Kutai Kartanegara, OG Indonesia -- Jarum Mulyanto setengah berteriak, "Ke sini, ke sini, ada yang baru nih." Dia pun menunjukkan kotoran luwak yang masih berbentuk butiran biji kopi yang baru ditemukannya kepada OG Indonesia. Menurut Jarum Mulyanto yang merupakan Anggota Kelompok Tani Kampung Kopi Luwak Desa Prangat Baru (Kapak Prabu), tadi malam ada luwak atau musang yang membuang kotoran di lokasi itu. Jejak kaki luwak tersebut bahkan masih tampak jelas di tanah yang berlumpur.
Kelompok Tani Kapak Prabu memang selalu berupaya selaras dengan alam. Berupaya mengenali dan bersahabat dengan alam. Termasuk dengan hewan luwak yang tadinya kerap dianggap sebagai binatang pengganggu oleh warga. Di Kampung Kopi Luwak yang berlokasi di Desa Prangat Baru, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, luwak bahkan dilepasliarkan dan diambil manfaatnya lewat kotoran yang dihasilkannya. Orang tentu sudah banyak tahu, kopi yang dimakan dan dicerna luwak dan keluar dalam bentuk kotoran bisa bernilai ekonomi tinggi jika diolah menjadi produk kopi yang baik.
Kelompok Tani Kapak Prabu tidak berjalan sendirian, ada PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur Daerah Operasi Bagian Utara (PHKT-DOBU), salah satu anak perusahaan Pertamina Hulu Indonesia (PHI) yang terus konsisten melakukan inovasi dan pengembangan Kapak Prabu sebagai salah satu program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau CSR perusahaan.
Kapak Prabu merupakan program budi daya Kopi Liberika dan Kopi Luwak yang terus dikembangkan menjadi kampung ekologi dari tahun 2020 hingga kini. Terkait kebermanfaatan program yang kini semakin meluas, Ketua Kelompok Tani Kapak Prabu, Rindoni menjelaskan bahwa hingga tahun 2022, Kapak Prabu telah menanam 13.560 bibit Kopi Liberika di atas lahan seluas 27 hektare.
Selain milik Rindoni, area tanah tersebut dikelola oleh 34 petani kelompok Kapak Prabu lainnya. “Saat ini, puluhan warga dari dua tetangga desa Prangat Baru yaitu Desa Prangat Selatan dan Desa Makarti juga telah bergabung dan mereplikasi budi daya Kopi Liberika di wilayah mereka,” jelas Rindoni kepada OG Indonesia kala berkunjung ke Kampung Kopi Luwak, Selasa (14/11/2023).
Dalam perjalanan mewujudkan kampung ekologi, PHKT terus memberikan pendampingan dan pengembangan kepada Kapak Prabu. Tidak hanya di bidang kopi, akan tetapi juga penerapan teknologi ramah lingkungan, konservasi, hingga wisata.
“Berkat pendampingan dan pengembangan yang didukung oleh PHKT, selama beberapa tahun ini sudah cukup banyak tamu yang berkunjung dan belajar di Kapak Prabu, baik dari pemerintahan, lembaga, perusahaan hingga universitas di tingkat lokal, nasional, maupun internasional,” sambung Rindoni.
Head of Communication, Relations, & CID (CRC) PHKT Zona 10 Dharma Saputra menuturkan bahwa konsep kampung ekologi ini diharapkan dapat memberikan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas.
“Konsep kampung ekologi kita usung agar masyarakat tidak hanya dapat menikmati hasil atau produk Kopi Liberika dan Kopi Luwak saja, tapi juga bisa mempelajari ilmu dari mulai tata cara pembibitan hingga penyajian kopi, termasuk juga di dalamnya cara melakukan konservasi luwak, lebah kelulut, dan lainnya. Tentunya, semua proses tersebut dilakukan dengan mengedepankan prinsip ramah lingkungan,” jelasnya.
Sementara itu Manager Communication Relations & CID PHI, Dony Indrawan menyatakan bahwa PHI dan seluruh anak perusahaan dan afiliasinya berkomitmen untuk terus meningkatkan kapasitas serta kemandirian seluruh mitra binaan. Hal ini dibuktikan dengan terus dilakukannya upaya pendampingan serta dukungan berupa pengembangan kapasitas moril maupun materil kepada mitra binaan.
“Kami memilih strategi community development, di mana pengembangan kelembagaan kelompok merupakan kunci untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakaat mitra binaan secara berkelanjutan. Kami terus menjalin diskusi dan kerja sama terkait pengembangan program Kapak Prabu agar kebermanfaatannya dapat dirasakan secara luas di masyarakat,” ujarnya.
PHI melalui PHKT terus menjalankan berbagai program CSR yang mendukung pengembangan dan kemandirian masyarakat, selaras dengan upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). “Selain pendampingan, kami juga memberikan bantuan berupa alat pemanggang kopi (coffee roaster) dan memasang solar panel di rumah produksi kopi sebagai bagian dari komitmen kami dalam mengusung kegiatan ekonomi yang inovatif dan mendukung green energy,“ imbuh Dony.
Selama Program Kapak Prabu berjalan, program ini tidak hanya mampu menghasilkan nilai tambah ekonomi saja, namun juga mampu memberikan kontribusi terhadap serapan karbon sebesar 266,5 ton CO2 dan pelepasan 416 ton gas O² equivalent melalui program pelestarian lingkungan yang menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Perjalanan Program Kapak Prabu dimulai dari kerja sama antara Terminal Santan PHKT yang memberikan bantuan pupuk kompos hasil biogreening kepada Kelompok Petani Kopi Desa Prangat Baru. Biogreening sendiri merupakan fabrikasi sisa bahan baku limbah dapur non B3 yang diperoleh dari katering Terminal Santan. Kerja sama tersebut berlanjut hingga pengembangan budi daya Kopi Liberika dan Kopi Luwak satu-satunya di Kalimantan Timur. Seiring berjalannya waktu, potensi Kapak Prabu ini bertumbuh menjadi kampung ekowisata ditandai dengan dibentuknya kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Desa Prangat Baru.
Sejak dicetuskannya program Kapak Prabu, pola pikir masyarakat sekitar terhadap keberadaan hewan luwak secara perlahan mengalami perubahan. Awalnya masyarakat setempat selalu menganggap luwak sebagai hama pemakan ternak ayam milik warga.
“Dengan adanya pengembangan Kapak Prabu menjadi kampung ekologi, paradigma masyarakat terhadap luwak juga telah berubah. Kini masyarakat percaya bahwa luwak harus dilindungi kelestariannya, karena menghasilkan hubungan yang mutual sekaligus nilai ekonomi tinggi dari biji kopi yang dimakannya,“ tutup Dony. RH