Jakarta, OG Indonesia -- Sampai saat ini penyesuaian harga BBM merupakan salah satu kebijakan yang dilakukan secara hati-hati. Penyesuaian -khususnya kenaikan- harga BBM sering menjadi opsi terakhir ketika berbagai pilihan kebijakan yang tersedia dinilai tidak dapat lagi untuk menyelesaikan permasalahan fiskal yang sedang dihadapi.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, upaya untuk melindungi daya beli masyarakat dan menjaga agar tingkat inflasi lebih terkendali, menjadi penyebab utama kebijakan penyesuaian harga BBM sering menjadi pilihan terakhir.
"Termasuk pada tahun anggaran 2023 pemerintah juga tampak akan lebih memilih untuk melakukan pengaturan/pembatasan konsumsi BBM RON 90 (Pertalite) dibandingkan menyesuaikan harga," ucap Komaidi dalam keterangannya, Minggu (21/5/2023).
Dia pun menguraikan pandangan dan catatan ReforMiner terhadap kebijakan penyesuaian harga BBM dan tingkat inflasi di Indonesia. Menurutnya, berdasarkan review ReforMiner, dampak inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan penyesuaian harga BBM selama periode 2022-2023 relatif terkelola. "Inflasi selama periode 2022-2023 tercatat masih berada pada level single digit. Sementara, kebijakan penyesuaian harga BBM yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya pernah tercatat dapat mendorong tingkat inflasi pada level double digit," ungkap Komaidi.
Dia melanjutkan, kebijakan penyesuaian harga jenis BBM Umum (non-subsidi) yang dilakukan secara berkala dengan besaran proporsional memberikan kontribusi positif terhadap tingkat inflasi yang lebih stabil. Selain telah berhasil membiasakan masyarakat atau konsumen dengan naik dan turunnya harga BBM, kebijakan penyesuaian harga jenis BBM Umum juga terpantau memperoleh respon yang baik dari para pelaku usaha dan sektor-sektor ekonomi pengguna BBM.
Penyesuaian harga BBM dengan Research Octane Number (RON) yang lebih rendah, jelas Komaidi, tercatat memberikan dampak inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dampak inflasi dari penyesuaian harga BBM dengan RON yang lebih tinggi. Hal tersebut salah satunya karena porsi volume konsumsi jenis BBM dengan RON rendah relatif lebih besar.
"Sebagai gambaran, realisasi porsi volume konsumsi jenis BBM dengan RON 88 dan RON 90 pada tahun 2021 mencapai 81,20% terhadap total konsumsi BBM jenis gasoline di Indonesia. Distribusi konsumsi BBM jenis gasoline di Indonesia pada tahun 2021 adalah RON 88: 10,51 %, RON 90: 70,70%, RON 92: 17,34 %, dan RON 95 + RON 98: 1,46 %," bebernya.
Untuk BBM jenis diesel, penyesuaian harga jenis BBM dengan Cetane Number (CN) yang lebih rendah juga tercatat memberikan dampak inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dampak inflasi dari penyesuaian harga BBM dengan CN yang lebih tinggi. Hal tersebut salah satunya juga karena porsi volume konsumsi jenis BBM dengan CN rendah relatif lebih besar
Komaidi menerangkan, distribusi porsi realisasi volume konsumsi BBM dengan CN 48 dan Biosolar pada tahun 2021 mencapai 96,89% terhadap total konsumsi BBM jenis diesel di Indonesia. Distribusi konsumsi BBM jenis diesel di Indonesia tahun 2021 adalah CN 48 + Biosolar 96,89 %, CN 51: 2,11 % dan CN 53: 1 %.
Lebih lanjut dia mengatakan, dampak penyesuaian harga BBM yang dilakukan oleh masing – masing badan usaha niaga BBM terhadap tingkat inflasi tidak sepenuhnya sama. "Data menunjukkan tingkat inflasi relatif lebih sensitif terhadap kebijakan penyesuaian harga BBM yang volume konsumsinya lebih besar," tuturnya.
Dia juga memberikan catatan bahwa pola dan periode penyesuaian harga untuk jenis BBM Umum yang dilakukan antar badan usaha niaga BBM tercatat tidak selalu sama. Ketika pada bulan tertentu terdapat badan usaha niaga BBM yang menaikkan harga, tidak selalu diikuti oleh badan usaha niaga BBM yang lain.
Sementara itu kebijakan penyesuaian harga BBM yang dilakukan sekaligus dalam persentase yang besar menurut Komaidi berpotensi memberikan dampak inflasi yang lebih tinggi dibandingkan penyesuaian harga yang dilakukan secara bertahap. Dipaparkan olehnya, dampak inflasi dari kebijakan penyesuaian harga sebesar 30% yang dilakukan secara bertahap selama enam kali masing-masing sebesar 5%, tercatat memberikan dampak inflasi yang lebih rendah dibandingkan dengan penyesuaian harga yang langsung dilakukan sekaligus sebesar 30%
Komaidi juga mengatakan, dampak inflasi dari kebijakan penyesuaian harga BBM RON 90 sebesar 30,71 % dan BBM CN 48 sebesar 32% pada awal September 2022 tercatat masih menjadi komponen utama penyumbang inflasi sampai dengan April 2023. "Rata-rata kontribusi inflasi dari penyesuaian harga BBM sejak Oktober 2022 – April 2023 tercatat sebesar 1,12% dari rata-rata total inflasi nasional periode yang sama yang dilaporkan sebesar 5,39 %," terangnya.
ReforMiner Institute juga menjelaskan bahwa Data Indeks Harga Konsumen (IHK) 90 Kota di Indonesia menunjukkan bahwa respon masing-masing daerah terhadap kebijakan penyesuaian harga BBM tidak selalu sama. "Hal tersebut tercermin dari besaran porsi BBM dalam komponen pembentuk inflasi pada masing-masing wilayah yang tercatat cukup bervariasi," lanjut Komaidi.
Mencermati data, informasi, dan temuan yang telah disampaikan pada poin-poin sebelumnya tersebut, ReforMiner menilai bahwa dampak inflasi dari kebijakan harga BBM akan lebih dapat dikelola jika kebijakan harga BBM dilakukan secara berkala dengan besaran yang terukur. "Termasuk dalam hal ini kebijakan penyesuaian harga untuk jenis BBM subsidi dan kompensasi," pungkasnya. RH