Jakarta, OG Indonesia -- Rencana privatisasi melalui skema penawaran saham perdana, Initial Public Offering (IPO) dari anak-anak usaha BUMN, terutama Pertamina dan PLN, telah dinyatakan secara terbuka oleh Menteri BUMN Erick Thohir pada 20 Januari 2020. Saat ini proses IPO yang dimotori oleh Kementerian BUMN tersebut telah memasuki tahap akhir dengan melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).
Salah satu proses IPO yang paling dekat saat ini adalah terhadap PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). "PGE yang 100 persen sahamnya dimiliki Pertamina, adalah penyelenggara usaha bidang panas bumi penghasil tenaga listrik yang 100 persen dayanya dijual kepada PLN. Kementerian BUMN rencananya akan menjual 25% saham PGE, yang dikatakan bertujuan untuk memperoleh dana murah, meningkatkan transparanasi dan akuntabilitas, serta berbagai alasan lain," ucap Marwan Batubara, Koordinator Koalisi Rakyat Menolak Privatisasi BUMN dalam acara diskusi publik “Rakyat Menolak Rencana Privatisasi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dan Anak-Anak Usaha Pertamina Terafiliasi”, di Jakarta, Rabu(15/2/2023).
Turut hadir dalam acara tersebut sejumlah pembicara dari koalisi rakyat, seperti Sri Edi Swasono (Guru Besar UI), Mukhtasor (Guru Besar ITS), Daniel M Rosyied (Guru Besar ITS) Juajir Sumardi (Guru Besar Unhas), Said Didu (Mantan Sekjen Kementerian BUMN), Anthony Budiawan (PEPS), M Mursalin (CSIL) Arie Gumilar (FSPPB), Ugan Gandar (Pengamat Migas), Faisal Yusra (KSPMI), Rifqi Nuril Huda (DEM), Sutrisno (FSPPB), dan Muhsin Budiono (FSPPB).
"Terlepas apapun alasan Pemerintah RI, yang pada dasarnya dapat dibuktikan merupakan alasan-alasan absurd, mengada-ada dan mengkhinati UUD 1945, kami dengan ini menyatakan penolakan atas rencana privatisasi PGE," tegas Marwan.
Diuraikan olehnya, ada sebelas alasan kenapa rencana privatisasi PGE serta anak usaha BUMN lainnya harus ditolak, yaitu:
Pertama, melanggar Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kedua, melanggar Pasal 3 butir (a) dan Pasal 4 ayat (1) UU Panas Bumi No.21/2014 yang memerintahkan agar eksploitasi Panas Bumi diselenggarakan untuk menunjang ketahanan dan kemandirian energi serta bermanfaat bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Ketiga, melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/2012 dan No.85/2013 yang mengamanatkan agar penguasaan SDA oleh negara harus dikelola BUMN agar bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat;
Keempat, melanggar UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, karena SDA panas bumi dan pemilik manfaatnya melalui PGE adalah Pemerintah Republik Indonesia. Kementerian BUMN telah merekayasa pemilikan Kekayaan Negara tersebut melalui manipulasi pembentukan anak/cucu BUMN, sehingga Aset Negara dengan mudah dimiliki swasta;
Kelima, mengurangi penerimaan negara/APBN dan keuntungan BUMN karena dilakukannya proses unbundling, yaitu memisah-misahkan rantai bisnis Pertamina menjadi sejumlah anak-anak usaha atau sub-holding. "Subholding yang merugi akan menjadi beban negara atau rakyat. Sedangkan subholding yang paling menguntungkan (crean de la cream) akan dijual kepada swasta dan asing, termasuk perusahaan oligarkis. Akhirnya merekalah yang akan menikmati manfaat terbesar dari SDA milik rakyat," terang Marwan.
Keenam, meningkatnya beban ekonomi rakyat akibat naiknya tarif energi sebagai dampak negatif proses unbundling pelayanan public utilities. "Teori ekonomi/bisnis telah mengkonfirmasi dampak negatif proses unbundling rantai bisnis energi ini," jelasnya.
Ketujuh, karena turunnya pendapatan, akan mengurangi kemampuan BUMN/Pertamina melakukan cross-subsidy, menjalankan tugas perintisan, membangun serta menyediakan jasa dan pelayanan kepada masyarakat tidak mampu dan wilayah terpencil dan tertinggal. Hal ini jelas meningkatkan kesenjangan pendapatan kaya miskin dan kemajuan antar wilayah.
