Konservasi Hutan Kokolomboi, PEP DMF Berdayakan Masyarakat Adat Togong Tanga Berbasis Budidaya Lebah
Kepulauan Banggai, OG Indonesia -- Pertamina EP Donggi Matindok Field melakukan program inovasi sosial Kokolomboi Lestari yakni konservasi hutan dengan memberdayakan masyarakat Adat Togong Tanga, masyarakat adat Sulawesi, berbasis budidaya lebah (apikultur). Program ini untuk menjawab penurunan kualitas lingkungan akibat aktivitas masyarakat Desa Leme-Leme Darat, Kecamatan Buko, Kabupaten Banggai Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tengah dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan hasil hutan.
Jarak Desa Leme-leme Darat dari pusat Pemerintahan Desa sekitar 4 km, 120 km dari pusat Kabupaten Banggai Kepulauan, dan berjarak 674 km dari pusat pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis, Desa Leme-leme Darat berada di Pulau Peleng bagian barat yang berada 2 meter di atas permukaan laut. Terdapat satu dusun yang berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut yaitu Dusun Kokolomboi. Desa ini memiliki luas keseluruhan 600 hektar dengan luas pemukiman 8,5 hektar.
Data dari Pemerintah Desa menunjukkan 15,05% dari penduduk Desa Leme-leme adalah penduduk miskin. Mereka memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kegiatan pertanian dengan sistem ladang berpindah, illegal logging, merambah hutan, dan berburu satwa baik untuk kebutuhan komersil maupun konsumsi pribadi.
Degradasi hutan secara terus menerus memperlebar kesenjangan sosial karena banyak masyarakat yang bergantung pada ekosistem di dalamnya. Deforestasi ilegal telah mengakibatkan kondisi lahan sangat kritis. Data di Kabupaten Banggai Kepulauan menunjukkan kondisi lahan sangat kritis di wilayah hutan sebesar 144, 86 Ha, dan lahan kritis sebesar 28.026,87 Ha. Selain itu, kegiatan tersebut juga telah mengancam satwa endemik Pulau Peleng yakni Tarsius dan Gagak Banggai.
Program Kokolomboi Lestari turut melibatkan dan memberdayakan Masyarakat Adat Togong-Tanga yang merupakan suku asli Sea-Sea di Dusun Kokolomboi, Desa Leme-Leme Darat. Program ini mengintegrasikan 3 pendekatan di antaranya ecological approach, socio-economic approach, dan socio-cultural approach. Pendekatan ekologi/ ecological approach menjadi Langkah awal Perusahaan dan masyarakat untuk memperbaiki ekosistem dan rantai makanan satwa endemic yang ada di Kokolomboi.
Kegiatan untuk perbaikan ekosistem antara lain meningkatkan tutupan vegetasi dan pengkayaan pakan satwa melalui kegiatan pembibitan dan penanaman, zonasi kawasan hutan konservasi oleh Lembaga Adat Togong-Tanga, dan monitoring indeks keanekaragaman hayati secara rutin yang dilakukan melalui kemitraan dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banggai Kepulauan, KPH Pulau Peleng, Burung Indonesia, dan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia.
GM Zona 13 Benny Sidik mengatakan program ini merupakan inisiatif keberlanjutan perusahaan di bidang lingkungan, yang merupakan komitmen perusahan mendukung kinerja Environmental, Social & Governance dalam melaksanakan operasi produksi hulu migas. Melalui program, DMF juga mendukung agenda internasional Sustainable Development Goals khususnya tujuan no. 8 Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, no. 10 berkurangnya kesenjangan, no. 13 Penanganan Perubahan Iklim, dan no. 15 Ekosistem Daratan.
“Kami sangat memahami pentingnya peranan hutan sebagai upaya memerangi perubahan iklim dan mitigasi dampak bencana alam. Menurut kami, masyarakat adat dan masyarakat lokal adalah aktor utama dalam upaya konservasi hutan di lokasi mereka hidup. Peran perusahaan dan pemangku kepentingan lainnya mendukung melalui peningkatan kapasitas agar mereka hidup sejahtera dan mandiri, sehingga peran mereka dalam menjaga hutan akan lebih optimal,” ujarnya.
Untuk menjaga keberlanjutan program, kondisi ekonomi masyarakat juga perlu ditingkatkan melalui cara-cara yang ramah lingkungan dan linier dengan tujuan dari pelaksanaan program. Perusahaan bersama dengan para pemangku kepentingan yang lain kemudian menciptakan inovasi budidaya lebah madu batu dan dahan yang ramah lingkungan melalui inovasi rumah lebah batang palem. Melalui inovasi ini, kini para petani madu sudah tidak melakukan perusakan pohon dan tebing di kawasan Kokolomboi.
Budidaya lebah madu menjadi salah satu upaya rehabilitasi kawasan hutan mengingat peran lebah sebagai pollinator yang membantu penyerbukan tanaman di sekitar kawasan. Selain itu, budidaya lebah madu ini juga menjadi mata pencaharian masyarakat dari yang sebelumnya menjual kayu hasil hutan dan berburu satwa. Petani madu yang terlibat didalam kawasan taman Kehati kokolomboi mencapai 10 orang dengan kemampuan panen sebesar 800 – 1200 liter/ tahun.
Kelompok tani madu Kokolomboi turut melibatkan petani madu diluar Kawasan untuk memenuhi permintaan pasar, hingga saat ini sebanyak 245 anggota telah terafiliasi dengan kemampuan produksi sebesar 8.400 liter/ tahunnya.
“Jika sebelumya sumber pendapatan utama masyarakat berasal dari hasil pertanian (kacang dan ubi), berkat adanya program pengembangan masyarakat yang dijalankan oleh Perusahaan dan Pemerintah Daerah ini, kini masyarakat memiliki diversifikasi sumber pendapatan berupa budidaya lebah madu dan jasa wisata. Hal ini dapat mengurangi ketergantungan pada sumber daya tunggal dan membuat mereka lebih tangguh terhadap perubahan ekonomi atau alam yang tak terduga,” ujar Labi Mopok, penggerak kelompok budidaya madu.
Berdasarkan data kunjungan yang dikelola oleh Pengelola Taman Kehati Kokolomboi tercatat sebanyak 453 wisatawan domestik dan lebih dari 60 wisatawan mancanegara dari 22 negara yang memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat sekitar sebagai penyedia jasa lingkungan dengan ketentuan tamu domestik sebesar Rp 60.000/orang/hari dan tamu asing Rp 200.000/orang/hari.
“Program ini tidak hanya menghasilkan perbaikan ekonomi yang menjadikan masyarakat lebih mandiri dan berdaya, namun yang terpenting adalah transformasi perilaku kelompok binaan menjadi pejuang lingkungan,” ujar Field Manager PEP DMF Ridwan Kiay Demak.
Selain manfaat ekonomi, program ini telah memberikan dampak perbaikan terhadap lingkungan melalui restorasi lahan sebesar 4 Ha serta pemulihan ekosistem dengan penanaman 2.500 bibit flora endemik yang sekaligus dapat menjadi pengkayaan pakan untuk satwa endemik. Perbaikan lingkungan juga ditunjukkan dengan adanya peningkatan satwa endemik Tarsius Peleng dari sebelumnya 17 ekor menjadi 46 ekor dan peningkatan Gagak Banggai dari 1 ekor menjadi 8 ekor. RH