Menyambut Implementasi Bahan Bakar Rendah Sulfur


Jakarta, OG Indonesia --
Pencemaran udara masih menjadi ancaman bagi banyak kota seperti Jakarta dan sekitarnya dengan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, terutama anak-anak; menyedot biaya medis, pemicu morbiditas dan mengancam bonus demografi. Di Jabodetabek misalnya, rata-rata tahunan konsentrasi PM2.5 berada pada level 38 hingga 46,1 Âµg/m3 (2017-2023) yang mencerminkan kategori kualitas udara tidak sehat.

Dampak emisi dari berbagai sumber terutama kendaraan bermotor, industri, domestik, open waste burning, proses konstruksi gedung, jalan dan lain-lain, power plant dan road dust berimplikasi pada tingginya pencemaran udara yang menyebabkan sakit/penyakit yang diderita oleh masyarakat sehingga menyebakan kerugian biaya medis. Warga DKI Jakarta misalnya biaya medis terkait pernafasan mencapai Rp 51,2T (UNEP, 2016).

Berbagai studi menunjukkan bahwa kendaraan bermotor merupakan sumber emisi pencemaran udara terbesar di antara berbagai sumber emisi di kawasan perkotaan. Beban emisi PM10 di Jabodetabek mencapai 14,88 juta ton/per tahun (KPBB, 2019) yang disumbang oleh sumber-sumber transportasi 47%, industri 20,24%, power plant 1,76%, rumah tangga 11%, road dust 11%, pembakaran sampah 5%, dan konstruksi bangunan 4%. 

Sementara beban emisi PM2.5 mencapai 10,71 juta ton/tahun yang disumbangkan oleh sumber-sumber dari transportasi 57%, industri 21,16%, power plant 2%, rumah tangga 7%, road dust 5%, pembakaran sampah 5%, dan konstruksi bangunan 3%.

Selain itu, kendaraan bermotor dengan basis old ICE technology powertrain dan utilisasi BBM fosil telah membebani monetary system dan berdampak pada defisit neraca perdagangan selama bertahun-tahun. Pasokan BBM nasional yang tidak mencukupi untuk kebutuhan BBM kendaraan bermotor mengharuskan kita impor bensin hingga 17 juta KL/tahun dan solar 5 juta KL (2020). 

Selain itu, produksi otomotif nasional yang berorientasi old technology menjadikan industri otomotif nasional tidak kompetitif di pasar global. Old technology, yaitu teknologi kendaraan di bawah Euro4/IV standard sudah tidak diminati secara global terkait kepentingan pengendalian emisi maupun kepentingan pertarungan dalam international trading yang menggunakan isu emisi sebagai trade barrier.

Penerapan PermenLHK No P20/2017 tentang Standard Emisi Kendaraan Tipe Baru (Euro4/IV Vehicle Standard) sangat strategis, baik dalam pengendalian emisi pencemaran udara, maupun dalam menciptakan persemaian demi memenangkan pertempuran auto-industry nasional di pasar global.

Dalam acara Stakeholder Consultation Meeting Persiapan Pasokan BBM untuk Euro4/IV Vehicle Standard di Mandarin Oriental Hotel Jakarta, Jumat (9/8/2024), Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB (Komite Penghapusan Bensin Bertimel) menegaskan, “Tanpa penerapan Euro4/IV dan 6/VI Vehicle Standard, maka pencemaran udara di JABODETABEK akan naik pada 2030”. 

Kenaikan pencemarn udara ini ditandai kenaikan beban emisi untuk parameter PM2.5/PM10, SOx, NOx, HC dan CO masing-masing sebesar 57%, 50,75%, 51,54%, 67,17% dan 66,02% sehingga total beban emisi mencapai 17,89 juta ton/tahun atau 49.032 ton/hari. Sementara dengan skenario adopsi Euro4/IV Vehicle Standard pada 2024 maka parameter PM2.5/PM10, SOx, NOx, HC dan CO masing-masing akan turun 76,56%, 99,67%, 47,19%, 68,86% dan 77,50%. 

Apabila skenario ini diperketat dengan penerapan Euro6/VI Vehicle standard pada 2028 maka masing-masing beban emisi parameter di atas akan turun 93,40%, 99,77%, 52,85%, 87,45% dan 79,75%. Penurunan berbagai parameter pencemaran udara di JABODETABEK tersebut akan menurunkan juga angka sakit/penyakit terkait pernafasan pada 2030, misalnya kasus pneumonia dan ISPA akan turun masing-masing 22% dan 8% apabila Euro4/IV Vehicle Standard diterapkan pada 2024; dan jika Euro6/VI Vehicle Standard diterapkan pada 2028 maka akan turun masing-masing 50% dan 20%. 

