Smart house aeroponik karya Tim Ariculture yang sedang mendapatkan pencahayaan untuk tanaman sebagai pengganti cahaya matahari.
Jakarta, OG Indonesia -- Urban farming atau pertanian di perkotaan makin naik daun sejak merambatnya Covid-19. Survei MarkPlus (2020) mendapati bahwa 92,7 persen masyarakat Jakarta melakukan kegiatan urban farming dan akan terus melanjutkannya meski pandemi telah terkendali.
Metode urban farming teranyar adalah aeroponik, yaitu sistem bercocok tanam di udara tanpa menggunakan tanah. Akar tanaman dibiarkan tumbuh menggantung tanpa media tanah, pada tempat yang telah dijaga kelembapannya.
“Aeroponik merupakan sistem pertanian yang mudah untuk dikembangkan, namun dibutuhkan tingkat ketelitian yang tinggi. Harus menjaga kelembaban udara, kehangatan dan sistem pengkabutan untuk menutrisi tanaman. Kami memanfaatkan teknologi Internet of Things atau IoT yang terintegrasi dengan perkebunan untuk memudahkan pelaku aeroponik memantau pertumbuhan tanamannya,” ujar Muhammad Rozan Miqdad, mahasiswa Teknik Elektro, Universitas Pertamina, Minggu (29/1/2023).
Bersama rekan-rekannya Muladi Jordan dan Muhammad Akram Saputra, inovasi tim bernama Tim Ariculture itu berjaya menyabet juara 1 dalam PT PLN Innovation and Competition Engineering (ICE) 2022. Mereka juga berhasil mendapatkan pendanaan pengembangan proyek IoT aeroponik dengan total nilai mencapai Rp 50 juta.
"Kami membangun rumah cerdas pengembangan pertanian aeroponik, berlokasi di Garut. Rumah cerdas itu dilengkapi teknologi penunjang pertanian seperti sensor kelembaban, sensor cahaya dan sensor pH yang terintegrasi dengan Internet melalui ponsel pintar, sebagai alat pengaturnya. Sehingga pelaku aeroponik bisa memantau tanaman dari jauh," jelas Rozan.
NASA (National Aeronautics and Space Administration) menyebutkan bahwa pertaniaan perkotaan yang memanfaatkan sistem aeroponik dapat mengurangi penggunaan air hingga 98 persen, penggunaan pupuk hingga 60 persen dan penggunaan pestisida 100 persen.
Aeroponik juga terbukti lebih moncer ketimbang teknik budidaya konvensional. Beberapa penelitian mengungkap produksi aeroponik 2,5 kali lipat lebih tinggi. Penelitian lain menunjukkan produktivitas berat selada aeroponik bisa mencapai 20 ton per hektar, lebih tinggi daripada selada hasil pertanian konvensional yaitu sebanyak 10 ton per hektar.
Meskipun dianggap lebih menguntungkan, sistem aeroponik membutuhkan pemantauan dan kontrol yang sangat detil dan rutin untuk mengurangi tingkat kegagalan. Teuku Muhammad Roffi, selaku dosen pembimbing Tim Ariculture menjelaskan bahwa pengembangan IoT aeroponik didasarkan pada teknik precision farming.
“Pertanian yang presisi menempatkan cahaya, air, suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Sehingga dibutuhkan teknologi alat elektronika dan IoT untuk memaksimalkan kecermatan dan meningkatkan hasil panen,” pungkas Roffi. RH