Kedelapan, menyediakan jalan bagi para pemilik modal, investor asing, para pengusaha oligarkis dan negara kapitalis untuk menjajah dan menghisap sumber-sumber kekayaan negara dan ekonomi rakyat. "Bukannya menangkal, Pemerintah Indonesia malah aktif mendukung agenda penghisapan potensi penerimaan APBN dan pemiskinan rakyat, di mana sejumlah oknum-oknum pejabat yang tergabung oligarki kekuasaan ikut pula berburu rente dalam proses privatisasi tersebut," papar Marwan.
Kesembilan, pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir bahwa IPO subholding BUMN bertujuan mencari dana murah adalah manipulasi informasi tendensius. Menurut Marwan, Erick Thohir membohongi masyarakat, karena dana IPO pada dasarnya lebih mahal dari pinjaman bank. Faktanya Pertamina telah memperoleh kredit dengan tingkat bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2021 total obligasi Pertamina sekitar US$ 14 miliar dengan tingkat bunga (kupon) 1,4% - 6,5% (weighted average: sekitar 4,60%). Nilai kupon tersebut ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (US$ 1,35 miliar, 5/2014);
Kesepuluh, karena saham negara di Pertamina/PGE masih 100%, jaminan pemerintah terhadap Pertamina otomatis melekat. Sehingga tanpa IPO, PGE justru dapat mengakses dana lebih murah. Bahkan BUMN sering memperoleh hibah atau pijaman bunga 0%, hal yang tidak akan diperoleh oleh BUMN yang sudah go public;
Kesebelas, sebagian besar masalah kinerja/GCG BUMN justru berasal dari pemerintah, seperti penempatan tim sukses, mengangkat teman dekat jadi komisaris, menunggak/membebani subsidi, menjadikan BUMN sebagai sapi perah, dll. Cara terbaik memperbaiki GCG BUMN adalah merubah status menjadi non-listed public company (NLPC).
Marwan mengingatkan, bahwa sebagai perusahaan milik negara, Pertamina beserta afiliasinya memiliki aset-aset yang dikelola dengan tata kelola yang diatur oleh negara. Dalam tata kelola tersebut, hak pengawasan sesuai peraturan ada di tangan pemerintah dan juga DPR sebagai wakil rakyat. DPR harus menggunakan hak pengaturan dan pengawasan dalam proses privatisasi PGE demi UUD 1945, ketahanan energi, kedaulatan negara dan energi murah bagi rakyat.
"Akhirnya, kami kembali menuntut agar Pemerintah Indonesia terutama Presiden Jokowi dan juga DPR RI untuk segera membatalkan rencana privatisasi PGE dan juga anak-anak usaha Petamina yang lain, seperti Pertamina Hulu Energy (PHE), Pertamina International Shipping (PIS), dan seluruh afiliasi Pertamina grup lainnya melalui proses IPO maupun modus penjualan saham lainnya," pungkas Marwan.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, Arie Gumilar, menyampaikan bahwa FSPPB secara tegas menolak aksi korporasi yang melakukan privatisasi PGE dan juga menuntut penghentian semua upaya privatisasi unit-unit usaha Pertamina lainnya. Sikap tegas ini akan disampaikan dalam aksi unjuk rasa ke beberapa tempat, yang rencananya digelar, Kamis (16/2/2023).
“Kami akan berkumpul di depan kantor Pertamina Pusat, kemudian berjalan ke Kementerian Keuangan dan Kantor OJK, dilanjutkan ke Kementerian BUMN dan berakhir di depan Istana Merdeka,” ucap Arie.
Menurutnya, upaya privatisasi PGE ini bakal menjadi pintu masuk upaya privatisasi anak-anak usaha strategis lainnya, Pertamina Hulu Energi (PHE), Pertamina Internasional Shipping (PIS), Kilang Pertamina Internasional, Pertamina Lubricant, Pertamina Retail & Pertamina Patra Niaga (PPN). Padahal, semuanya itu merupakan cabang-cabang produksi dan usaha penting yang menguasai hajat hidup orang banyak di bawah Holding Pertamina.
“Jika IPO PGE ini jadi di-launching, dan jadi 25 persen sahamnya dibeli oleh swasta, ini akan menjadi pintu masuk bagi subholding-subholding Pertamina lainnya untuk di-privatisasi,” kata Arie mengingatkan. RH