Bandung, OG Indonesia -- Potensi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia masih terbuka sangat luas, meski energi fosil masih menjadi andalan. Hal ini terjadi karena produksi minyak bumi masih lebih kecil dibandingkan konsumsi masyarakat Indonesia.
Demikian diungkapkan oleh Wakil Menteri (Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung yang diwakili oleh Harris, Kepala Balai Besar Pengujian Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi dalam diskusi bertajuk "Mampukah Potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Jawa Barat Mendukung Kebutuhan Energi Nasional?" pada Sabtu (7/12/2024) di Bandung, Jawa Barat.
Diskusi energi diselenggarakan Forum Komunikasi Alumni (FORKOMA) dan Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Fakultas Teknik Geologi (FTG) Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Inovasi Nuklir dan Energi Baru Terbarukan, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (PUSPINEBT ICMI) Organisasi Wilayah Jawa Barat.
Menurut Kepala Balai Besar Survey dan Pengujian KEBTKE, Harris, saat ini pemenuhan kebutuhan energi di Tanah Air masih didominasi oleh sumber energi minyak dan gas (migas) dan batu bara sebesar 87%, sedangkan EBT berkisar 13%. "Yang perlu dicermati penggunaan minyak sekitar 30% dari total energi nasional yang dipergunakan untuk sektor transportasi," ucap Harris.
Sedangkan konsumsi minyak yang dibutuhkan sebesar 1,5 juta barel per hari. Padahal jumlah produksi nasional industri hulu minyak berkisar 600.000 barel per hari.
Harris menambahkan, Indonesia tidak hanya mengimpor minyak tetapi juga LPG. "Apalagi kebutuhan LPG sudah tinggi," kata Harris, seraya mengimbuhkan sektor batu bara yang ketersediaannya masih puluhan tahun lagi dan produksinya mencapai 700 juta ton per tahun (100 juta ton dipergunakan di dalam negeri) tetapi sektor ini dianggap menimbulkan terjadinya emisi gas rumah kaca.
Pada titik inilah relevansi dikembangkannya EBT yang diharapkan kelak dapat menggantikan peran batu bara serta dapat berperan besar sebagai lokomotif baru menuju swasembada energi. Harris mengatakan potensi EBT Indonesia masih cukup besar, di sntaranya energi surya, mencapai 3.294 Gigawatt (GW) dan pemanfaatannya 675 MW. Selain itu terdapat energi angin dengan potensinya sebesar 155 GW dan pemanfaatannya mencapai 152 MW. Sedang energi hidro potensinya 95 GW dan pemanfaatannya 6.697 MW.
Untuk potensi energi laut sebesar 63 GW dan pemanfaatannya 0 (masih dalam penelitian). Sementara untuk Geo Energi potensinya 57 GW dan pemanfaatannya 3.408 MW. Sedangkan potensi gasifikasi batu bara 0 dan pemanfaatannya 250 MW. Untuk panas bumi potensinya mencapai 23 GW dan pemanfaatannya mencapai 2.597 MW. Secara total potensi EBT mencapai 3.687 GW dan pemanfaatannya mencapai 13.781 MW. Berdasarkan data tersebut, peluang pengembangan EBT masih sangat terbuka luas.
Ketua IKA FTG Unpad, Surya Widyantoro mengatakan potensi EBT di Indonesia harus dimanfaatkan dan akan memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan energi nasional sehingga dapat menurunkan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
"Indonesia saat ini sangat bergantung pada bahan bakar fosil seperti minyak dan gas. EBT bisa mengurangi ketergantungan ini dan meningkatkan ketahanan energi nasional," papar Surya.
Potensi EBT Jawa Barat
Menurut Kementerian ESDM dalam Buku Potensi Panas Bumi, di Jawa Barat ada 11 wilayah yang ditetapkan sebagai WKP (Wilayah Kerja Panas Bumi). Ke-11 WKP tersebut diantranya WKP Cibeureum Parabakti, WKP Cibuni, WKP Cisolok Cisukarame, WKP Kamojang Darajat dan WKP Pangalengan.