“Namun tanpa penerapan Euro4/IV dan Euro6/VI Vehicle Standard, justru kasus pneumonia dan ISPA masing-masing akan meningkat 19% dan 7%," demikian disampaikan dalam kesempatan terpisah oleh Prof Budi Haryanto dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

“Adalah mutlak menyediakan pasokan BBM yang memenuhi persyaratan teknologi kendaraan sesuai dengan standar emisi sebagaimana telah diatur pada regulasi Euro4/IV Vehicle standard," tambah Muhammad Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Selain untuk pengendalian pencemaran udara, penyediaan BBM yang memenuhi persyaratan teknologi kendaraan tersebut juga untuk mencegah kerusakan fuel pump, filter, injector dan catalityc converter yang sangat sensitif apabila terkena BBM kotor dengan kadar belerang tinggi. Injector misalnya akan tersumbat (clogging) apabila kendaraan diisi BBM dengan kadar belerang tinggi sehingga tidak berfungsi menciptakan pembakaran sempurna di ruang bakar mesin. Apabila rusak, maka injector ini harus diganti di mana harga per unitnya sekitar Rp 4,5 juta, sementara 1 unit mobil misalnya memerlukan 3 - 4 injector.

Rachmat Kaimmudin menambahkan, “Untuk pelaksanaan pasokan BBM Euro4/IV Vehicle Standard tersebut tidak akan berimplikasi pada kenaikan harga BBM di SPBU, namun akan dilakukan pembatasan penyaluran BBM bersubsidi hanya kepada yang berhak”. 

Pembatasan ini mengacu persyaratan teknologi kendaraan, yaitu tipe kendaraan tertentu yang secara teknologi sangat sensitif berpotensi mengalami kerusakan apabila diisi BBM yang tidak sesuai dengan engine technology requirement-nya.

Untuk itu, BBM bersubsidi akan dinaikkan kualitasnya sehingga Sulfur contentnya maksimal hanya 50 ppm dan dengan Angka Oktan min 91 (bensin) dan Angka Cetane min 51 (solar). Tentu saja ada kenaikan harga terkait up grade kualitas BBM tersebut, namun tidak signifikan dan akan ditanggung oleh (subsidi) Pemerintah, dengan catatan hal ini (subsidi) tidak berlaku bagi kendaraan tipe tertentu yang memerlukan spesifikasi BBM lebih tinggi (BBM super) seperti dibahas di atas. 

Jenis kendaraan yang memerlukan spesifikasi BBM super adalah kendaraan dengan rasio kompresi 9:1 ke atas termasuk 10:1, 11:1 dan 12:1, di mana kendaraan dengan spesifikasi seperti ini memerlukan bensin dengan RON di atas 92 dan atau solar dengan cetane number di atas 51 sebagai persyaratan teknologinya (engine technology requirement). Jenis kendaraan ini umumnya kategori kendaran menengah dan mewah.

“Pembatasan BBM bersubsidi untuk kendaraan menengah dan mewah justru sebagai upaya pencegahan kerusakan spare part kendaraan tersebut”, demikian lanjut Ahmad Safrudin.

Penggunaan bensin dengan RON dan atau penggunaan solar dengan cetane number di bawah engine technology requirement akan merusak ruang bakar mesin (combustion chamber) seperti keretakan piston, keausan ring seher (piston ring), piston arm bengkok; selain konsumsi BBM menjadi lebih boros hingga 20%.

“Pertamina siap untuk memasok kebutuhan BBM Euro4/IV Vehilce Standard dengan switched blending component of imported fuel pada Low Sulfur Fuel1, sekalipun untuk jangka panjang memerlukan modifikasi kilang”, demikian disampaikan oleh Wisnu M Santosa, SVP Fuel Development Pertamina. 

Untuk mendukung upaya kesiapan Pertamina, “Direktorat Jenderal MIGAS telah memformulasikan spesifikasi BBM yang memenuhi persyaratan Euro4/IV Vehicle Standard tersebut”, kata Yuki Haidir dari Direktorat Jenderal MIGAS Kementerian ESDM.

