Jakarta, OG Indonesia – Kejadian kebakaran di area Tangki T-301 di komplek Kilang Pertamina Balongan pada 29 Maret 2021 lalu masih menyita perhatian sejumlah pihak hingga kini. Menurut Salamuddin Daeng, pengamat Energi dan Peneliti AEPI, kebakaran kilang Balongan tersebut berbuntut panjang karena menelan korban jiwa, serta puluhan orang harus dirawat dan banyak warga sekitar harus diungsikan.
“Tidak hanya menyisakan trauma bagi masyarakat, namun
menyisakan masalah hukum bagi Pertamina baik perdata maupun pidana,” ucap
Salamuddin dalam keterangannya, Rabu (6/10/2021).
Akibat kejadian tersebut, kata Salamuddin, membuat nama baik
Pertamina tercoreng di mata investor global. “Gara-gara ini Pertamina ditendang
J.P. Morgan Indeks dari kategori perusahaan yang aman bagi investor. Ini akan
menjadi pukulan telak bagi Pertamina di hadapan komunitas internasional.
Kejadian ini bisa menurunkan peringkat utang dan investasi Pertamina makin
dalam,” bebernya.
Dia juga mengungkapkan adanya potensi pidana dari masalah
ini. Meski Pertamina telah menyampaikan penjelasan resmi bahwa penyebab
kebakaran kilang Balongan karena tersambar petir yang juga diperkuat oleh
investigasi Polri, namun menurut Salamuddin hal ini menghadirkan pertanyaan
lain yang jauh lebih penting, yakni terkait kondisi peralatan penangkal petir
Pertamina.
“Mengapa peralatan penangkal petir begitu rendah kemampuannya
menangkal petir? Bagaimana jika petir itu terjadi lagi, apakah kilang akan
kebakaran lagi? Selain itu akan menghadirkan gugatan lain yakni mengapa mereka
pertamina membangun kilang di lokasi petir, dan apakah kemungkinan terjadi
korupsi dalam pengadaan alat penangkal petir? Seabrek pertanyaan yang bisa jadi
akan berujung pidana,” paparnya.
Dia menilai, rilis resmi Pertamina merupakan langkah komunikasi kepada tiga pihak, yaitu kepada Presiden Joko Widodo, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pihak perusahaan asuransi.
Penjelasan kepada
presiden penting untuk meredakan kemarahan kepada Pertamina. Sementara BPK akan
menggunakan rilis tersebut sebagai bagian dari penilaian mereka atas kerugian
akibat kebakaran, penyusutan aset, kehilangan lainnya, termasuk ganti kerugian
yang layak atas korban harta benda masyarakat sekitar.
“Kepada perusahaan asuransi sebagai komunikasi paling
penting bagi Pertamina untuk membuktikan bahwa kebakaran ini tidak disengaja, merupakan akibat peristiwa alam,
atau force majeur,” terang Salamuddin.
Komunikasi kepada perusahaan asuransi menurut Salamuddin
menjadi yang paling prioritas karena menyangkut besaran klaim asuransi yang Pertamina
bisa dapatkan. Tetapi masalahnya perusahaan asuransi sudah menerjunkan tim
sendiri untuk menginvestigasi masalah ini.
“Jika ditemukan bahwa peralatan penangkal petir Pertamina
bermasalah, atau terindikasi korupsi dalam pengadaannya, maka kebakaran akan
menjadi skandal yang besar yang akan mengakibatkan Pertamina rugi dua kali.
Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga,” ujarnya.
Pertanyaan serupa juga disampaikan oleh Pengamat Energi yang juga Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI periode 2017-2019, Inas Nasrullah Zubir. “Pertanyaannya adalah, apakah teknologi dan peralatan penangkal petir di kilang Balongan sudah usang? Kok bisa begitu?” tanya Inas dalam kesempatan terpisah.
Dia menjelaskan, seperti halnya pada pesawat terbang,
kejadian oil storage tersambar petir tentu mungkin saja terjadi. Persoalannya
adalah, pesawat terbang dilengkapi peralatan penangkal petir yang sangat
memadai sehingga kecelakaan akibat tersambar petir boleh dibilang sangat jarang
sekali terjadi.
“Untuk oil storage pun juga ada teknologi dan
peralatan penangkal petir yang sangat mumpini, sehingga sangat jarang juga oil
storage di dunia yang tersambar petir. Nah, kalau kebakaran oil
storage di kilang Balongan disebabkan oleh petir, maka bisa jadi teknologi
maupun peralatan penangkal petirnya yang salah,” tegas Inas. RH