Jakarta, OG Indonesia -- PT Adaro Indonesia (Adaro) dinilai telah bertindak semena-mena terhadap mitra bisnis, yakni PT Intan Sarana Teknik (IST) yang berperan sebagai kontraktor pengelola limbah tambang Adaro di Kalimantan Selatan. Padahal sebagai mitra bisnis, IST telah mengikat kerjasama dengan Adaro dalam kontrak yang disusun sesuai kaidah-kaidah hukum dan bisnis yang berlaku. Setelah didahului dengan proses uji coba dan pilot project, kontrak tersebut berlaku antara tahun 2016 hingga 2020.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengungkapkan, dalam pelaksanaan kontrak sekitar 4-5 tahun tersebut, IST telah memperoleh penghargaan dari Adaro, Kementerian ESDM dan juga International Achievement Award (IAA) dari Industrial Fabrics Association International (IFAI). Hal ini berhasil diraih karena teknologi yang digunakan, yakni Geotube Dewatering (GD) memang andal dan terbukti dapat menangani limbah tambah batu bara Adaro. GD merupakan teknologi unggul yang merupakan temuan anak bangsa yang patut dibanggakan.
"Namun, karena motif diduga bernuansa moral hazard dan profit bisnis, belakangan Adaro justru melaporkan Dirut IST, yakni Ibnu Rusyd Elwahbi (IRE) ke Bareskrim Polri. Akibat laporan yang sarat rekayasa, absurd, muatan kriminal, semena-mena khas oligarki kekuasaan, dan tuduhan tanpa dasar ini, IRE telah dipenjara selama 10 bulan dalam tahanan Polri, Jl. Trunojoyo, Jakarta Selatan," ucap Marwan dalam diskusi "Menggugat Kriminalisasi Adaro Terhadap Mitra Bisnis" yang berlangsung di Jakarta, Jumat (24/2/2023).
Turut hadir dalam diskusi yang diadakan oleh IRESS dan UI Watch yang berlangsung secara hybrid tersebut antara lain Heru Susetyo dari PAHAM dan Almustasar Amir, Pelaku Usaha & Praktisi Teknologi - Alumni FTUI.
Marwan mengatakan, Adaro bersama lembaga penegak hukum lain, terutama Polri dan Kejagung telah mendakwa IRE melakukan pelanggaran, yakni: a) melakukan penipuan berdasarkan Pasal 378 Jo Pasal 15 Jo Pasal 64 KUHP; b) melakukan tindak pencucian uang berdasarkan Pasal 3 Jo Pasal 10 UU TPPU No.8/2010.
Lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengadili perkara IST antara Mei 2022 hingga September 2022. Pada tanggal 7 September 2022, IRE diputuskan bebas murni karena terbukti tidak bersalah atas dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). "Putusan para hakim adalah bulat, tanpa ada yang berbeda pendapat (dissenting opinion). Bahkan karena dakwaan yang diajukan JPU dianggap tidak relevan, pada beberapa sidang yang digelar antara Mei-Juni 2022, sejumlah hakim mengusulkan agar perkara tersebut diselesaikan melalui peradilan perdata," ujarnya.
Marwan juga menyampaikan, karena gagal memenuhi keinginan di PN Jaksel, Adaro melalui JPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 2 Januari 2023. Ternyata dalam sidang kasasi yang tertutup, pada 31 Januari 2023, MA telah memutus IRE bersalah. IRE divonis hukuman penjara 13 tahun dan denda Rp 15 miliar. MA mengabulkan tuntutan JPU, bahwa IRE terbukti melanggar Pasal 378 KUHP (sanksi pidana maksimal 4 tahun) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU (dengan sanksi pidana maksimal 20 tahun).
"Ternyata arogansi dan kriminalisasi yang dilakukan Adaro terhadap IST/IRE bukan hanya melalui persekongkolan dengan lembaga penegak hukum seperti Polri dan Kejagung. Adaro juga telah bertindak semena-mena dengan menahan aset operasional milik IST yang bernilai sekitar Rp 35 - 60 miliar. Tagihan yang diajukan IST kepada Adaro sesuai kontrak, yang nilainya sekitar Rp 15 - 20 miliar pun tidak dibayar. Bahkan yang lebih fatal Adaro secara sepihak justru membajak teknologi GD temuan IST untuk mengelola limbah tambangnya," papar Marwan.
Lebih lanjut Marwan juga mengungkapkan bahwa sebelum menggugat IST, Adaro memang pernah berupaya “mengajak IST bekerjasama memanfaatkan teknologi GD”. Namun jarena IST menolak dan kontrak IST telah diputus, maka Adaro membeli sebuah perusahaan untuk mengelola limbah tambang Adaro. "Ternyata perusahaan baru milik Adaro ini menggunakan teknologi GD temuan IST untuk mengelola limbahnya. Padahal dalam gugatan terhadap IST, Adaro telah menjadikan masalah teknologi GD salah satu poin untuk menggugat IST. Hal ini pun telah diungkap di pengadilan PN Jaksel," terangnya.
