Jakarta, OG Indonesia -- Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam kemaritiman yang juga besar. Karena itu tak berlebihan bila pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki cita-cita menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Ada lima pilar Poros Maritim yang dicanangkan Presiden Jokowi, di mana pilar kedua berbunyi, "Berkomitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama."
Menurut Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, Pengamat Maritim yang juga salah satu Pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI), apa yang dicanangkan oleh orang nomor satu di Indonesia tersebut tidak berlebihan. Sebab Indonesia memiliki kekayaan perikanan laut yang berlimpah dan kedaulatan pangan harus selalu disuarakan Pemerintah Indonesia dalam upaya menjaga keamanan pangan untuk masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Kedaulatan pangan artinya, Indonesia mampu meningkatkan kemampuan produksi pangan melalui penyediaan sarana produksi pertanian, menyediakan pangan yang beraneka ragam, tentunya pangan yang aman, bermutu dan bergizi.
"Untuk mewujudkannya, diperlukan upaya keras dari semua pihak yang terlibat. Salah satu yang sedang dilakukan, adalah dengan menjaga sumber pangan yang berasal dari laut," jelas Capt. Hakeng dalam keterangan tertulisnya kepada OG Indonesia, Senin (11/10/2021).
Dia menilai, banyaknya kapal penangkap ikan asing yang mengobok-obok wilayah maritim Indonesia dan mengambil ikan tanpa izin. Sepanjang 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menangkap 140 kapal, terdiri dari 92 kapal ikan Indonesia yang melanggar ketentuan dan 48 kapal ikan asing yang mencuri ikan. Kapal ikan asing yang ditangkap antara lain 17 kapal berbendera Malaysia, 6 kapal berbendera Filipina dan 25 kapal berbendera Vietnam.
Lebih lanjut menurut Capt. Hakeng, langkah aparat Indonesia yang menangkap kapal ikan asing di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), sudah benar. "ZEE memang adalah laut internasional. Karenanya, di sana hak kita hanya eksplorasi, eksploitasi dan konservasi. Hanya tiga itu saja kalau kita bicara ZEE. Di ZEE kita bicara zona maritim. Kewenangan kita untuk menangkap kapal ikan berbendera asing di wilayah ZEE itu jika kapal tersebut sudah/sedang melakukan kegiatan mengambil ikan yang ada di sana," tegasnya.
Hakeng sendiri mengapresiasi langkah tegas dari Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono yang menyampaikan bahwa KKP akan bertindak tegas terhadap pelaku illegal fishing di perairan Indonesia. "Negara kita kaya sumber pangan yang berasal dari laut, salah satunya ikan. Tapi karena teknologi yang ada tidak mendukung, celah ini sering diambil negara lain. Karena itu perlu pula pemerintah hadir untuk memenuhi kebutuhan para nelayan dengan memfasilitasi teknologi penangkapan ikan di laut," ujar Hakeng.
Sejalan dengan pernyataan Capt. Hakeng, Ketua Departemen Maritim dan Perdagangan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) Achmad Ridwan Tentowi, mengatakan, "Kalau mau menangkap Ikan di ZEE, maka kita harus memiliki sarana kapal penangkap ikan yang memang cocok untuk melakukan kegiatan penangkapan di lautan lepas, harus memiliki kapal pemasok bahan bakarnya, serta kapal pengumpul hasil tangkapan dan sarana alat tangkap dan pendukung lainnya."
Dijelaskan olehnya, persyaratan tersebut memerlukan biaya yang cukup besar, dan bisa terlaksana apabila ada pinjaman bersuku bunga sangat rendah dari perbankan. "Sayangnya sampai saat ini belum dinikmati para pengusaha perkapalan, galangan kapal yang kompetitif dan kinerjanya bagus," tutur Achmad. “Dari semua itu, dapat kita sepakati bersama bahwa ada PR besar yang menunggu untuk kita selesaikan," sambungnya. R3