Perlu Komitmen Pemerintah dalam Pengembangan dan Pengusahaan Panas Bumi


Jakarta, OG Indonesia -- 
Pengembangan listrik panas bumi di berbagai negara mengalami kemajuan yang relatif lebih lambat dibandingkan jenis pembangkit listrik lainnya. Meskipun harga listrik panas bumi memiliki potensi untuk lebih murah, analisis dari Credit Suisse menunjukkan bahwa daya tarik bisnis sektor ini masih terbatas.

Hal tersebut disampaikan Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dalam webinar "Peran Penting Industri Panas Bumi Dalam Kebijakan Transisi, Ketahanan Energi dan Ekonomi Nasional" yang diadakan hari ini, Kamis (29/8/2024).

Menurut Komaidi, lambatnya pengembangan listrik dari panas bumi disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk tingginya biaya investasi awal yang diperlukan untuk membangun pembangkit listrik panas bumi, yang sering kali lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik lainnya. Selain itu, investor cenderung lebih tertarik pada pembangkit listrik berbasis fosil yang meskipun memiliki biaya operasional yang tinggi, namun dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan investasi awal yang besar pada pembangkit listrik panas bumi. 

"Lokasi pengembangan yang kurang fleksibel, karena hanya bisa dibangun di area tertentu, juga menjadi tantangan, sementara pembangkit listrik lainnya dapat dibangun di lokasi yang lebih bervariasi" jelas Komaidi. 

Lalu, kesulitan dalam menemukan sumber panas bumi yang tepat juga meningkatkan biaya eksplorasi, menambah hambatan dalam pengembangan sektor ini. "Oleh karena itu, lanjut Komaidi, mekanisme business to business belum sepenuhnya dapat diterapkan dalam pengusahaan listrik panas bumi, dan intervensi kebijakan masih diperlukan untuk mendukung pertumbuhan sektor ini," tegasnya.

Berdasarkan data, harga listrik panas bumi yang lebih murah tidak selalu menjamin atau menjadi faktor pendorong yang menentukan keberhasilan dalam pengembangan dan pengusahaan listrik panas bumi di suatu negara. Terdapat faktor lain yang lebih menentukan, salah satunya adalah komitmen pemerintah dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi itu sendiri.

Komaidi membuka data yang menunjukkan rata-rata harga listrik panas bumi di Amerika Serikat (AS) lebih rendah dibandingkan rata-rata harga listrik nasional negara tersebut. Akan tetapi, pengusahaan listrik panas bumi di Amerika Serikat justru relatif belum cukup berkembang. Kapasitas terpasang listrik panas bumi di Amerika Serikat sampai dengan 2023 dilaporkan baru sekitar 12,99% dari total potensi yang dimiliki. Produksi listrik panas bumi dilaporkan hanya sekitar 0,20 % dari total produksi listrik negara tersebut.

"Faktor penyebab industri panas bumi di Amerika Serikat relatif belum berkembang di antaranya adalah karena proses untuk menemukan cadangan panas bumi memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang cukup panjang. Proses perizinan usaha panas bumi di Amerika Serikat cukup panjang dan menjadi kendala utama. Salah satu masalah perizinan dalam pengusahaan panas bumi di Amerika Serikat adalah perusahaan diharuskan membuat environmental assessment," bebernya.

Kondisi berbeda terjadi pada negara Filipina yang tercatat cukup progresif. Sampai dengan 2023, kapasitas terpasang listrik panas bumi Filipina adalah sekitar 48,03% dari total potensi panas bumi yang dimiliki oleh negara tersebut. "Pengembangan panas bumi Filipina yang cukup progresif, tidak terlepas dari peran dan keseriusan pemerintah negara tersebut dalam mengembangkan EBET di negara mereka," ucap Komaidi. 

Kondisi Filipina pada dasarnya berbeda dengan sejumlah negara lainnya yang telah tercatat berhasil mengembangkan industri panas bumi seperti Islandia, Selandia Baru dan Kenya. Pada tahun 2023, porsi kapasitas pembangkit listrik berbasis EBET di ketiga negara tersebut dilaporkan telah mencapai 95,80 %, 90 %, dan 80 % dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik pada masing-masing negara.

