Foto: Hrp |
Jakarta, OG Indonesia -- Kiprah bisnis batu bara PT Bayan Resources, Tbk. ternyata mengundang banyak kontroversi dan mengandung banyak masalah. Mulai dari akusisi PT Gunung Bayan Pratama Coal hingga persoalan pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR). Bahkan terakhir kalah berperkara sampai ke tingkat di Makamah Agung dengan perusahaan tambang berlokasi di Desa Sinyur, Kabupaten Kutai Timur.
”Kami sudah menanti sekitar 22 tahun untuk penyelesaian hutang sisa pembayaran dari Low Tuck Kwong. Hingga saat ini belum juga dibayar,’’ ungkap Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang ahli waris pemilik tambang, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (24/5/2022).
Menurut Rashid, kasus berawal dari PT Gunung Bayan Pratama Coal semula dimiliki oleh Almarhum Haji Asri. Kemudian diambil alih oleh pemilik baru Low Tuck Kwong pada tahun 1997 silam dengan masih menyisakan sisa pembayaran yang belum dilunasi.
“Antara kedua pihak telah diadakan perjanjian jual beli saham dengan harga Rp 5 miliar. Namun hingga saat ini baru yang dibayarkan sebesar Rp 3,5 miliar. Sedangkan sisanya, yang Rp 1,5 miliar, belum dibayar oleh Low Tuck Kwong,” ujar salah seorang ahli waris putra dari almarhum Haji Asri ini.
Sesuai dengan pasal kontrak perjanjian penjualan saham, sisanya akan dilunasi dengan ketentuan perpanjangan waktu kedua selama 30 hari. Namun hingga kini selama 22 tahun belum ada pembayaran sisanya.
“Bila dihitung dari biaya produksi hingga harga jual per ton, maka akan diperoleh keuntungan bersih sebesar US$ 25,35 per ton dengan harga jual batu bara rata-rata US$ 80 per ton,’’ tegas Rashid.
Dari perhitungan di atas, keuntungan bersih US$ 25,35 dikalikan 30 persen saham ahli waris maka diperoleh US$ 7,6 per ton. Kemudian dikalikan cadangan batu bara PT Gunung Bayan Pratama Coal sebesar 343 juta ton, maka diperoleh angka US$ 2.606.800.000 atau setara Rp 37.277 triliun dengan kurs dolar Rp 14.300.
Kirim Surat ke Jokowi
Rashid bersama ahli waris PT Gunung Bayan Pratama Coal lainnya, yakni Muhammad Abduh telah berkirim surat penagihan kepada Low Tuck Kwong, dengan tembusan kepada Presiden Joko Widodo.
“Saya sudah berkirim surat ke Dirut Bayan Resources, namun hingga kini belum ditanggapi,“ jelasnya.
Ketika ditanya apakah sisa pembayaran yang tidak dibayarkan ke PT Gunung Bayan Pratama Coal ini akibat dipakai untuk pembayaran pajak atas kegiatan di tambang?
Rasyid dengan tegas mengatakan sebelum ada perjanjian jual beli saham, ada perjanjian dasar mengenai kegiatan eksplorasi awal. Dalam perjanjian tersebut, kegiatan eksplorasi pengeboran dan penggalian adalah sepenuhnya biaya yang dikeluarkan ditanggung ICP (perusahaan milik Low Tuck Kwong) baik dari permodalan, pelaksanaan kegiatan, dan pajak-pajak.
“Sewaktu perjanjian jual beli saham dibuat, kondisi tambang masih dalam tahap eksplorasi masih jauh dari tahapan produksi sehingga tidak logis dibebani pajak,” ujarnya.
Di kesempatan lain, Koordinator Jaringan Muda Kalimantan, Anjaya, mengatakan bahwa kontroversi Bayan Resources ini masih ditambah lagi dengan klaim perusahaan yang membeli 9 Kuasa Pertambangan (KP) akhir tahun 2010 lalu senilai US$ 325,6 juta, atau setara Rp 2,9 triliun (dengan kurs sekitar Rp9.000-an ketika itu).
“Padahal KP yang dibeli Bayan Resources itu banyak yang bodong. Artinya, untuk mengakuisisi tidak mungkin nilainya mencapai triliunan rupiah. Cukup dengan miliaran rupiah,’’ ujar Anjaya di Samarinda.
