Surabaya, OG Indonesia -- Dalam sidang ini kasus dugaan penggelapan bahan bakar minyak (BBM) di Pengadilan Negeri Surabaya makin terungkap motif hindari bayar utang dari PT Meratus Line yang berusaha mengkaitkan Direksi PT Bahana Line dalam kasus internal karyawannya. Bahkan saking geramnya, salah satu saksi yang juga Direksi PT Bahana Ratno Tuhuteru mengancam akan mempolisikan Dirut Meratus Slamet Rahardjo dan internal auditornya Fenny Karyadi.
Dalam persidangan yang menghadirkan tiga orang manajemen dan satu pengawal keuangan PT Bahana Line itu, mereka hadir sebagai saksi dalam perkara dugaan penggelapan BBM yang dilakukan oleh 17 oknum karyawan PT Meratus dan Bahana.
Keempat saksi yang dimintai keterangannya di Pengadilan Negeri Surabaya yang berlangsung pada Senin (6/2/2023) itu antara lain, Direktur Utama PT Bahana Line Hendro Suseno, Direktur 1 Ratno Tuhuteru, Komisaris Sutino Tuhuteru, dan Sultan dari bagian Pengawalan uang ke bank.
Dari keempat saksi tersebut, tidak satu pun yang mengetahui adalah perkara dugaan penggelapan oleh oknum karyawan kedua perusahaan, hingga mereka dipanggil polisi untuk dimintai keterangan.
Sidang yang berlangsung sampai malam itu semakin menguatkan jika motif tidak membayar utang ke Bahana Line terjadi di balik kelemahan manajemen PT Meratus terhadap karyawannya sendiri.
Dalam kesempatan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Estik Dilla dan Jaksa Uwais Deffa awalnya menanyakan mengenai job description masing-masing saksi. Secara bergiliran, keempat saksi menerangkan mengenai kewenangan jabatan masing-masing. Usai menanyakan job description para saksi, jaksa lalu mulai bertanya mengenai perkara hingga mereka menjadi saksi dalam kasus ini.
Secara seragam, masing-masing saksi awalnya tidak mengetahui permasalahan 17 orang terdakwa itu, hingga pada waktu tertentu mereka dimintai keterangan polisi dalam perkara penggelapan BBM yang menjerat para oknum karyawan kedua perusahaan.
Saksi Ratno Tuhuteru mengatakan dalam sidang tersebut bahwa dirinya sangat geram dengan cara Dirut Meratus Slamet Rahardjo dan Fenny Karyadi yang memaksakan mengkaitkan dirinya terlibat, padahal tidak ada bukti sama sekali. "Kami sedang mempertimbangkan untuk melaporkan secara Pidana tuduhan tersebut," ucapnya.
Menurutnya, secara sengaja PT Meratus terus mengorder minyak tanpa mau membayar sampai senilai Rp50 miliar. Internal audit PT Meratus yang awalnya mengaku rugi Rp501 miliar kemudian Rp94 miliar dan berubah jadi Rp93 Miliar juga disebutnya sangat aneh.
Dan lebih aneh lagi, dia juga memasalahkan penghasilan dirinya mencapai Rp6 miliar dan Dirut PT Bahana Line Rp14 miliar selama tiga sampai empat tahun berjalan. "Selama ini kami melayani sebagai priority customer malah menggerogoti dengan ngemplang utang. Sampai Dirut kami suruh stop melayani karena sudah sampai Rp50 miliar tidak dibayarkan," ungkapnya.
Menjawab pertanyaan jaksa, Ratno mengaku awalnya tidak tahu terkait hal tersebut dan baru tahu setelah ada pemeriksaan soal penyelewengan BBM tersebut. "Awalnya saya tidak tahu, baru tahu ketika adanya pemeriksaan polisi soal penyelewengan BBM," ujar Ratno dijawab anggukan kepala oleh ketiga saksi lainnya.
Pada awal persidangan Ratno sempat menjelaskan, bahwa sebagai Direktur yang membidangi pengawasan, dirinya tidak pernah mencium adanya ketidak
beresan dalam berbisnis dengan PT Meratus Line. Apalagi selama menjabat, hubungan bisnis perusahaannya dengan PT Meratus selalu berjalan dengan baik.
"Selama ini ya baik-baik saja. Apalagi, Meratus ini termasuk customer priority sampai akhirnya tidak mau bayar Rp50 miliar," ucapnya.
Ketidakberesan dengan PT Meratus mulai muncul saat 20 Desember 2021, kata Ratno, saat mereka tak lagi mau membayar tagihan BBM dengan berbagai alasan tetapi terus mengorder. Bahkan pihaknya sempat terus memasok kebutuhan BBM PT Meratus hingga mencapai nilai tagihan sebesar Rp50 miliar lebih.