"Sejauh ini kondisi pasokan listrik Filipina justru relatif sama dengan Indonesia yaitu sebagian besar produksi listrik dihasilkan dari pembangkit listrik berbasis fosil. Pada 2023, sekitar 74 % dari total kapasitas terpasang listrik Filipina merupakan pembangkit listrik berbasis fosil. Kondisi tersebut relatif sama dengan Indonesia, pada periode yang sama porsi kapasitas listrik berbasis fosil mencapai 85 % dari total kapasitas terpasang listrik nasional," ungkapnya.

Komaidi memaparkan, bentuk kebijakan yang dilakukan Filipina dalam mengembangkan industri panas bumi di antaranya melalui: (1) pengurangan porsi bagian pemerintah dari pendapatan kegiatan usaha panas bumi; (2) memberikan insentif fiskal melalui pengurangan pajak dan tax holiday, accelerated depreciation, dan bebas bea impor; (3) menerapkan kebijakan net operating loss-carry over pada industri panas bumi; (4) menerapkan kebijakan percepatan depresiasi dan penghapusan pajak pertambahan nilai untuk penjualan dan pembelian listrik panas bumi; (5) memberikan subsidi untuk pengembangan R&D industri panas bumi; (6) mempermudah ketersediaan data untuk pengembang panas bumi swasta; (7) melakukan inventarisasi dan identifikasi wilayah potensial untuk eksplorasi panas bumi; dan (8) perusahaan transmisi listrik nasional (TRANSCO) memberikan koneksi dan distribusi penuh terhadap proses jual-beli listrik panas bumi.

"Belajar dari pengembangan panas bumi di Filipina, kunci kesuksesan dalam pengembangan dan pengusahaan EBET khususnya panas bumi adalah komitmen dari para stakeholder pengambil kebijakan. Pemerintah Indonesia perlu melakukan intervensi kebijakan jika mengharapkan adanya peningkatan dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi di dalam negeri. Pengembangan dan pengusahaan panas bumi hampir dapat dipastikan akan berjalan relatif lambat jika hanya diserahkan pada mekanisme business to business," tutur Komaidi.

Dalam kesempatan yang sama, Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, menekankan pentingnya pengembangan energi baru terbarukan (EBT) panas bumi di Indonesia sebagai bagian dari upaya penurunan emisi dan mencapai target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. 

"Meskipun Indonesia memiliki cadangan panas bumi yang besar, yaitu sekitar 23 GW, pemanfaatannya saat ini masih relatif lambat dengan kapasitas terpasang hanya 10,3% atau sekitar 2.378 MW. Meskipun begitu, Indonesia tetap menjadi negara kedua terbesar di dunia dalam pemanfaatan panas bumi, setelah Amerika Serikat yang memiliki kapasitas 3.676 MW," terangnya.

Eddy Soeparno juga mencatat bahwa sekitar 85% dari kapasitas panas bumi yang terpasang di Indonesia dikelola oleh BUMN, seperti PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT PLN, dan PT Geo Dipa Energy. Menurutnya, dominasi BUMN dalam pengelolaan panas bumi menunjukkan peran penting negara dalam mengembangkan sektor ini, namun juga menyoroti perlunya percepatan pengembangan lebih lanjut untuk memaksimalkan potensi yang ada. Eddy menekankan bahwa percepatan ini tidak hanya penting untuk memenuhi target emisi dan NZE, tetapi juga untuk memanfaatkan sumber daya alam Indonesia secara optimal demi kesejahteraan masyarakat dan ketahanan energi nasional.

Dia menambahkan bahwa akselerasi pengembangan panas bumi di Indonesia memerlukan koordinasi dan kolaborasi yang kuat antara berbagai Kementerian, Lembaga, dan para pemangku kepentingan lainnya. Menurutnya, pengembangan energi panas bumi yang lebih cepat tidak bisa hanya bergantung pada satu pihak saja, tetapi membutuhkan sinergi yang menyeluruh dari semua sektor terkait.