Sementara itu, Direktur Pusat Pembinaan EBT ICMI Jawa Barat, Muhammad Irwansyah, mengatakan EBT merupakan pengelolaan energi dan proses alam yang berkelanjutan dan dijadikan sebagai energi alternatif serta bersifat ramah lingkungan, sehingga berkontribusi dalam mengatasi pemanasan global dan mengurangi emisi karbon dioksida.
"Penggunaan Energi baru dan terbarukan harusnya lebih ditingkatkan dan diimplementasikan secara berlanjut dan terus menerus melalui Konservasi Energi, Diversifikasi Energi dan Intensifikasi Energi guna mencapai 23% di Tahun 2025 dan 31% di Tahun 2050," kata Irwansyah.
Pembicara lainnya, Ai Saadiyah Dwidaningsih, Kepala dinas ESDM Jawa Barat, yang mewakili Pejabat Gubernur Jawa Barat, membawakan makalah berjudul "Potensi Energi Baru dan Terbarukan Jawa Barat dalam Mendukung Kebutuhan Energi Nasional". Dia menekankan tentang urgensitas transisi energi di tengah tantangan perubahan iklim global yang semakin mendesak.
"Jawa Barat memiliki potensi EBT sebesar 192 GW yang mencakup tenaga surya, panas bumi, biomassa, hidro, dan angin". Karena itu, Pemprov Jawa Barat menargetkan bauran EBT mencapai 24,15% pada tahun 2030 dan 70,29% pada tahun 2050," paparnya.
Walaupun demikian tatantangannya tetap ada. "Tantangan yang dihadapi mencakup keterbatasan kewenangan, oversupply listrik di jaringan Jamali, sifat intermiten EBT, serta kebutuhan investasi yang tinggi," ujarnya.
Untuk mendukung optimalisasi pengembangan EBT, lanjut Ai Saadiyah, Pemprov Jabar telah melaksanakan berbagai upaya, di antaranya melalui West Java Investment Summit untuk meningkatkan investasi, pembangunan PLTS skala komunitas, proyek waste to energy, efisiensi energi, peningkatan ekosistem kendaraan listrik, serta penciptaan Zero Emission Zone di kantor pemerintahan.
Langkah-langkah tersebut, tambah Ai Saadiyah, diharapkan dapat mendorong percepatan transisi energi di Jawa Barat sekaligus mendukung kebutuhan energi nasional.
Sedang Kepala Badan Geologi, Muhammad Wafid mengutarakan bahwa Jawa Barat memiliki 49 lokasi panas bumi dengan 6 PLTP yang berkontribusi sebesar 45% dari total listrik PLTP nasional.
"Proyek-proyek PLTP seperti Salak, Patuha, dan Darajat menjadi tulang punggung pengembangan EBT di Jawa Barat," ungkap Muhammad Wafid.
Dia juga mengutarakan bahwa pengembangan panas bumi menghadapi tantangan berupa area prospek kawasan konservasi dan Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS), risiko eksplorasi dan akses pendanaan, efisiensi biaya untuk harga listrik panas bumi yang kompetitif, dinamika sosial, demand kelistrikan setempat, dan threshold TKDN & PHLN," paparnya.
Sementara upaya untuk mengatasi hambatan tersebut mencakup percepatan eksplorasi pemerintah, menjalin kerjasama lintas sektor, serta penyediaan insentif pendanaan untuk proyek prioritas hingga tahun 2026.
Di samping itu untuk mendukung optimalisasi PLTP, lanjut Muhammad Wafid, diperlukan pengembangan PLTP low hanging fruit 2024-2026, PLTP untuk dedieselisasi PLTD, PLTP untuk eartly retirement PLTU, goverment drilling PT SMI, serta penawaran wilayah panas bumi.
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) – Jawa Barat, Hadi mengatakan potensi EBT di Jabar yang besar perlu diimbangi dengan regulasi yang kondusif terhadap para investor sehingga dapat menarik minat investor. Misalnya, terkait single buyer dapat memberikan harga kompetitif bagi pelaku bisnis EBT.
Jadi berdasarkan data-data tersebut, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa EBT Jawa Barat mampu mendukung kebutuhan energi nasional. RH