Abrar Ali, Ketua Umum SP PLN.
Jakarta, OG Indonesia -- Tiga calon presiden (Capres) yang akan berkontestasi pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang, dinilai memiliki pemahaman yang minim terhadap isu ketahanan energi listrik nasional. Buktinya, tidak satupun dari ketiga Capres tersebut yang pernah membicarakan soal energi listrik nasional.
Padahal pengelolaan energi listrik yang baik dan benar, akan menjadi modal utama pemerintah mensejahterakan masyarakat dan menjamin kelangsungan pembangunan pada tahun-tahun mendatang, sebagaimana yang saat ini tengah disuarakan para Capres tersebut.
“Kita sangat prihatin pada ketiga Capres yang akan berkontestasi pada 2024 mendatang. Tidak satupun yang membahas ketahanan energi listrik nasional. Padahal pengelolaan energi listrik yang baik dan benar saat ini, akan menjadi modal utama pemerintah mensejahterakan masyarakat dan menjamin kelangsungan pembangunan pada tahun-tahun mendatang, sebagaimana yang saat ini tengah disuarakan para Capres tersebut,” ucap Ketua Umum DPP SP PLN Pusat (Persero), Abrar Ali dalam siaran persnya, Rabu (22/11/2023).
Menurut Abrar, salah satu isu ketahanan energi listrik nasional yang perlu mendapat perhatian serius dari ketiga Capres tersebut adalah soal power wheeling. Saat ini, pemerintah sendiri mempertontonkan sikap plin-plan terhadap isu tersebut.
Pada Rapat Kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Senin (20/11/2023) lalu, Menteri ESDM, Arifin Tasrif menyatakan Pemerintah mendorong masuknya skema transmisi dan/atau distribusi listrik (power wheeling) ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang saat ini masih dalam tahap pembahasan.
“Padahal pada Januari lalu, menteri yang sama sudah menyatakan tidak ada power wheeling. Hal ini harus menjadi perhatian serius Presiden Jokowi saat ini. SP PLN meminta presiden jangan meninggalkan legacy, yang bisa memuat PLN ambruk di masa kepemimpinannya,” ungkap Abrar.
Sikap plin-plan pemerintah terhadap isu skema power wheeling, menurut Abrar, bukti pemerintah saat ini tidak memiliki konsep tata kelola energi listrik nasional yang baik dan benar.
"Kita berharap para Capres yang akan berkontestasi pada Pilpres 2024 mendatang harus memberikan perhatian serius terhadap tata kelola energi listrik tersebut. Perlu kami sampaikan, pengelolaan energi listrik yang salah akan menyebabkan pembangunan terhambat. Demikian sebaliknya. Artinya ada korelasi yang signifikan antara pengelolaan listrik dengan pembangunan nasional,” ungkap Abrar.
Masih menurut Abrar, isu soal power wheeling menjadi hal menarik ketika berbicara soal kesejahteraan masyarakat. Soalnya, skema ini (power wheeling) akan memicu tarif listrik yang mahal karena pembangkit listrik berbasis EBT yang dibangun swasta tentu akan lebih mahal.
“Tentu yang akan menanggung beban tersebut adalah konsumen dalam hal ini masyarakat secara umum. Padahal sebenarnya, saat ini pasokan listrik berbasis EBT dari PLN pun telah cukup untuk memenuhi kebutuhan energi listrik nasional, sehingga tidak perlu peran swasta untuk menambah pasokannya,” ungkap Abrar.
Karena itu, kata Abrar, pemerintah dan DPR tidak perlu lagi memaksa memasukkan skema tersebut ke dalam draf RUU EBET. Terlebih, skema tersebut sebelumnya telah dibatalkan di Mahkamah Konstitusi (MK) dari UU Ketenagalistrikan melalui putusan Nomor 001-021-022/2003. Selanjutnya melalui putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 MK pun memutuskan bahwa pola unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945. RH