Jakarta, OG Indonesia -- PT Adaro Indonesia (Adaro) diduga telah mengkriminalisasi PT Intan Sarana Teknik (IST) yang merupakan kontraktor pengelola limbah tambang Adaro di Kalimantan Selatan. Padahal pada tahun 2016, Adaro telah menandatangani kontrak dengan IST sesuai kaidah-kaidah bisnis yang berlaku. Kontrak tersebut didahului proses uji coba pada 2014 dan dan pilot project pada 2015.
Diungkapkan Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), selama pelaksanaan kontrak hingga 2020, IST telah memperoleh penghargaan Pengelolaan Lingkungan dari KESDM pada 2015, Trofi Keselamatan Pertambangan dari KESDM pada 2016 dan International Achievement Award (IAA) dari Industrial Fabrics Association International (IFAI) pada 2020. Selain itu, Adaro sendiri memberikan piagam penghargaan kepada IST sebagai kontraktor yang menerapkan teknologi Geotube Dewatering.
"Berbagai penghargaan tersebut tampaknya memang layak diberikan kepada IST mengingat teknologi yang digunakan, yakni Geotube Dewatering (GD) memang andal dan terbukti dapat menangani limbah tambah batubara Adaro. GD merupakan teknologi unggul yang merupakan inovasi dan temuan perusahaan anak bangsa yang membanggakan, yakni IST," ucap Marwan dalam diskusi secara daring dan luring yang bertajuk "Kriminalisasi Kontrak Pengelolaan Limbah: Ancaman Terhadap Inovasi dan Penerapan Teknologi" yang diadakan di Jakarta, Selasa (27/6/2023).
Selain Marwan Batubara hadir juga sebagai pembicara antara lain Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, Guru Besar FTUI Prof. Misri Gozan, Perwakilan ILUNI UI Fauzul Abrar, serta Suparlan yang juga Ketua Harian Iluni UI sebagai moderator.
Lebih lanjut Marwan menjelaskan, karena motif diduga bernuansa moral hazard, pada 2020 Adaro justru melaporkan Dirut IST, Ibnu Rusyd Elwahbi (IRE) ke Bareskrim Polri. "Akibat laporan yang sarat rekayasa, absurd, muatan kriminal, semena-mena khas oligarkis, dan tuduhan tanpa dasar ini, IRE telah dipenjara selama 10 bulan dalam tahanan Polri, Jl. Trunojoyo, Jakarta Selatan," ungkapnya.
"Adaro bersama lembaga penegak hukum lain, terutama Kejagung telah mendakwa IRE melakukan pelanggaran, yakni: a) melakukan penipuan berdasarkan Pasal 378 Jo Pasal 15 Jo Pasal 64 KUHP; b) melakukan tindak pencucian uang berdasarkan Pasal 3 Jo Pasal 10 UU TPPU No.8/2010," beber Marwan.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengadili perkara IST Mei - September 2022. Pada 7 September 2022, IRE diputuskan bebas murni karena terbukti tidak bersalah atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Putusan para hakim bulat, tanpa beda pendapat (dissenting opinion). Bahkan karena dakwaan JPU dianggap tidak relevan, sejumlah hakim mengusulkan agar perkara tersebut diselesaikan melalui peradilan perdata.
Karena gagal memenuhi keinginan di PN Jaksel, Adaro melalui JPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 2 Januari 2023. Ternyata dalam sidang kasasi yang tertutup, pada 31 Januari 2023, MA telah memutus IRE bersalah. IRE divonis hukuman penjara 13 tahun dan denda Rp 15 miliar. MA mengabulkan tuntutan JPU, bahwa IRE terbukti melanggar Pasal 378 KUHP (sanksi pidana maksimal 4 tahun) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU (dengan sanksi pidana maksimal 20 tahun).
"Ternyata arogansi dan kriminalisasi yang dilakukan Adaro terhadap IST/IRE bukan hanya melalui persekongkolan dengan lembaga penegak hukum seperti Polri dan Kejagung. Adaro juga telah bertindak semena-mena dengan menahan aset operasional milik IST yang bernilai sekitar Rp 35 - 60 miliar. Tagihan yang diajukan IST kepada Adaro sesuai kontrak, yang nilainya sekitar Rp 15 - 20 miliar pun tidak dibayar. Bahkan yang lebih fatal Adaro secara sepihak justru membajak teknologi GD temuan IST untuk mengelola limbah tambangnya," beber Marwan.
Sebelum menggugat IST, Adaro memang pernah berupaya “mengajak IST bekerjasama memanfaatkan teknologi GD”. Karena IST menolak dan kontrak IST telah diputus, maka Adaro membeli sebuah perusahaan untuk mengelola limbah tambang Adaro. "Ternyata perusahaan baru milik Adaro ini menggunakan teknologi GD temuan IST untuk mengelola limbahnya. Padahal dalam gugatan terhadap IST, Adaro telah menjadikan GD sebagai teknologi bermasalah yang menjadi salah satu dasar gugatan," ucap Marwan.
Dilanjutkan olehnya, IRESS perlu mengingatkan Adaro untuk bertindak profesional karena kerja sama Adaro dengan IST sebagai mitra bisnis diikat oleh kontrak. "Jangan karena berada dalam lingkar keuasaan, Adaro merasa leluasa berbuat sesuka hati dan dan berlaku zolim kepada IST," tegas Marwan.
