Surabaya, OG Indonesia -- Dalam lanjutan sidang kasus dugaan penggelapan BBM di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jumat (10/2/2023), Terdakwa Edi Setyawan yang menjadi saksi dalam perkara Nur Habid dan David Ellis Sinaga dan kawan-kawan mengungkapkan penerimaan uang hasil jual beli BBM selama ini tidak pernah diterimanya dari kantor Bahana Line tetapi dari luar.
Fakta menarik lainnya dalam sidang, saksi sekaligus terdakwa dalam perkara dugaan penggelapan BBM kapal laut, Edi Setyawan membongkar kembali perkara penyekapan dirinya oleh Direktur Utama (Dirut) PT Meratus Line Slamet Rahardjo.
Saksi mengakui bahwa upaya itu untuk memaksa saksi mau menuduh Direksi Bahana terlibat dalam penggelapan BBM tersebut. Tampaknya upaya dan motif ini sebagai rangkaian untuk alasan PT Meratus tidak membayar utang sebesar Rp50 miliar ke PT Bahana Line. Jadi terungkap fakta mencokot paksa Direksi Bahana oleh manajemen Meratus dilakukan dengan cara penyekapan terhadap saksi Edy.
Slamet Raharjo sendiri pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penyekapan Edi Setiawan yang tak lain adalah karyawan dari perusahaan pelayaran PT Meratus Line.
Penetapan Slamet sebagai tersangka terungkap dalam surat Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dengan nomor B/622/SP2HP.4/VIII/RES.1.24/2022/RESKRIM yang dikeluarkan oleh Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Namun sampai sekarang tidak jelas ujung kasus tersebut.
Menjawab pertanyaan Jaksa Estik Dilla soal asal muasal beberapa asetnya seperti yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP), yakni dari mana asal pembelian berupa 3 sertifikat hak milik (SHM) yang tersebar di beberapa tempat tersebut Edi menjawab, jika aset itu didapatnya dari hasil berbisnis motor Vespa.
"Saya dari dulu jual vespa. Saya pernah jual vespa sampai Rp350 juta. Saya beli Rp50 juta, lalu saya biarkan hingga 1 sampai 2 tahun, saya jual lagi sampai Rp350 juta. Jadi itu (aset) keuntungan vespa ditambah uang penghasilan istri juga," jelas Edi.
Ditanya soal aliran dana hasil penggelapan BBM yang dilakukannya, Edi menjawab dengan membenarkan sebutan jaksa yang membacakan BAP, jika sebagian uang itu digunakan untuk menyumbang pondok pesantren, masjid dan musala. Untuk Masjid saja, ia pernah menyumbangkan hingga Rp600 juta. Sedangkan musala hingga Rp150 juta dan sebuah ponpes di Kediri hingga Rp125 juta.
Edi juga mengakui jika sebagian besar uang itu digunakan untuk bersenang-senang di tempat karaoke, dan spa.
Terkait di mana sertifikat aset-aset yang dimilikinya itu, menurut Edi sudah diserahkan pada pihak PT Meratus Line pada saat ia sedang disekap oleh pihak PT Meratus Line.
"Saya serahkan pada Meratus, pertama pas saya disekap, kerugian ini suruh tebus nanti saya dikeluarkan dan tidak dilaporkan," ucapnya.
Saat itu ia meminta istrinya untuk membawa 3 SHM yang dimilikinya. Dengan harapan, dengan menebus ini akan dikeluarkan. Namun saat istri datang, tidak hanya diminta untuk menyerahkan SHM saja tapi juga diminta untuk tandatangan berkas yang tidak diketahui isinya.
"Saya minta istri bawa 3 SHM, dengan harapan dengan menebus ini, saya dikeluarkan, ternyata pas istri datang, disuruh tandatangan-tandatangan saja tapi tidak dikasih tahu isinya apa. (Kemana SHM nya saat ini?) Pas di Polda dua (SHM) dikasihkan, satu ditahan," ungkap Edi.
Sementara itu Kuasa Hukum David dkk, Syaiful Maarif meminta ketegasan atas pernyataan Edi, siapa pihak yang melakukan penyekapan pada dirinya itu, dan Edi dengan gamblang menjawab jika yang melakukan adalah Dirut PT Meratus Line Slamet Raharjo dan Auditor Internal Feni Karyadi. “Disekap lima hari oleh Pak Slamet (Dirut) dan Feni (Auditor Internal PT Meratus Line)," ujarnya.
Ditanya apakah hanya dirinya yang disekap? Edi menjelaskan tidak tahu pasti. Namun saat itu ia lalu dikumpulkan bersama dengan kawan-kawan lainnya. Namun Edy tidak tahu apakah kawan-kawannya disekap juga. Tapi yang pasti diintimidasi.
Soal beberapa surat pernyataan yang menyudutkan manajemen PT Bahana Line, Edi menjelaskan bahwa saat itu situasinya mendapat tekanan dan pemaksaan. Apalagi, saat penyekapan terjadi, PT Meratus Line juga melibatkan oknum polisi dan oknum TNI. Ia mengaku dipaksa membuat surat pernyataan dan isinya didikte oleh seseorang.
“(Waktu pemeriksaan ada TNi dan Polisi?) Ada yang bertanya, angkatan laut itu yang memaksa. Soal buat pernyataan saya ditekan karena ada yang mendikte," terangnya.
Edi juga mengaku pernah menghubungi Dirut PT Bahana Line Hendro Suseno melalui ponselnya. Awalnya, meski tersambung namun tidak diangkat. Yang kedua, pernah diangkat namun belum sempat mengutarakan maksud pembicaraan sudah ditutup dengan diarahkan agar berbicara dengan bawahannya saja untuk urusan operasional.
“Sekali tersambung tidak diangkat. Yang kedua tersambung dan diangkat, tapi belum sempat ngomong sudah disuruh ngomong sama bawahannya," kata dia.
Ditanya hakim Sutrisno, apakah dengan mengarahkan pada bawahannya ia mengasumsikan bahwa Hendro tahu maksudnya dan dijawab iya oleh Edi.
“Jadi dengan dia mengarahkan pada bawahannya anda mengasumsikan bahwa Hendro tahu maksud anda gitu ya,” tanya ketua hakim Sutrisno.
Soal penentuan harga BBM hasil penggelapannya, diakui tidak ada campur tangan dari petinggi manajemen PT Bahana Line. Sebab, selama ini harga ditentukan oleh KKM dan dibayarkan oleh terdakwa David dan Dodi saja.
“Tidak pernah ketemu pimpinan Bahana, hanya bertemu dengan (terdakwa) David dan Dodi. Yang menentukan harga adalah KKM," tuturnya.
Sebelumnya, Direksi Bahana Ratno Tuhuteru dalam kesaksiannya mengungkapkan jika awal berbisnis bertemu pemilik Meratus Charles Manaro dan selalu lancar.
Namun Ia merasa geram ketika ada kasus ini, Dirut Meratus dan Auditor Fenny Karyadi selalu berusaha mengkaitkan direksi Bahana dengan ulah anak buahnya sendiri di Meratus. Bahkan Ratno sempat mengancam akan nenempuh jalur hukum memperkarakan Slamet dan Feni. Akhirnya kesaksian Edi kali ini makin membuka fakta jika semua upaya membidik Direksi Bahana melalui cara pemaksaan dan penyekapan.