Transaksi ini tidak akan terjadi apabila tidak ada dukungan oknum di Pemda Kabupaten, Provinsi, dan Kementerian ESDM. “Ini tentu merugikan rakyat dan Pemerintah RI karena melanggar regulasi,’’ tegasnya.
CSR Tidak Tepat Sasaran
PT Bayan Resources Tbk juga dipertanyakan komitmennya terhadap penggunaan dana CSR yang digelontorkan ke tiga perguruan tinggi di Pulau Jawa. Padahal perusahaan itu beroperasi di Kalimantan Timur.
Menurut Anjaya, bermula dari beredarnya kabar tentang Dana CSR yang diberikan oleh PT Bayan Resource senilai Rp 200 miliar kepada tiga perguruan tinggi yakni Universitas Indonesia, ITB, dan UGM. Kabar itu dianggap mencederai perasaan masyarakat Kalimantan Timur. Alasannya, Bayan Resources bergerak di bidang usaha pertambangan batubara dan beroperasi di wilayah Kaltim.
“Produksi PT Bayan Resources terus meningkat, keuntungan mereka juga bertambah. Tetapi kemana dana CSR untuk warga Kaltim?’’ tegasnya.
Tak heran kalau terjadi aksi massa yang terdiri dari beberapa ormas di Kaltim menuntut agar bantuan CSR yang dikeluarkan oleh PT Bayan Resources itu ditinjau Kembali. Para aktivis lingkungan juga mempertanyakan komitmen PT Bayan Resources terhadap upaya meningkatkan kesejahteraan warga lokal.
Tak heran apabila pekan lalu, Selasa (17/5/2022), Kantor DPRD Kaltim di Samarinda didatangi oleh massa sejumlah ormas. Mereka meluapkan kekecewaan kepada wakil rakyat di sana. Massa yang tergabung dalam Majelis Organisasi Daerah Nasional (MODN) meminta kepada DPRD Kaltim untuk meninjau dan mengevaluasi kembali Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang beroperasi di wilayah Kaltim, khususnya dalam hal penyaluran Dana CSR PKP2B agar tidak terjadi pelanggaran dalam pemanfaatannya.
“Bagi perusahaan yang tidak patuh memenuhi PKP2B, kami minta dihentikan kegiatan operasionalnya,’’ kata Anjaya seraya berharap dana CSR dari perusahaan tambang yang beroperasi di sana dapat terserap untuk warga Kaltim.
Terkait Dana CSR telah disalurkan melalui sebuah yayasan untuk tiga perguruan tinggi di Pulau Jawa, dalam pertemuan di ruang Rapat DPRD jawaban Humas Bayan Resources dinilai tidak memuaskan. Bahkan, salah seorang peserta aksi massa dari Ormas Dayak, Kutai, dan Banjar (Dakuba) sempat menggebrak meja di hadapan perwakilan perusahaan dan DPRD Kaltim.
“Kami yang berada di Tabang masyarakatnya tetap miskin. Padahal ada 19 desa di sana yang masuk dalam wilayah konsesi (Bayan Resources). Apa yang warga dapatkan? Tidak ada!” ungkapnya dengan kesal.
Anjaya juga mengungkapkan dampak dari usaha tambang, di antaranya membuat Tabang kini mudah banjir. Apalagi, kolam galian bekas tambang yang dikelola Bayan ada di mana-mana.
Sarkowi, anggota Komisi III DPRD Kaltim, juga menyayangkan langkah pimpinan Bayan Resources. “Seharusnya bantuan pribadi juga bisa diberikan kepada warga Kaltim. Karena usahanya ada di Kaltim,’’ katanya.
Rinto, Ketua Umum Badan Koordinasi HMI Kaltim-Tara juga angkat bicara. Dia menyatakan apa yang dilakukan oleh pimpinan Bayan Resources dengan menggelontorkan dana CSR kepada perguruan tinggi di Pulau Jawa adalah keliru.
Menurut Rinto, jika mengacu pada PP. No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, harusnya yang diprioritaskan adalah perguruan tinggi ada di Kaltim. "Sehingga dampaknya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat," tegasnya.
Dia pun menyampaikan akan melakukan aksi unjuk rasa lanjutan bersama kader HMI dan aliansi masyarakat Kaltim. "Kami telah berkoordinasi kepada seluruh kader HMI dan menyerukan untuk kembali melakukan aksi masa di depan kantor Bayan Resources," ungkap Rinto. RH