Petani kopi robusta Ulubelu kini tak lagi menjual ceri kopi yang masih hijau kepada tengkulak. Dok: PGE |
Jakarta, OG Indonesia -- Ceri-ceri kopi itu masih hijau dan berada di batang pohon kopi. Masih menunggu beberapa waktu lagi sampai warnanya memerah dan layak panen. Namun keberadaan para tengkulak membuat petani kopi terpaksa menjual murah buah-buah kopi yang masih belum dipetik tersebut kepada tengkulak.
Sistem perdagangan yang tidak adil ini pernah terjadi
terhadap petani kopi jenis robusta di Kecamatan Ulubelu, Kabupaten Tanggamus,
Lampung. “Petani kopi di sini (Ulubelu) belum teredukasi dengan baik sehingga
dampaknya terjadi unfair trading di mana petani kopi sering kali harus
menjual kopinya ketika masih di batang,” ungkap Arif Mulizar, Supervisor
External Relation PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Ulubelu dalam acara “Proving
League 2021: Kesaksian Local Hero dalam Memperluas Manfaat CSR BUMN” yang
diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) secara virtual, Sabtu
(9/10/2021).
Akibatnya, kesejahteraan petani kopi di Ulubelu tidak
berkembang. Bahkan mereka tidak dapat menyesap nikmatnya harga kopi yang tinggi
seiring hype kopi di pasaran sejak tahun 2012. Padahal 83% warga
Kecamatan Ulubelu merupakan petani kopi. Ulubelu dan kecamatan lainnya di
Kabupaten Tanggamus memang jadi sentra produsen kopi bagi provinsi Lampung, di
mana sekitar 40% produksi kopi Lampung dihasilkan dari Tanggamus.
Kondisi miris ini membuat PGE Ulubelu yang memiliki wilayah
kerja panas bumi di Ulubelu prihatin. Pihak PGE yang merupakan bagian dari Sub
Holding Power, New and Renewable Energy Pertamina pun melakukan pendekatan kepada
petani sejak tahun 2017. Setelah permasalahan dipetakan, PGE meluncurkan
program Ngopi Doeloe setahun berselang.
Program ini memberikan pelatihan serta bimbingan kepada
petani dalam mengembangkan komoditas kopi robusta Ulubelu dari hulu sampai
hilir. Mulai dari tahapan menanam, memanen, sampai mengolah hasil panennya
menjadi produk siap jual. “Program Ngopi Doeloe ini jadi program unggulan dan
fokus kami dalam pelaksanaan community development,” tutur Arif.
Rumah Belajar Kopi
Guna mendukung edukasi kepada petani kopi robusta Ulubelu tersebut,
didirikanlah Rumah belajar Kopi. Di tempat itulah, PGE bersama Kelompok Kopi
Beloe melaksanakan beberapa kegiatan, seperti workshop perkebunan,
pelatihan pasca panen, benchmarking dan promosi, hingga studi banding
lintas kelompok/wilayah.
Menurut Kukuh Diki Prasetia, Petani Kopi dan Ketua Kelompok
Kopi Beloe, dengan pelatihan dan bimbingan jangka panjang diharapkan para
petani kopi di Ulubelu dapat menerapkan pertanian kopi yang paripurna. Mulai
dari cara menanam, memanen dan mengolah kopi, mengemas produk kopi sendiri,
sampai pemasaran produk kopi kepada konsumen.
Dalam setiap kesempatan, para petani juga selalu diingatkan agar
tidak melepas ceri kopinya saat masih hijau kepada tengkulak. Hasilnya langsung
terasa, pada tahun 2018 itu juga para petani sudah bisa bebas dari jeratan sistem
yang dibuat para tengkulak kopi.
Kukuh Diki Prasetia, Ketua Kelompok Kopi Beloe (berdiri), tengah mengedukasi petani kopi di Rumah Belajar Kopi. Dok: PGE |
Kukuh mengungkapkan, hasil nyata dari implementasi pertanian paripurna adalah terwujudnya harga kopi yang lebih baik bagi petani. Dahulu saat tak punya pilihan selain mengijon hasil tani kopinya kepada tengkulak, petani terpaksa melepas ceri kopi sesuai dengan harga yang dipatok sepihak oleh tengkulak. Jika dibandingkan dengan nilai sekarang, sekitar Rp 13.000 sampai Rp 16.000 per kilogram. Tetapi kini dengan menghasilkan produk kopi sendiri, kelompok tani bisa menjual produk kopi sampai Rp 125.000 per kilogram.