Kemal Rasyad dari Direktorat Jenderal ILMATE (Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika) Kementerian Perindustrian pun menyatakan, “Kementerian Perindustrian memastikan produksi otomotif telah berstandard emisi Euro4/IV”. 

Sementara Kukuh Kumara, Sekretaris Jenderal GAIKINDO menyatakan, “Kami telah memproduksi kendaraan Euro4/IV standard. Namun demikian perlu dukungan BBM yang sesuai dengan kebutuhan teknologi kendaraan bermotor”.

Hery Permana Asisten Deputi Koordinasi Bidang MIGAS, Pertambangan dan Petrokimia Kementerian Perekonomian menyampaikan, “Sedang dipersiapkan skenario BBM yang berkualitas dan berkeadilan bagi masyarakat”. Artinya berkualitas memenuhi persyaratan teknis kendaraan bermotor rendah emisi sekaligus dialokasikan hanya kepada yang berhak atas subsidi BBM ramah lingkungan ini.

Kristiyanto dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menegaskan, “Sepanjang menjadi kebutuhan (pengembangan kilang yang mampu memproduksi BBM untuk Euro4/IV Vehicle Standard), tentu pemerintah akan memfasilitasi (penyertaan modal pemerintah)”. Ini ditujukan tidak semata dalam pengendalian pencemaran udara, melainkan juga membangun ketahanan energi nasional dengan mengurangi ketergantungan pada BBM Impor dan mengatasi defisit neraca perdagangan.

Yusuf Nugroho dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan menyatakan, “Fasilitas uji tipe untuk Euro4/IV Vehicle Standard, bahkan Euro6/VI sudah siap”. Hal ini akan memberikan jaminan akan kebutuhan uji tipe kendaraan akan dapat difasilitas guna memberikan jaminan kendaraan dengan tingkat emisi yang valid.

Pasokan BBM yang memenuhi persyaratan teknologi kendaraan berstandar Euro4/IV mulai 17 Agustus 2024 adalah hadiah HUT Proklamasi RI ke 79 berupa BBM Ramah Lingkungan sebagai prasyarat pengendalian emisi pencemaran udara. Pasokan BBM ramah lingkugann (Low Sulfur Fuel) ini secara bertahap akan ditingkatkan hingga menyeluruh di JABODETABEK pada September 2024 dan dijadwalkan dapat menyeluruh di Pantura P Jawa pada 2025, P Jawa dan P Bali pada 2026 dan secara nasional pada 2027.

Dukungan Masyarakat Sipil pada Low Sulfur Fuel

Pada Workshop CSOs (Civil Society Organization) yang digelar oleh KPBB pada 6 Agustus 2024, dukungan dari kelompok masyarakat sipil demikian kuat untuk merealisasikan Low Sulfur Fuel ini. 

Gonggomtua Sitanggang dari ITDP menyatakan, “Prasyarat pengendalian pencemaran udara dengan adopsi teknologi kendaraan dan BBM ramah lingkungan adalah keharusan. Paralel dengan pengembangan skenario lalu lintas yang memungkinkan kelancaran jalan dan perubahan perilaku bermobilitas bagi warga dengan pilihan non-motorized mobility (berjalan kaki dan bersepeda) dan pemanfaatan angkutan umum masal”.

Amalia S Bendang dari ASPEKA (Asosiasi Pengguna Kereta) menyatakan “Saatnya diinsentif bagi pengguna kendaraan bermotor pribadi, setidaknya kewajiban penggunaan BBM yang sesuai dengan persyaratan teknologi kendaraan yang relativf mahal harganya sebagai bentuk disinsentif tersebut – dengan harapan menjadi pemicu beralih ke nonmotorized mobility dan angkutan umum masal”.

Sementara Julius Christian dari IESR menyatakan, “Up grade teknologi pada teknologi kendaraan rendah emisi dan dukungan BBM yang memadai kualitasnya tidak bisa ditunda lagi, agar potensi kenaikan pencemaran udara pada 2030 dapat dicegah”.

Sedangkan Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki menyatakan, “Perlu udara segar terbebas dari pencemaran agar animo masyarakat berjalan kaki meningkat guna menurunkan beban pemerintah dalam penyediaan sarana dan prasarana kendaraan bermotor. Dan itu hanya dimungkinkan jika BBM kotor dihapuskan segera”. RH

Menyambut Implementasi Bahan Bakar Rendah Sulfur Menyambut Implementasi Bahan Bakar Rendah Sulfur Reviewed by Ridwan Harahap on Senin, Agustus 12, 2024 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.