Jakarta, OG Indonesia -- Dikutip dari laman Magma Indonesia milik Kementerian ESDM, hingga Senin (23/5/2022), terhitung pukul 06.00 hingga 12.00 WIB, Gunung Merapi telah mengalami 35 kali gempa guguran dan 6 kali gempa hybrid/fase banyak. Gunung api yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta ini, kini ditetapkan Siaga Level III.
Masih lekat dalam ingatan, letusan Gunung Merapi pada akhir Oktober 2010 lalu yang menewaskan lebih dari 350 korban jiwa. Tim Percepatan Pemulihan Ekonomi Pasca Bencana Erupsi Merapi juga mencatat, kerugian material akibat erupsi Merapi 2010 ini ditaksir mencapai Rp5 triliun.
Sinta Nur Asyidah, Mahasiswi Program Studi Teknik Geofisika Universitas Pertamina (UPER), mengajukan alternatif solusi untuk meminimalisir risiko kerusakan dan korban jiwa akibat bencana vulkanik. Penelitian ini ia lakukan di kawasan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di Jawa Tengah.
Penelitian dilakukan Sinta dengan cara merekam pergerakan gelombang S (Shear) yang terjadi di wilayah sekitar Gunung Merapi dan Merbabu dengan menggunakan seismometer.
“Seismometer bisa juga diartikan sebagai alat pantau. Fungsinya merekam gelombang seismik dan tiltmeter untuk mengetahui arah gerak lava,” ungkap Sinta dalam wawancara daring, Selasa (24/5/2022).
Data dari pergerakan gelombang S tersebut, lanjut Sinta, kemudian diolah menggunakan bahasa pemrograman phyton untuk menunjukkan arah polarisasi atau pergerakan gelombang. Menurut Sinta, dengan mengetahui arah pergerakan lempeng bumi tersebut, evakuasi warga di sekitar lokasi bencana dapat dilakukan lebih dini. Sehingga, dapat meminimalisir jumlah korban jiwa.
Secara geografis, Indonesia terletak di atas tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Australia, dan Pasifik. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang memiliki banyak gunung berapi dan sangat rentan terhadap bencana erupsi gunung berapi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sedikitnya ada 127 gunung berapi aktif di Indonesia.
“Besarnya potensi bencana vulkanik di Indonesia ini, membuat mitigasi bencana sangat penting dilakukan. Pemerintah sendiri telah memaksimalkan program mitigasi dengan memasang alat pantau di sekitar wilayah gunung berapi. Namun, tentunya dibutuhkan inovasi dan dukungan para akademisi untuk mengotimalkan upaya yang telah dilakukan pemerintah tersebut,” ujar Sinta.
Hasil yang didapatkan dari penelitian Sinta, menunjukkan bahwa pergerakan lempeng bumi di kawasan Gunung Merbabu cenderung tegak lurus dengan parit (trench). Sedangkan, pergerakan lempeng bumi di kawasan Gunung Merapi cenderung lebih acak.
“Ini kemungkinan disebabkan adanya perbedaan struktur di bawah permukaan bumi. Karena Gunung Merbabu adalah gunung mati, sementara Gunung Merapi adalah gunung aktif dan menjadi salah satu gunung teraktif di dunia,” jelas Sinta.
Berkat bimbingan dari dosen sekaligus pakar seismologi, Sandy Kurniawan Suhardja, Ph.D., Sinta berhasil mempresentasikan penelitiannya di acara konferensi internasional bergengsi bernama Society of Exploration Geophysicist Virtual Student Conference 2022, pada 11 Mei 2022 lalu.
Diakui Sinta, Mata Kuliah Seismologi yang didapatkannya di kelas, sangat membantunya dalam menyusun penelitian. Ilmu seismologi sendiri dipelajari di UPER bagi yang ingin menjadi ahli ilmu kebumian lewat Program Studi Teknik Geofisika. RH