"Mari kita review "prestasi" singkat Adaro. Rakyat perlu memahami Adaro diduga terlibat mencaplok lahan tambang Bukit Asam dengan kode wilayah KW 97 PP0350 di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Pencaplokan ini antara lain melanggar Keputusan Dirjen Pertambangan No.130K/23.01/DJP/2000 dan PP No.75/2001, serta merugikan Bukit Asam puluhan triliun rupiah," papar Marwan.
Dia melanjutkan, Adaro juga diduga terlibat praktek bisnis curang yang merugikan negara melalui modus transfer pricing ekspor batu bara ke luar negeri. Adaro menjual batubara ke anak usaha di Singapore dengan harga sekitar US$ 15 per ton untuk kontrak beberapa tahun. Padahal saat itu harga pasar batubara telah mencapai US$ 35 per ton. IRESS telah melaporkan kasus yang terjadi antara 2006 – 2008 ini ke KPK.
"Adaro termasuk pula dalam konspirasi sistemik merubah UU Minerba No.4/2009 menjadi UU No.3/2020 guna memuluskan perampokan SDA batubara yang bernilai ribuan triliun Rp. Sesuai PKP2B Adaro dengan pemerintah, kontrak eksploitasi batubara di wilayah kerja yang dikelola Adaro berakhir pada Oktober 2022. Menurut UU Minerba yang lama, jika kontrak berakhir, negara berhak menyerahkan pengelolaan tambang tersebut kepada BUMN. Namun karena konspirasi perubahan UU tersebut, Adaro akhirnya kembali menguasai SDA batubara tersebut, dan negara/rakyat dirugikan ribuan triliun rupiah," tuturnya.
Berbagai masalah tersebut menurut Marwan, "Menjelaskan bagaimana Adaro sebagai perusahaan oligarkis dapat leluasa, dengan cara melanggar hukum dan sarat moral hazard, mengambil keuntungan besar dari SDA milik negara. Karena itu, tak heran jika Adaro sangat arogan, serta menganggap hal yang lumrah dan remeh temeh jika ingin menindas dan mengkriminalisasi perusahaan kecil, seperti halnya IST dan hukuman 13 tahun yang dialami Dirut IST, yakni IRE."
Dia juga menilai, sepak terjang dan arogansi Adaro tersebut telah pula merambah lembaga-lembaga penegak hukum, yakni Polri, Kejagung dan MA. "Dalam hal ini, ketiga lembaga ini seolah berada di bawah kendali Adaro oligarkis. Bagaimana mungkin Adaro bisa merekayasa kasus perdata menjadi kasus pidana, dan delik pidananya pun telah digiring ke arah pidana TPPU, yang dikategorikan sebagai kejahatan serius, sistematis dan bersifat publik, serta merugikan negara, masyarakat dan merusak keuangan serta perekonomian negara?" tanya Marwan.
Marwan menegaskan, IST/IRE diyakini telah dikriminalisasi Adaro. "Tampaknya IST/IRE mengalami proses hukum tidak wajar, serta melibatkan mafia peradilan dan kekuatan oligarkis. Untuk itu, IRESS mengajak berbagai kalangan pro keadilan dan penegakan hukum, untuk bersama-sama melawan kejahatan sistemik, sarat konspirasi dan arogan ini. Kita harus bersikap untuk mengambil berbagai langkah konkrit dan berkelanjutan melawan arogansi kekuasaan oliarkis," ujarnya.
Dia juga mengingatkan Pemerintah dan DPR untuk menghentikan arogansi konspirasi oligarki yang telah merampok SDA milik negara secara sistemik. Demikian pula dengan Kejagung, Polri, MA dan KPK. "Namun yang terjadi adalah sebaliknya: perampokan aset negara berjalan mulus. Bahkan perusahaan milik rakyat, bisnis anak bangsa yang inovatif seperti IST, justru dikriminalisasi dengan arogan. Tampaknya Adaro demikian berkuasa. Oknum-oknum hakim di MA dan ASN di Kajagung pun tampaknya tunduk patuh menjalankan agenda oligarki tersebut. Rakyat perlu segera melaporkan oknum-oknum tersekut ke Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Kejaksaan," pungkasnya.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menegaskan sikapnya yang siap memanggil menajemen Adaro untuk menjelaskan secara detail terkait pengelolaan limbah produksi yang berujung pada kasus kriminalisasi terhadap inovator, IRE
Mulyanto mengatakan, dugaan kriminalisasi yang dilakukan Adaro terhadap IRE atas teknologi GD yang ditemukannya dapat menjadi sentimen negatif terhadap upaya memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di dalam negeri. Sebab inovasi yang digunakan secara bisnis oleh Adaro justru kemudian dijadikan alat untuk mengkriminalisasi IRE.
"Aparat hukum jangan main-main dalam kasus ini sebab semua harus didasarkan pada evident. Kalau perlu Adaro akan kita panggil ke Komisi VII untuk menjelaskan soal pengelolaan limbah itu," ujar Mulyanto dalam kesempatan yang sama secara daring.
Mulyanto berharap kasus kriminalisasi terhadap IRE dapat dilakukan peninjauan kembali (PK). Dia juga berharap dari PK ini nantinya bisa diketahui secara pasti terkait kasus yang menjerat IRE. "Perlu dilakukan PK berdasarkan argumentasi yang ada. Kami harap PK berlangsung transparan dan objektif tanpa intervensi kekuatan politik. Apalagi ini tahun politik jadi jangan main-main," pungkasnya. RH