Disampaikan olehnya, IRESS perlu mengingatkan Adaro untuk bertindak profesional karena kerja sama Adaro dengan IST sebagai mitra bisnis diikat oleh kontrak. "Jangan karena berada dalam lingkar keuasaan, Adaro merasa leluasa untuk berbuat sesuka hati dan dan berlaku zolim kepada IST," sergahnya.
"Rakyat perlu memahami bahwa Adaro diduga terlibat mencaplok lahan tambang milik BUMN/Bukit Asam dengan kode wilayah KW 97 PP0350 di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan (2011-212). Pencaplokan ini antara lain melanggar Keputusan Dirjen Pertambangan No.130K/23.01/DJP/2000 dan PP No.75/2001, serta merugikan Bukit Asam puluhan triliun rupiah," ucap Marwan lagi.
Dia juga mengungkapkan bahwa Adaro juga diduga terlibat dalam praktek bisnis curang yang merugikan negara melalui modus transfer pricing ekspor batu bara ke luar negeri. "Adaro menjual batu bara ke anak usaha di Singapore dengan harga sekitar US$ 15 per ton untuk kontrak beberapa tahun. Padahal saat itu harga pasar batu bara telah mencapai US$ 35 per ton. IRESS telah melaporkan kasus yang terjadi antara 2006 – 2008 ini ke KPK. Semoga KPK masih menyimpan file laporan tersebut," bebernya.
Selanjutnya Marwan juga menyampaikan bahwa Adaro juga termasuk dalam konspirasi sistemik yang merubah UU Minerba No.4/2009 menjadi UU No.3/2020 guna memuluskan perampokan SDA batubara yang bernilai ratusan triliun rupiah. "Sesuai PKP2B Adaro dengan pemerintah, kontrak eksploitasi batubara di wilayah kerja yang dikelola Adaro berakhir pada Oktober 2022. Menurut UU Minerba yang lama, jika kontrak berakhir, negara berhak menyerahkan pengelolaan tambang tersebut kepada BUMN. Namun karena konspirasi perubahan UU tersebut, Adaro akhirnya Kembali menguasai SDA batubara tersebut, dan negara/rakyat dirugikan ratusan triliun rupiah," paparnya.
Marwan mengingatkan dari berbagai hal tersebut menjelaskan bagaimana Adaro sebagai perusahaan oligarkis dapat leluasa, dengan cara melanggar hukum dan sarat moral hazard, mengambil keuntungan besar dari SDA milik negara. "Karena itu, tak heran jika Adaro sangat arogan, serta menganggap hal yang lumrah dan remeh temeh jika ingin menindas dan mengkriminalisasi perusahaan kecil, seperti halnya IST dan hukuman 13 tahun yang dialami Dirut IST, yakni IRE," kata Marwan.
Dia juga mengatakan, sepak terjang dan arogansi Adaro tersebut telah pula merambah lembaga-lembaga penegak hukum, yakni Polri, Kejagung dan MA. "Dalam hal ini, ketiga Lembaga ini seolah berada di bawah kendali Adaro oligarkis. Bagaimana mungkin Adaro bisa merekayasa kasus perdata menjadi kasus pidana, dan delik pidananya pun telah digiring ke arah pidana TPPU, yang dikategorikan sebagai kejahatan serius, sistematis dan bersifat publik, serta merugikan negara, masyarakat dan merusak keuangan serta perekonomian negara?" tanya Marwan.
Marwan meyakini, IST/IRE telah dikriminalisasi oleh Adaro. "Tampaknya IST/IRE telah mengalami proses hukum tidak wajar, serta melibatkan mafia peradilan dan kekuatan oligarkis. Untuk itu, IRESS mengajak berbagai kalangan pro keadilan dan penegakan hukum, untuk bersama-sama melawan kejahatan sistemik, sarat konspirasi dan arogan ini. Kita harus bersikap untuk mengambil berbagai langkah konkrit dan berkelanjutan melawan arogansi kekuasaan oligarkis ini," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Almustasar Amir, Pelaku Usaha & Praktisi Teknologi, menambahkan bahwa tragedi ini menjadi momok bagi kalangan profesional pertambangan yang mengembangkan teknologi penanggulangan limbah.
Sedangkan Heru Susetyo, dari PAHAM mengungkapkan bahwa persoalan ini sebenarnya termasuk ranah perdata saja bukan masuk ke ranah pidana. RH