Pada batas itu, Dirut PT Bahana Line, Hendro Suseno sempat marah dan menghentikan pasokan BBM ke Meratus. "Iya saya sempat marah-marah, lah tidak dibayar kok masih disuplai BBM-nya. Tanpa mengindahkan hubungan, kami yang harus juga memikirkan perusahaan terpaksa menghentikan pasokan tersebut," ujar Hendro.
"Cash flow kami dengan Meratus sekitar Rp30 miliar sampai Rp 35miliar saja. Kebiasaan dari Meratus tidak seperti itu, karena kemampuan tidak cukup kami stop, ketika kami nagih tahu-tahu seperti itu (bermasalah)," lanjutnya.
Selama ini dalam hal pembayaran, Meratus selalu berpatokan pada flowmeter miliknya. Sehingga, dalam perkara ini dapat timbul Purchasing Order (PO) dua kali. Pertama sifatnya order estimasi, yang kedua berbasis catatan riil dari flowmeter PT Meratus.
"Meratus berpatokan pada masflowmeternya dia, jadi dia akan bayar sesuai masflowmeter sesuai dengan angka yang diterima. Semua pakai standar dia tapi tetap tidak mau bayar," lanjutnya.
Saat ditanya apakah selama ini sudah berupaya menagih ke Meratus? Ratno menyatakan sudah berkali-kali mencobanya, bahkan sempat bertanya langsung pada manajemen Meratus, namun selalu mengelak membayar dengan berbagai alasan.
Ade Dharma, Pengacara Oknum Karyawan PT Meratus Line dalam sidang terpisah, sempat beberapa kali diperingatkan Ketua Majelis Hakim Sutrisno. Salah satunya pada momen ia mengejar keterangan Edy Setiawan, terdakwa yang pada saat itu menjadi saksi.
Ade sempat mempertanyakan mengenai penghasilan saksi Edy terkait penjualan BBM ilegal tersebut. Pada awalnya, Edy menjawab per bulan dapat mengantongi Rp50 juta hingga Rp80 juta, bersih.
Keterangan Edy ini sempat dibantah oleh Ade dengan membenturkannya pada keterangan Edy dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di Kepolisian. Dalam BAP, diterangkan Edy dapat meraup Rp450 juta per bulannya. Namun hal itu langsung dibantah Edy. "Jadi mana yang benar, dalam BAP anda menerangkan demikian," sergah Ade.
Edy menjawab bahwa keterangannya dalam persidangan lah yang benar. Jawaban Edy ini terkesan masih belum dapat diterima Ade. Namun, Hakim Sutrisno mengingatkan Ade jika Edy pada saat ini tidak boleh ditekan karena kapasitasnya adalah saksi.
Teguran hakim selanjutnya terjadi ketika Ade berusaha mengejar pembenaran soal aset harta benda milik Edy yang diterangkannya seperti dalam BAP. Ade menyebut, ada sejumlah uang dan beberapa sertifikat yang didapat Edy dari hasil penggelapan BBM ini. Namun, Edy yang istrinya pernah melaporkan kasus penyekapan dirinya di KP3 Perak dengan tersangka Dirut PT Meratus Slamet Rahardjo itu lagi-lagi berkelit, jika sebagian harta miliknya yang disita polisi bukan dari hasil penggelapan BBM.
"Dari Dodik dan David (terdakwa lain), berupa uang tunai Rp570 jutaan dan satu sertifikat (tanah) di Putat Jaya. Kalau sertifikat di Sukamanunggal itu punya (saya) lama. (Sertifikat) di Petemon punya istri, bukan pemberian Dodi dan David. Di Driyorejo juga punya istri," bener Edy.
Tak terima dengan jawaban Edy ini, pengacara Ade lalu meminta pada Edy agar mendekat pada meja jaksa untuk ditunjukkan keterangannya dalam BAP. Tindakan Ade ini lagi-lagi mendapat teguran dari Ketua Majelis Hakim Sutrisno.
"Jangan salahkan kami kalau itu tidak tercatat nantinya. Karena ini bukan ruang diskusi. Ini persidangan, ada kami (hakim) disini," tegas Hakim Sutrisno.
Perkara terkait karyawan KKM Meratus yang diperiksa terpisah dengan tiga kelompok terdakwa lainnya ini agak unik karena terkesan tim penasihat hukum bukan berjuang untuk meringankan terdakwa tetapi memilih mewakili kepentingan lain. Akibatnya, karena janggal beberapa kali terlihat diingatkan majelis hakim.