Jakarta, OG Indonesia -- Pemerintah Indonesia berkomitmen mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 mendatang. Salah satu regulasi yang teridentifikasi merupakan bagian dari kebijakan NZE adalah Keputusan Menteri (Kepmen) KLHK No.168/Menlhk/PTKL/PLA.1/2/2022. Peta jalan pencapaian target NZE Indonesia berdasarkan dokumen kebijakan tersebut pun sudah ada.
Berdasarkan regulasi tersebut, dalam skenario CPOS emisi gas rumah kaca Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat dan menjadi sekitar 2.500 juta ton Co2e pada 2050. Emisi gas rumah kaca diproyeksikan turun menjadi sekitar 1.500 juta ton Co2e pada 2050 jika Indonesia menjalankan skenario TRNS. Sementara jika skenario LCCP yang dijalankan, emisi gas rumah kaca Indonesia pada tahun 2050 diproyeksikan dapat lebih rendah lagi.
ReforMiner Institute memberikan sejumlah catatan terhadap peta jalan NZE dan ketahanan ekonomi-energi Indonesia, antara lain sebagai berikut:
Pertama, ReforMiner menilai peta jalan NZE Indonesia sebagaimana tertuang dalam Kepmen KLHK No.168/Menlhk/PTKL/PLA.1/2/2022 tersebut telah cukup berimbang. "Penetapan target waktu dan sektor-sektor mana saja yang digunakan sebagai instrumen dalam mencapai target menggambarkan bahwa pemerintah telah mempertimbangkan berbagai aspek, terutama menyeimbangkan aspek ekonomi dan keberlanjutan pasokan energi di dalam upaya mencapai NZE," jelas Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dalam keterangannya, Senin (31/10/2022).
Kedua, berdasarkan informasi yang telah berkembang, diketahui bahwa sektor energi akan menjadi salah satu instrumen utama dalam mencapai target NZE. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, sebagai BUMN, Pertamina dan PLN kemungkinan akan menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam upaya mencapai target NZE di sektor energi.
Ketiga, dalam mencapai target NZE di sektor energi, Pertamina kemungkinan akan menjadi salah satu pihak yang berperan penting. "Berdasarkan informasi yang ada, hingga tahun 2060 Pertamina menargetkan akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 81,4 juta ton CO2e," ungkap Komaidi.
Keempat, dalam upaya mencapai target NZE pada kegiatan usaha hulu migas di dalam negeri, Pertamina kemungkinan juga akan menjadi pihak yang diandalkan. Pertamina tercatat berkomitmen melakukan kegiatan operasi produksi migas dengan lebih ramah lingkungan. Dijelaskan Komaidi, Pertamina tercatat sebagai perusahaan migas yang paling aktif dalam upaya penerapan CCS/CCUS dalam kegiatan hulu migas. Dari 15 studi CCS/CCUS di Indonesia, sekitar 80 % di antaranya dikerjakan oleh Pertamina.
Kelima, sektor kelistrikan, terutama melalui PLN akan menjadi kunci dalam pencapaian target NZE di sektor energi. Berdasarkan informasi yang ada, lanjut Komaidi, penurunan emisi gas rumah kaca terbesar di sektor kelistrikan ditargetkan akan berasal dari pembangkit listrik. Emisi sektor energi yang pada tahun 2060 ditargetkan sebesar 401 juta ton CO2e akan berasal dari penggunaan energi pada sektor industri, transportasi, komersial, rumah tangga, dan sektor lainnya. Sementara pada tahun 2060 pembangkit listrik di Indonesia ditargetkan telah mencapai NZE.
Keenam, jika mencermati peta jalan NZE sektor energi yang ada, pencapaian NZE pada sektor kelistrikan kemungkinan akan dilakukan dengan menyeimbangkan antara porsi pembangkit berbasis fosil dengan pembangkit berbasis EBT. "Kapasitas pembangkit berbasis fosil dikurangi secara bertahap, sementara kapasitas pembangkit berbasis EBT ditambah secara bertahap," terang Komaidi.
Ketujuh, ReforMiner menilai, untuk dapat merealisasikan target NZE sebagaimana di atas, Pertamina dan PLN memerlukan dukungan fiskal dan non fiskal. Dalam jangka waktu tertentu, pengembangan EBT untuk menggantikan bisnis fosil yang telah dijalankan oleh kedua perusahaan akan memerlukan tambahan investasi baru dan sampai dengan skala ekonominya terpenuhi harga jual EBT berpotensi menjadi relatif lebih mahal. "Pemberian insentif fiskal dan bentuk dukungan kebijakan lain sampai dengan skala ekonomi bisnis EBT terpenuhi sangat diperlukan," tegasnya.
Kedelapan, ReforMiner memproyeksikan, aspek ekonomi dan keberlanjutan pasokan energi akan menjadi penentu pencapaian target NZE di Indonesia, termasuk yang akan dilakukan oleh Pertamina dan PLN. Menurut Komaidi, perbedaan target penurunan emisi Indonesia antara sebesar 26 % (0,038 Giga ton CO2) dengan upaya sendiri dengan 41 % (0,056 Giga ton CO2) jika mendapatkan bantuan dari internasional, menggambarkan bahwa aspek ekonomi terutama konsekuensi biaya yang akan timbul atas kebijakan yang akan dilaksanakan menjadi pertimbangan utama.
Kesembilan, revisi target waktu pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia dari tahun 2020 (Perpres No.61/2011) menjadi mundur pada tahun 2030 (UU No.16/2016) kembali menegaskan bahwa pencapaian target NZE perlu diselaraskan dengan aspek ketahanan ekonomi dan keberlanjutan pasokan energi di dalam negeri.
Kesepuluh, pada level global, pilihan kebijakan yang akan diambil kemungkinan juga akan sama bahwa aspek ketahanan ekonomi dan keberlanjutan pasokan energi akan menjadi kunci dalam pencapaian target NZE. "Masing-masing negara kemungkinan akan mencari titik keseimbangan dalam mencapai target NZE yang telah mereka tetapkan," lanjut Komaidi.
Kesebelas, peningkatan konsumsi energi fosil global terutama batubara pada 2020-2021, di tengah kampanye transisi energi yang terus menguat, menegaskan bahwa keamanan dan keberlanjutan pasokan energi tetap menjadi prioritas utama dari masing-masing negara dalam upaya mencapai target NZE yang telah ditetapkan.
Keduabelas, fenomena sejumlah negara yang sebelumnya telah berkomitmen meninggalkan batubara tetapi pada saat kritikal seperti saat ini kembali menggunakan batubara, perlu menjadi perhatian dan referensi bagi Indonesia dalam menjalankan kebijakan NZE. "Kondisi tersebut menunjukkan bahwa aspek keamanan pasokan energi untuk setiap negara tetap merupakan yang terpenting di dalam era transisi energi dan penerapan NZE ke depan," tuturnya.
Namun menurut Komaidi, hal tersebut tidak berarti harus mendorong Indonesia mundur dari komitmen NZE yang telah digariskan, tetapi justru menjadi pendorong untuk segera menciptakan ekosistem bisnis EBT yang lebih solid. Komaidi mengingatkan bahwa pengembangan EBT tidak semata-mata hanya untuk mencapai target NZE, tetapi tetap merupakan bagian dari upaya untuk mengamankan pasokan energi di dalam negeri.
"Karena itu, kerangka regulasi yang diperlukan seperti Undang-Undang Energi Terbarukan dan peraturan pelaksananya, aturan tentang insentif dan pelaksanaan CCS/CCUS dan perdagangan karbon, perlu segera disediakan," pungkas Komaidi. RH