"Kerja sama antara Kementerian/Lembaga, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Keuangan, serta BUMN seperti PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT PLN, dan PT Geo Dipa Energy, sangat penting untuk memastikan bahwa hambatan regulasi, pendanaan, dan teknis dapat diatasi dengan efektif," kata Eddy.

Investasi panas bumi cenderung menurun, tahun 2018 US$ 1,18 miliar, tahun 2023 sekitar US$ 740 Juta. Ini mengindikasikan bahwa bahwa kerangka regulasi yang ada belum cukup optimal dalam mendorong pengembangan panas bumi di Indonesia. Hal ini juga mencerminkan bahwa regulasi yang ada saat ini belum cukup ramah bagi investor. 

Eddy menyoroti urgensi untuk memperbaiki dan memperkuat kebijakan serta regulasi yang dapat memberikan kepastian dan daya tarik lebih bagi investor di sektor energi baru terbarukan, khususnya panas bumi, untuk memastikan peningkatan investasi di masa depan.

Oleh karena itu, Komisi VII DPR RI berkomitmen untuk menyelesaikan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) serta menyusun revisi kedua UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Selain itu, Komisi VII juga berperan dalam memediasi sinkronisasi antara Permenperin No. 54 Tahun 2012 tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Permen ESDM No. 11 Tahun 2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Langkah-langkah ini diambil untuk memperkuat regulasi dan meningkatkan daya tarik investasi di sektor panas bumi dan energi terbarukan lainnya.

Yudha Permana Jayadikarta, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) menghadapi tantangan besar dalam hal risiko eksplorasi dan kebutuhan investasi yang signifikan. Tahap eksplorasi, terutama pengeboran uji (test drilling), merupakan fase dengan risiko tertinggi, di mana biayanya dapat mencapai 15% dari total investasi dengan peluang kegagalan yang cukup besar. Investasi yang dibutuhkan untuk membangun PLTP berkisar antara 2,8 hingga 5,5 juta USD per MW, dengan sebagian besar dana dialokasikan untuk pengeboran (35%) dan konstruksi (38%). Fase-fase berisiko tinggi seperti presurvey, eksplorasi, dan test drilling menyerap sekitar 12% dari total investasi.

"Pengembangan energi panas bumi di Indonesia memerlukan dukungan politik yang kuat serta kebijakan yang mendukung, terutama untuk sektor hulu yang berisiko tinggi, guna mendorong percepatan industri ini, sebagaimana yang telah sukses dilakukan di sektor migas dan pertambangan. Dalam konteks ini, Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Harga Patokan Tertinggi PLTP perlu ditinjau kembali agar formula harga yang digunakan lebih sesuai dengan struktur biaya dan nilai keekonomian yang tepat bagi pembangkit panas bumi," ujar Yudha.

Selain itu, pemerintah harus memberikan kepastian pembelian serta jadwal yang jelas untuk memperkuat kepercayaan dan stabilitas bisnis bagi para pengembang panas bumi. Percepatan pelaksanaan program "Government Drilling" sangat penting untuk mengurangi risiko yang ada di sektor hulu PLTP. Kebijakan perdagangan karbon juga dapat menjadi solusi pendanaan yang potensial bagi energi terbarukan, namun pelaksanaan Perpres No. 98 Tahun 2021 harus lebih terlihat nyata dalam implementasinya.

Sinkronisasi kebijakan energi menurut Yudha perlu dipercepat untuk mendukung transisi energi yang berkelanjutan, dengan fokus khusus pada regulasi panas bumi. Lelang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) sebaiknya dilakukan secara selektif, khususnya untuk lapangan-lapangan yang telah terbukti potensial, guna mengurangi biaya eksplorasi dan risiko yang dihadapi, mengingat banyak proyek yang gagal akibat ketidakpastian offtaker dan tingginya biaya eksplorasi yang mempengaruhi keekonomian proyek.

