yaitu teknologi BF-BOF untuk pembuatan baja, masih menjadi penghalang bagi sektor ini untuk mengakses potensinya secara penuh,” kata Abdul Baits Dehana Padma Swastika, Peneliti CREA.

Apalagi, negara-negara lain di dunia telah dengan cepat beralih ke teknologi produksi baja rendah emisi, yakni teknologi Direct Reduced Iron (DRI) dan Electric Arc Furnace (EAF). Secara global, porsi EAF dalam kapasitas baru yang direncanakan meningkat dua kali lipat dari 41% pada 2021 menjadi 92% pada 2023. Bahkan, dua negara tetangga Indonesia menunjukkan investasi EAF yang lebih tinggi, yaitu Vietnam dengan kapasitas 17,2 juta ton dan Filipina 12,8 juta ton, dibanding Indonesia yang hanya 1,7 juta ton. 

Teknologi DRI-EAF memiliki potensi untuk menggerakkan industri baja menuju masa depan yang mendekati nol karbon melalui penggunaan material dan teknologi rendah karbon yang biasanya terhubung dengan jaringan listrik sehingga selaras dengan dekarbonisasi ketenagalistrikan. 

Teknologi DRI-EAF menghasilkan emisi lebih rendah, yakni hanya 1,37 ton CO2 per ton baja dibandingkan BF-BOF yang sebesar 2,33 ton CO2 per ton baja.  Oleh sebab itu, teknologi ini dapat menjawab tantangan penerapan CBAM oleh Uni Eropa mulai 2026 yang mengenakan biaya atau tarif pada produk impor dengan emisi karbon tinggi.  

“Kami sangat mendorong pemerintah memperkenalkan peta jalan teknologi dan kebijakan yang membatasi rute produksi yang bergantung pada batu bara, mendorong adopsi teknologi EAF, dan mempromosikan strategi efisiensi material di seluruh siklus hidup baja. Tindakan-tindakan ini akan menjadi sinyal bagi para investor untuk mengubah keputusan mereka, memposisikan industri dalam negeri memiliki daya saing, dan yang paling penting adalah menghindari risiko lock-in,” Baits menjelaskan.

Pasalnya, setelah semua proyek besi dan baja dalam perencanaan selesai dibangun, kapasitas nasional akan meningkat 125% untuk pembuatan baja dan 55% untuk pembuatan besi. Dari 24,5 juta ton kapasitas pembuatan baja dalam perencanaan, 22,8 juta ton menggunakan BOF, dan hanya 1,7 juta ton yang menggunakan EAF. Sementara, dari 5,8 juta ton ekspansi pembuatan besi dalam konstruksi, semuanya menggunakan BF. Saat ini, belum ada tungku DRI yang beroperasi di Indonesia.

Selain itu, CREA juga mendorong pemerintah menegakkan kebijakan perdagangan protektif yang ketat untuk memulihkan neraca perdagangan dan memastikan pasar yang adil dan kompetitif untuk industri besi dan baja. Hal ini mengingat, pasar nasional juga masih bergantung pada impor, yang menyebabkan kurangnya utilisasi kapasitas produksi industri lokal, yakni hanya 40-90% pada 2019-2023, sementara 35-40% dari total produksi dalam negeri diekspor.

Berikutnya, pemerintah harus memprioritaskan reformasi sektor ketenagalistrikan untuk memastikan ketersediaan listrik bersih dan hemat biaya. Hal ini mengingat, dekarbonisasi industri besi dan baja membutuhkan penghijauan jaringan listrik, yang menyiratkan pentingnya keberpihakan nasional terhadap percepatan pembangunan energi terbarukan.

"Indonesia harus memulai dengan memprioritaskan reformasi ketenagalistrikan dengan memanfaatkan listrik bersih yang hemat biaya untuk mendukung transisi industri baja. Pembangunan infrastruktur juga harus memastikan adopsi teknologi produksi baja nol emisi. Tindakan ini akan memungkinkan besi dan baja mempertahankan statusnya sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi sekaligus menindaklanjuti komitmen iklim Indonesia,” kata Katherine Hasan, Analis CREA. RH

Sekitar 80 Persen Industri Baja Indonesia Gunakan Teknologi Tinggi Emisi Sekitar 80 Persen Industri Baja Indonesia Gunakan Teknologi Tinggi Emisi Reviewed by Ridwan Harahap on Rabu, Desember 18, 2024 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.