Jakarta, OG Indonesia -- PT Patra Drilling Contractor (PDC), anak usaha PT Pertamina Drilling Services Indonesia (Pertamina Drilling) yang menjadi bagian Subholding Upstream Pertamina, menyelenggarakan kegiatan Compliance Preventive Program (CPP) pada Rabu, 17 Mei 2023, di Alamanda Tower Lt. 10, Jakarta.
CPP dengan tema “Your Act, Your Role, Matters: Penguatan GCG, Integritas, dan Budaya Kepatuhan Perusahaan” ini merupakan salah satu program edukasi dan sosialisasi PDC dalam upaya penguatan Good Corporate Governance (GCG) dan budaya kepatuhan perusahaan.
Direktur Operasi & Marketing PDC Apriandy Zainuddin menjelaskan, sebagai perusahaan jasa penunjang energi, sekaligus bagian dari anak usaha Pertamina Group, PDC berkewajiban mengimplementasikan dan menguatkan aspek-aspek GCG.
“PDC juga berkewajiban menerapkan budaya antikorupsi di lingkungan, tentunya disertai upaya riil pencegahan praktik-praktik gratifikasi dan korupsi,” terang Apriandy.
Penyelenggaraan CPP ini, lanjut Apriandy, harapannya bisa memperkuat komitmen segenap insan PDC dalam mengimplementasikan GCG, budaya kepatuhan, serta menjaga integritas.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diwakili Direktur Antikorupsi Badan Usaha (AKBU) KPK Aminudin, menjadi narasumber utama CPP. Membuka sosialisasinya, Aminudin mengingatkan kembali arti integritas dari Kamus Kompetensi KPK, yakni: bertindak secara konsisten antara apa yang dikatakan dengan tingkah lakunya sesuai nilai-nilai yang dianut. Nilai-nilai tersebut dapat berasal dari nilai kode etik di tempat dia bekerja, nilai masyarakat, atau nilai moral pribadi.
Seseorang melakukan korupsi, menurut Aminudin, bisa karena faktor tekanan, baik dari dalam diri dan perusahaan maupun eksternal. Kemudian, kesempatan akibat sistem yang lemah, pembenaran atas perbuatan korupsi tersebut, dan faktor kemampuan, misalnya karena ia memiliki jabatan, wewenang, dan otoritas, ataupun pengetahuan atas sistem.
Aminudin mengungkapkan, berdasarkan data penanganan perkara KPK tahun 2004 – Desember 2022, dari sisi profesi, pelaku tindak pidana korupsi dari dunia usaha/swasta menempati posisi terbanyak, yakni 373 orang. Disusul dari anggota DPR dan DPRD, eselon I/II/III, terus lanjut sampai ke duta besar (4 orang), dan polisi (3 orang).
“Jadi badan usaha menjadi salah satu bidang yang cukup rentan dengan tindak pidana korupsi,” lugasnya.
Aminudin menegaskan, korporasi harus mampu mencegah korupsi, karena sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016, korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana jika tidak melakukan upaya pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar, dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Sanksi bagi perusahaan yang tidak patuh terhadap peraturan, sehingga membiarkan terjadinya korupsi, sangat berat. Ini ditegaskan kembali Komite GCG dan Investasi Dewan Komisaris PDC, Dwi Siska
Dijelaskannya, PDC harus mampu menghindari korupsi, jika tidak ingin perusahaan terkena sanksi. Secara hukum, yakni denda, perampasan barang, uang pengganti/penyitaan, penutupan seluruh/sebagian perusahaan maksimal 1 tahun, penjara terhadap pengurus atau pekerja.
Sanksi komersial, terdiri dari pemutusan hubungan, disingkirkan dari peluang bisnis (blacklist), dan penentuan kondisi yang tidak menguntungkan. Serta sanksi reputasi, yakni hukuman melalui publikasi kasus spesifik dan hukuman melalui analisis perbandingan kerja.
Untuk memastikan, lanjut Siska, jajaran Dewan Komisaris, Komite Dewan Komisaris, Direksi, Manajemen, hingga seluruh Perwira PDC, mematuhi pedoman GCG dan Pengendalian Gratifikasi, PDC telah melaksanakan monitoring compliance online system (Compol’s) dan pelaporan LHKPN.
“Tetapi kesemua itu tidak akan berarti tanpa komitmen dan integritas kita semua untuk menghindari setiap bentuk tindakan korupsi dari diri sendiri. Seperti yang disampaikan Ibu Desiantien, Ketua Komite GCG dan Investasi Dewan Komisaris PDC, di Indonesia banyak orang pintar dan cerdas, namun pintar, cerdas, dan berintegritas tinggi itulah yang diperlukan oleh negeri ini,” tutupnya. RH