Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute saat memberikan paparan dalam diskusi "Ngobrol Migas Bareng Reforminer", Selasa (26/11/2024). Foto: Ridwan Harahap |
Jakarta, OG Indonesia -- Kebutuhan mendesak untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2017 tentang kontrak gross split dan PP No. 27 Tahun 2017 terkait insentif perpajakan sektor migas kembali menjadi sorotan. Regulasi tersebut dinilai sudah tidak relevan dengan tantangan hulu migas saat ini.
"Ketidakpastian global dan persaingan investasi yang ketat menuntut fleksibilitas lebih besar dalam kebijakan fiskal untuk menarik minat investor," ujar Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, dalam diskusi bertajuk "Ngobrol Migas Bareng Reforminer", Selasa (26/11/2024) malam.
Menurut Komaidi, salah satu poin utama yang disoroti adalah skema bagi hasil pada kontrak gross split. Pasal 17 dan Pasal 31 PP No 35/2017 dinilai tidak cukup fleksibel untuk mengakomodasi lapangan marjinal dan area sulit dijangkau. Selain itu, investor kerap mengeluhkan minimnya kepastian hukum terkait mekanisme pengawasan fasilitas perpajakan.
“Negara-negara lain memberikan insentif lebih kompetitif, seperti investment credit dan pembebasan pajak dividen. Jika Indonesia tidak segera berbenah, kita akan semakin tertinggal,” ujar Komaidi.
Reforminer Institute mencatat bahwa lapangan marginal membutuhkan insentif tambahan untuk menarik investasi. Salah satu opsi adalah percepatan depresiasi biaya proyek dan pengurangan pajak yang berbasis performa. Berdasarkan data SKK Migas 2024, dari total 166 wilayah kerja migas, sebanyak 65 basin masih belum dieksplorasi. "Minimnya insentif membuat eksplorasi lapangan baru tidak berjalan optimal," katanya.
Selain itu, tambah Komaidi, revisi PP No. 27 tahun 2017 juga diperlukan untuk meningkatkan daya saing di tengah ketidakpastian harga energi global. Harga minyak dunia yang fluktuatif terus mengancam keekonomian proyek, terutama untuk wilayah kerja dengan risiko tinggi. Komaidi menilai bahwa revisi regulasi ini dapat mencakup pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 100% serta pembebasan PPh untuk barang impor migas. "Investor membutuhkan fleksibilitas fiskal untuk menjaga keekonomian proyek mereka di Indonesia," tegasnya.
Transisi energi juga menjadi tantangan strategis yang membutuhkan penyesuaian kebijakan. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017, migas masih akan menyumbang 34-44% dalam bauran energi hingga 2050. Namun, insentif yang ada saat ini belum cukup mendukung proyek-proyek yang sejalan dengan energi rendah karbon, seperti gas alam dan panas bumi. Komaidi menyarankan perlunya insentif khusus untuk proyek-proyek ini agar tetap relevan dalam era transisi energi global.
Revisi PP No. 35 dan PP No. 27 juga dianggap penting untuk meningkatkan investasi di sektor migas. Data menunjukkan, realisasi investasi hulu migas pada 2023 mencapai USD 30,3 miliar, meningkat 11% dibandingkan tahun sebelumnya. Meski demikian, angka tersebut masih kalah dibandingkan dengan negara-negara pesaing yang memberikan insentif fiskal lebih agresif. "Reformasi regulasi diperlukan agar Indonesia dapat bersaing di tingkat global dan menarik investasi strategis," katanya.
Komaidi juga menjelaskan bahwa peraturan perpajakan juga menjadi perhatian utama, khususnya dalam memanfaatkan barang dan fasilitas milik negara. Pasal 26 dalam PP No. 35 Tahun 2017 memberikan izin penggunaan fasilitas bersama, seperti pengolahan lapangan, penyimpanan, dan pengangkutan, tetapi dengan pengawasan ketat. "Para pelaku bisnis menilai prosedur yang ada terlalu rumit dan tidak efisien. Penyesuaian mekanisme diharapkan dapat memberikan kepastian lebih besar bagi investor," terangnya.
Urgensi revisi regulasi ini juga muncul dari kebutuhan untuk mempercepat eksplorasi dan pengembangan lapangan baru. Data SKK Migas menunjukkan terdapat 43 undeveloped discoveries yang berpotensi menghasilkan 50 ribu barel per hari (bopd) jika dioptimalkan. Namun, pengembangan ini membutuhkan dukungan kebijakan yang lebih ramah investor. "Kita harus memastikan kebijakan kita relevan dengan kondisi pasar dan kebutuhan global," kata Komaidi.
Jika langkah revisi tidak segera dilakukan, lanjut Komaidi, proyeksi devisa impor migas akan terus meningkat. Reforminer Institute mencatat, kebutuhan devisa untuk impor migas pada 2023 mencapai Rp 380,4 triliun, dengan proyeksi Rp 1.391 triliun pada 2030 jika mengacu pada skenario RUEN. Kondisi ini bisa diperparah dengan ketergantungan pada impor karena tidak adanya eksplorasi baru.
Menurut Komaidi, reformasi regulasi hulu migas harus segera dilaksanakan untuk memastikan keberlanjutan sektor ini. "Indonesia memiliki potensi besar, tetapi tanpa kebijakan yang adaptif dan progresif, sektor migas kita akan kehilangan daya saing," ujar dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti ini. Dukungan pemerintah yang kuat dan sinergi dengan pelaku industri menurut Komaidi menjadi kunci untuk menjawab tantangan ini. RH