Foto: Hrp
Jakarta, OG Indonesia -- Sebagai imbas dari agresif dan masifnya kegiatan hulu migas belakangan ini pasca pandemi Covid-19 serta demi mencapai target produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas sebanyak 12 BSCFD pada tahun 2030, dikabarkan pihak perusahaan KKKS kesulitan untuk mencari rig untuk mendukung kegiatan pengeboran migas yang mereka lakukan. Pihak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memperkirakan dibutuhkan sekitar 150 rig guna memenuhi target pengeboran sebanyak 991 sumur pengembangan dan 57 sumur eksplorasi pada tahun ini. Sayangnya, saat ini Indonesia baru memiliki sekitar 111 rig.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pemboran Minyak, Gas, dan Panas Bumi Indonesia (APMI) Suprijonggo Santoso, pengadaan rig memerlukan investasi yang cukup besar yang meliputi pembeliaan barang kapital utama maupun biaya pemeliharaan peralatan, belum lagi biaya operasi termasuk SDM-nya. "Sehingga perusahaan pemboran dihadapkan pada isu utama yaitu tentang pengembalian modal dan juga cash flow pada saat operasi," kata Suprijonggo dalam keterangannya kepada OG Indonesia, Selasa (11/4/2023).
APMI selaku asosiasi perusahaan pemboran, diterangkan olehnya, telah mengeluarkan Tarif Harian Operasi (THO) untuk pekerjaan rig dengan harapan bisa digunakan sebagai rujukan atau referensi bersama baik oleh perusahaan pengeboran maupun oil company dalam melakukan proses pelelangan/ kontrak. THO tersebut dibuat berdasarkan kalkulasi bagaimana agar industri jasa rig ini dapat beroperasi secara layak sesuai dengan standar internasional dan juga sehat secara keuangan bagi industri jasa pengeboran.
"Namun dalam kenyataannya, hingga saat ini baik pelelangan yang dilakukan maupun kontrak yang sedang berjalan tarifnya jauh di bawah THO yang dibuat APMI. Banyak penyebabnya kenapa hal ini terjadi, antara lain karena Owner Estimate (OE) yang dibuat oleh oil company memang sudah jauh di bawah THO dan sementara itu banyak Perusahaan Jasa Pemboran yang dalam kondisi kepepet mau nggak mau mengambil kontrak di bawah THO dimaksud hanya agar bisa tetep survive untuk membiayai over head tanpa ada sisa untuk melakukan pemeliharaan peralatan maupun investasi baru," bebernya.
Menurut Suprijonggo, persoalan sebenarnya sudah berlangsung cukup lama sehingga satu per satu perusahaan jasa pengeboran pun gulung tikar. "Sehingga kondisi seperti saat ini terjadi, di mana demand meningkat namun supply rig menurun," jelasnya.
Dia menambahkan, jika kondisi ini dibiarkan terus terjadi maka akan menjadi bumerang di masa mendatang karena tidak ada satu pun perusahaan jasa pengeboran yang bisa survive. "Untuk itu APMI memohon kepada oil company untuk dapat menggunakan THO yang dikeluarkan oleh APMI setiap tahun sebagai acuan/rujukan dalam penyusunan OE dan proses pelelangan hingga kontrak sehingga secara keseluruhan industri migas baik oil company maupun jasa pemboran ataupun jasa penunjangnya sehat semua," ucapnya.
"Kalau kita mau jujur paling mudah adalah melihat profit tahunan oil company yang luar biasa besarnya, sementara itu profit perusahaan jasa pemboran rata-rata dalam posisi negatif atau setidaknnya break even point. Hal ini menunjukkan kondisi yang kurang sehat dalam membangun keseluruhan industri migas nasional yang kuat dan berkelanjutan," pungkas Suprijonggo. RH