Oleh: Rudi Rubiandini RS, Profesional Energi dan Wakil Menteri ESDM (2012-2013)
Menurut hukum ekonomi konvensional, bila permintaan turun maka harga akan turun. Di awal terjadi Covid terjadi kelebihan suplai sampai mengakibatkan harga energi primer turun, walau Indonesia tidak pernah menikmati harga BBM murah saat harga minyak dunia sangat rendah, sampai ada momen harga negatif walau sesaat.
Kini kebutuhan energi primer menggeliat kembali, karena beberapa negara sudah mulai melakukan relaxing dalam menghadapi Covid (tidak lagi paranoid dan sudah lebih realistis), sehingga mengakibatkan industri sudah mulai melakukan kegiatan. Namun masih di bawah permintaan sebelum Covid, sehingga tidak bisa dikaitkan secara mutlak bahwa penyebab krisis energi adalah mulai bangkitnya industri karena Covid sudah mulai tidak ditakuti.
Di sisi lain, begitu gegap gempitanya jargon energy transition seolah besok akan terjadi penggantian energi fosil dengan EBT, padahal secara dunia tidak kurang dari 70% energinya masih dipasok dari energi fosil, sementara di Indonesia masih pada kisaran 85%.
Bahwa EBT perlu dikembangkan dan diberi jalan yang lebar untuk mensubstitusi kelangkaan energi fosil di masa datang sangatlah benar dan bijak, tetapi bukan besok, karena dengan berbagai faktor, baik teknis, ekonomis, dan infrastruktur serta teknologi penerima energi, masih perlu jalan panjang untuk mampu mengganti energi fosil yang 70%. Bahkan bisa turun sampai 50% pun sudah merupakan prestasi yang luar biasa.
Namun jargon energy transition yang dikumandangkan oleh negara penghasil teknologi EBT seperti Eropa dan juga China, telah menyeret pada kondisi over confidence dengan dikuranginya pasokan dari energi fosil terutama batubara dan minyak. Sehingga pada saat kebutuhan energi sedikit menggeliat akibat relaxing Covid telah mengakibatkan kekurangan suplai yang mengkhawatirkan. Akibatnya terjadi rush yang mengakibatkan harga minyak melambung sampai di atas US$ 70 per barel. Dan lebih hebat lagi gas sampai di atas US$ 50 per MMBTU, dikarenakan terjadi rebutan pasokan di kawasan Eropa, padahal biasanya sekitar US$ 10 per MMBTU.
Apalagi kini menghadapi musim dingin dalam 3-5 bulan ke depan, sehingga bila tidak ada solusi, Eropa dan China akan menurunkan kegiatan industrinya demi memenuhi kebutuhan pemanas di rumah-rumah, sehingga produk industri akan naik harganya karena pembayaran untuk membeli energi juga naik.
Khusus untuk kasus Inggris, yang sudah mencanangkan EBT 100% pada tahun 2060, sehingga positifnya makin memicu industri EBT untuk berinovasi. Tetapi di sisi lain telah mengurangi tenaga dan keinginan industri migas besar seperti BP untuk serius dalam bidang migas, bahkan sebagian uangnya dipakai untuk pengembangan EBT.
Kondisi diperparah dengan adanya efek Brexit, yang mengakibatkan banyak sopir truk imigran yang dipulangkan, sehingga memperparah problem di dalam negeri Inggris, sampai mengakibatkan beberapa hari SPBU kosong. Kalau tidak kosong, harus melakukan antrian yang panjang. Hal ini tidak biasa di Eropa, walaupun sudah biasa di Indonesia terutama di daerah-daerah yang masih menyerap BBM bersubsidi.
Kejadian krisis energi saat ini sebetulnya bukan krisis yang sebenarnya atau bukan karena kekurangan kemampuan suplai dunia. Karena kalau dilihat dari jumlah produsen batubara masih berlimpah, begitu pula negara penghasil gas masih siap menyuplai, dan juga masih banyak negara yang memiliki cadangan minyak yang besar tetapi masih idle karena faktor politik, bisnis, termasuk hilangnya appetite perusahaan besar untuk masuk di dunia energi fosil karena berbondong-bondong lari ke EBT.
Jadi, ketika awal Covid harga energi sangat rendah dan tidak terlalu lama kemudian kembali normal karena proses Supply-Demand, maka di akhir Covid harga energi tinggi pun tidak akan terlalu lama, tetapi cukup menjadi pelajaran para pengambil keputusan dalam bidang energi, bahwa tidak bisa gegabah dan tergopoh-gopoh dalam membuat langkah-langkah strategis jangka panjang
Kalau mau disebut krisis, maka saat ini adalah krisis pemikiran dalam memandang energi secara menyeluruh, terlalu mendikotomikan jenis satu energi dengan energi lainnya. Harusnya berjalan bersama!