Jakarta, OG Indonesia -- Dalam rangka mengakselerasi transisi energi, Pemerintah Indonesia terus mendorong penggunaan energi baru terbarukan, salah satunya melalui Program Mandatori Biodiesel yang telah berjalan sejak tahun 2014 lalu. Per 1 Februari 2023 pemanfaatan biodiesel telah mencapai tahap B35 atau pencampuran 35% biomassa dari minyak sawit dan 65% minyak solar.
Melansir dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, implementasi B35 diharapkan dapat menyalurkan 13,15 juta KL biodiesel bagi industri dalam negeri. Selain itu, penggunaan B35 juga diproyeksikan dapat mengurangi impor minyak serta emisi gas rumah kaca sebesar 34,9 juta ton CO2.
Guna memperbanyak variasi biomassa untuk campuran biodiesel, tim peneliti dari Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Pertamina, I Wayan Koko Suryawan, dan Ariyanti Sarwono, beserta tim riset dari mahasiswa melakukan penelitian mengenai pemanfaatan ampas kelapa sebagai bahan bakar nabati yang bisa digunakan dalam pembuatan biodiesel.
“Dalam penelitian ini, kami berfokus pada penggunaan ampas kelapa hasil pengolahan produk santan. Sebagian kecil ampas tersebut biasanya diolah menjadi pakan ternak, sedang sisanya dibuang. Jika dibiarkan, limbah tersebut dapat mencemari sumber air tanah dan menimbulkan bau busuk,” jelas Koko, dalam wawancara daring, Rabu (12/4/2023).
Berdasarkan data tahun 2021 dari Food and Agriculture Organization, produksi kelapa di Indonesia mencapai 17,15 juta ton dan membuat Indonesia berada di urutan pertama negara penghasil kelapa terbanyak di Asia Tenggara. Produksi kelapa yang tinggi, berdampak pada jumlah limbah yang tidak sedikit.
Pada penelitian tersebut, Koko menambahkan, ampas kelapa sangat berpotensi diolah menjadi biodiesel karena ampas kelapa masih memiliki kandungan minyak kelapa sekitar 15-24% dari beratnya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Koko dan tim kepada beberapa penjual kelapa parut tradisional, rata-rata jumlah kelapa yang diparut dalam satu hari adalah 124 butir atau sekitar 49,6 kg. Jumlah tersebut menghasilkan 48 kg kelapa parut dan rata-rata ampas yang dibuang dalam satu hari sebanyak 20 kg.
“Berdasarkan perhitungan yang kami lakukan, 20 kg ampas kelapa dapat menghasilkan 3,04L bahan bakar nabati. Jika telah diolah menjadi biodiesel, dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar bagi mesin pemarut kelapa menggantikan bensin,” tambah Koko.
Dengan adanya pemanfaatan kembali, tentu opsi biodiesel berbasis ampas kelapa ini menjadi pilihan yang baik bagi para penjual kelapa parut karena mereka tidak perlu membeli bensin terus-menerus. Hal ini secara simultan juga bisa mengurangi emisi karbon yang dikeluarkan oleh mesin pemarut kelapa.
Sebanyak 11 mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan berpartisipasi secara aktif dalam riset ini. Hal ini merupakan bukti komitmen UPER dalam mempersiapkan mahasiswa agar tidak hanya menguasai teori, namun juga memiliki pengalaman konkret dalam melakukan penelitian. RH