"Oleh karena itu, perlu ada dorongan kuat dari pemerintah untuk mendanai eksplorasi melalui Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan, salah satunya dengan melibatkan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Perluasan pemanfaatan dana PT SMI untuk eksplorasi panas bumi dapat dilakukan melalui skema GREM maupun PISP, guna memastikan keberlanjutan pengembangan energi panas bumi di Indonesia," ucap Yudha.

Sedangkan Dina Nurul Fitria, Anggota Dewan Energi Nasional mengungkapkan pada tahun 2023, potensi energi panas bumi di Indonesia diperkirakan mencapai 23,4 GW. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang tertuang dalam Perpres No. 22 Tahun 2017, target kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) ditetapkan mencapai 7,2 GW pada tahun 2025, 9,2 GW pada tahun 2030, dan 17,5 GW pada tahun 2050. 

Saat ini, Direktorat Energi Baru dan Terbarukan tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), yang menargetkan transisi energi dengan puncak emisi antara tahun 2035 hingga 2045 dan mencapai net zero emission pada tahun 2060. Dalam RPP KEN, target untuk kapasitas PLTP adalah 4 GW pada tahun 2025 dan 15 GW pada tahun 2050. Namun, hingga Juni 2024, kapasitas terpasang PLTP baru mencapai 2,4 GW.

"Untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pemanfaatan energi panas bumi, diperlukan terobosan. Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah konsep Geothermal Exploration & Energy Conversion Agreement (GEECA), yang mencakup perizinan, pengadaan tanah, dan penyiapan situs untuk eksplorasi. Pengembangan panas bumi memang menghadapi tantangan signifikan, seperti biaya investasi yang tinggi dan risiko yang besar, terutama karena lokasi potensi energi panas bumi sering kali jauh dari konsumen listrik, sehingga memerlukan pembangunan infrastruktur pendukung. Selain itu, ketidaksesuaian antara kapasitas pengembangan dan permintaan listrik yang lebih rendah menyebabkan keekonomian proyek PLTP menjadi rendah," papar Dina.

Terdapat juga persepsi negatif masyarakat terhadap pengembangan panas bumi, yang sering dianggap sebagai kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan. Permasalahan ini diperburuk oleh pendayagunaan air dalam Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), serta sebagian area prospek PLTP yang berada dalam Kawasan Konservasi dan Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS).

"Untuk mendorong pengembangan panas bumi, perlu dilakukan penguatan regulasi dengan menyempurnakan peraturan terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), menyelaraskan regulasi seperti pemanfaatan panas bumi di wilayah konservasi, dan menyempurnakan regulasi terkait Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) agar prosesnya lebih efisien. Penyesuaian tarif dan pemberian insentif juga krusial, seperti memberikan insentif fiskal, pemboran sumur standar melalui program pemerintah, serta me-review harga beli listrik dan insentif tahunan," imbuhnya.

Selain itu, perubahan model bisnis dalam pengembangan panas bumi perlu dilakukan dengan cara melakukan de-risking melalui pembangunan PLTP skala kecil, membangun kerangka regulasi yang mendukung produksi awal, dan memasukkan risiko operasi dalam model bisnis. Penciptaan nilai tambah dapat dicapai dengan meningkatkan pemulihan dan optimalisasi produksi, serta mengurangi biaya investasi. 

"Selanjutnya, penciptaan sumber pendapatan baru dapat dilakukan dengan membangun rantai pasok yang menghasilkan aliran pendapatan ganda, menciptakan peluang off-grid, berpartisipasi dalam perdagangan karbon, dan memproduksi produk sampingan seperti hidrogen hijau, amonia hijau, dan mineral," pungkas Dina. RH


Perlu Komitmen Pemerintah dalam Pengembangan dan Pengusahaan Panas Bumi Perlu Komitmen Pemerintah dalam Pengembangan dan Pengusahaan Panas Bumi Reviewed by Ridwan Harahap on Kamis, Agustus 29, 2024 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.