Jakarta, OG Indonesia -- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan Indonesia masih memiliki peluang investasi yang sangat besar pada kegiatan hulu minyak dan gas bumi (migas). Pasalnya, terdapat 128 basin yang sangat potensial untuk dieksplorasi.
Berbicara pada webinar dengan tema
"Industri Hulu Migas Dalam Menghadapi Situasi Global dan Harga Minyak
Dunia", Rabu (13/4/2022), Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan dari 128 basin,
20 di antaranya sudah beroperasi, 19 sudah di-drill dan ditemukan hidrokarbon
dan 68 basin masih belum di-drill. "Jadi parameter investasinya terutama actractive plant-nya masih oke, inilah
tantangan industri migas ke depan," ujar Julius.
Menurutnya, dengan banyaknya basin
yang belum digarap memerlukan effort
yang sangat besar untuk meng-convert recources
jadi reserve. "Ini sangat
menantang sekali migas Indonesia dari barat ke timur dari offshore maupun
onshore. Ada basin yang sudah di-drill dan ditemukan hidrokarbon tapi belum
dikomersialkan, ada undevelope discovery
yang harus kita kerjasamakan bersama investor dan pemerintah,"
lanjutnya.
Julius memprediksi industri migas akan terus tumbuh hingga tahun
2030-2050 sehingga diharapkan kegiatan produksi dan suplai juga akan mengalami
kenaikan, meski diperkirakan gas akan
mengalami produksi yang lebih tinggi sebagai alternatif energi transisi.
Sementara itu, Ali Nasir dari
Indonesian Petroleum Association (IPA) menilai tingginya harga minyak dunia
saat ini membawa dampak positif bagi Indonesia karena akan menarik investasi di
industri hulu migas. "Namun ada tidak bagusnya juga kerena akan
menimbulkan gap yang besar antara produksi dan konsumsi. Tercatat kita harus
impor 700 ribu barel perhari untuk menutup kebutuhan energi tanah air yang
tentunya akan menguras cadangan devisa kita," ujar Ali Nasir.
Menurutnya, tantangan industri migas
kedepan akan semakin besar karena kurang atraktifnya pemerintah, mulai
beralihnya investasi oil and gas company ke industri terbarukan atau renewable energy dan semakin ketatnya
perbankan dalam memberikan pinjaman untuk kegiatan industri hulu migas.
Lebih lanjut ia memaparkan, ada 3
kriteria dalam investasi dalam industri hulu migas diantaranya prospecivity, fiscal term dan legal
stability. "Prospecivity atau geologi adalah given dari tuhan, kita
tidak bisa berbuat banyak, tapi kita bisa memaksimalkan fiscal term dan legal
stability karena merupakan buatan manusia yaitu DPR dan pemerintah,"
tandasnya.
Direktur Executive Energy Watch,
Mamit Setiawan mengatakan industri hulu migas kini menghadapi ketidakpastian
global, untuk itu Indonesia harus menentukan prioritas terhadap ketahanan
energi tanah air. "Karena sumber energi berasal dari alam maka
pengelolaannya tidak boleh bersifat sektoral atau tersegmentasi. Selain itu
energi merupakan bentuk kedaulatan bangsa yang bersifat luas dan panjang
melebihi periodisasi politik sehingga pengelolaannya harus teritegrasi," paparnya.
Mamit mengatakan ada tiga akar permasalahan
hulu migas di Indonesia yaitu adanya ketidakpastian hukum, ketidakpastian
fiskal dan perijinan yang rumit sehingga menyebabkan pada tidak dihormatinya
kontrak kerja sama yang berlaku (dishonored
of contract sanctity) yang secara mendasar merupakan syarat utama bagi
iklim invetasi
"Penerapan UU no 21/ 2021 justru
menjadi sumber dari ketiga masalah tersebut karena tidak memiliki ketiga elemen
fundamental sehingga pengelolaan hulu migas selalu tidak sinkron dengan bentuk
kerjasama atau production sharing
yang dijalankan," lanjutnya.
Untuk itu ia mengharapkan adanya kelincahan pemerintah untuk mengambil momentum kenaikan harga minyak dunia. "Kami memberi apresiasi kepada DPR yang akan menggenjot revisi UU migas tahun ini, perlunya peningkatan lifting migas guna meningkatkan investasi hulu migas dan perlu ada political will pemerintah untuk menyelesaikan seluruh pemasalahan industri hulu migas di tanah air," tandasnya. RH