“Kita memang berfokus kepada fair trade atau
perdagangan yang berkeadilan. Sehingga, mewujudnya (pertanian kopi) dari hulu
ke hilir ini akan mewujudkan fair trade yang baik dan benar,” tegas
Kukuh.
Kini, tercatat ada sekitar 49 kelompok tani penerima manfaat dari
program Ngopi Doeloe. Beberapa di antaranya, sukses membentuk sekitar 24 UMKM yang
sudah bisa memproduksi dan menciptakan merek kopinya sendiri. Secara keseluruhan,
ada lebih dari 1.000 warga penerima manfaat dari keberadaan program Ngopi
Doeloe dari PGE ini.
Hebatnya lagi, produk-produk kopi robusta Ulubelu kini sudah
tersebar luas di berbagai daerah, mulai dari Lampung, Palembang, Jakarta, Bandung,
hingga Yogyakarta. Kopi Ulubelu bahkan sudah melanglang buana ke pasar internasional,
dari Singapura sampai Italia. Untuk membantu pemasaran produk, dijelaskan
Kukuh, kopi Ulubelu rutin dipromosikan ke berbagai festival kopi baik di dalam
maupun luar negeri. “Targetnya di tahun 2024 kita bisa melakukan ekspor secara
besar-besaran,” ujar Kukuh optimistis.
Lilik Sudianto, seorang petani dari Kelompok Tani Sidorukun
mengungkapkan banyak perubahan yang terjadi sejak dirinya mengikuti pelatihan
di Rumah Belajar Kopi. “Mulai dari kondisi kebun, cara panen, hingga pasca
panennya, alhamdulillah semuanya mengalami peningkatan,” ujar Lilik.
Tak heran kini Lilik pun bersemangat untuk mengajak petani
lainnya yang belum bergabung untuk turut mengikuti pelatihan. “Semoga kegiatan
ini tetap berlanjut supaya petani terbantu memahami kopi,” harapnya.
Petik Apresiasi
Berkat program Ngopi Doeloe ini, PGE Ulubelu berhasil memetik
sejumlah apresiasi. Seperti raihan Proper Hijau dari Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) empat tahun berturut-turut dari tahun 2017, 2018,
2019, hingga 2020. Pada tahun 2020 bahkan PGE Ulubelu menjadi kandidat peraih
Proper Emas, namun belum berhasil. Program Ngopi Doeloe juga meraih penghargaan
dalam Indonesia Sustainable Development Goals Award (ISDA-2021). Terbaru,
program ini juga disematkan predikat Best CSR Program dalam E2S Proving League
2021.
Menurut Risna Resnawaty, Pengamat CSR yang juga Ketua Program
Studi Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran, gagasan fair trade dalam
program pemberdayaan masyarakat PGE di Ulubelu dapat menjawab permasalahan
sosial setempat. Karena berdasarkan pengamatannya, perdagangan yang tidak adil
memang banyak menimpa petani kopi di berbagai daerah di Indonesia.
“Program Ngopi Doeloe yang mengusung gagasan fair trade
menurut saya merupakan terobosan yang cukup menarik. Inovasinya bukan sekadar strategi atau
pendekatan program CSR terkini. Namun terdapat isu social justice. Ada
unsur keberanian dalam gagasan lepas dari belenggu,” terang Risna kepada OG
Indonesia, Kamis (15/10/2021).
Namun ke depannya, tantangan pasti besar. Menurutnya, perlu dipikirkan pula langkah terbaik selanjutnya bagi semua pihak, baik petani kopi bahkan tengkulak. “Idealnya harus sama-sama maju tanpa ada yang tertinggal oleh sebuah perubahan. Seperti slogan SDGs, no one left behind,” pungkas Risna. (Ridwan Harahap)