Oleh: Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)
Indonesian Resources Studies (IRESS) dengan ini meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas penyebar berita bohong tentang telah ditetapkannya hasil revisi Permen ESDM No.49/2018 seperti dimuat sejumlah media pada 13 September 2021. Padahal sesuai Perpres No.68/2021, draft revisi Permen ESDM tersebut masih dalam tahap harmonisasi dan proses pembahasan di Kantor Sekretariat Negara/Kabinet guna memperoleh persetujuan dari Presiden Jokowi/Pemerintah RI.
"Berita bohong" tentang telah revisi Permen No.49/2018 antara lain menyebutkan permen baru sebagai hasil revisi adalah Permen ESDM No.26/2021. Selain itu tercantum pula bahwa Permen No.26/221 ditetapkan/ditandangani Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 13 Agustus 2021 dan diundangkan pada 20 Agustus 2021. Hal yang sangat prinsip dan akan merugikan negara, BUMN dan rakyat konsumen listrik dalam “Permen ESDM No.26/2021 adalah berubahnya tarif ekspor listrik dari 65% menjadi 100% seharga Rp 1.440 per kWh.
Seperti diketahui, pada 13 September 2021, penetapan hasil revisi Permen ESDM No.49/2018 menjadi “Permen ESDM No.26/2021” telah diberitakan oleh sejumlah media on-line seperti “ruangenergi.com”, “kontan.co.id”, dan “dunia-energi.com”. Namun ketiga media tersebut tidak mencantumkan atau mengindikasikan sumber informasi yang jelas tentang penetapan Permen ESDM yang baru tersebut, sehingga publik bisa saja meragukan kebenarannya.
Selama ini pemerintah dan kementerian/lembaga terkait selalu menerbitkan rilis dan memuatnya dalam situs masing-masing lembaga jika telah menetapkan suatu kebijakan, UU dan peraturan baru, termasuk revisi peraturan seperti permen. Prosedur sepeti ini sesuai perintah UU No.30/2014 tentang Administrasi Negara. Namun, khusus tentang hasil revisi Permen ESDM No.49/2021 menjadi “Permen ESDM No.26/2021”, publik dan awak media tidak menemukan adanya rilis/informasi resmi yang diterbitkan oleh KESDM dan/atau Sekretariat Negara/Kabinet.
Telepas bahwa “Permen ESDM No.26/2021” telah ditetapkan atau masih dalam proses pembahasan di Kantor Presiden, jelas ada oknum-oknum pemberi perintah dan pelaku yang berperan menjadi sumber berita tersebut. Oknum-oknum ini bisa saja sangat berkepentingan untuk membuat agar revisi Permen ESDM No.49/2018 segera terlaksana, tidak peduli jika cara yang ditempuh melanggar kaidah-kaidah moral dan azas tata kelola pemerintahan yang baik.
Isi berita ketiga media bisa benar atau bisa pula salah. Jika akhirnya Presiden setuju dengan usul perubahan permen sesuai permintaan KESDM pada Juli/Agustus 2021, maka hal-hal yang termuat dalam “Permen ESDM No.26/2021” memang benar adanya. Jika isinya berbeda, maka dapat pula dinilai bahwa minimal oknum-oknum pelaku telah menunjukkan upaya maksimal kepada “promotor”, namun gagal mencapai target yang diinginkan.
Penilaian di atas menunjukkan berita tentang terbitnya “Permen ESDM No.26/2021” telah menimbulkan spekulasi tentang kebenaran isi berita. Spekulasi lain bisa pula muncul terkait motif di balik beredarnya penetapan revisi permen. Misalnya, informasi disebar guna fait accomply keputusan terhadap Kepala Negara, to test the water, menggiring opini, atau bisa pula dianggap sebagai sandiwara untuk mendapat dukungan publik.
Berbagai spekulasi di atas tentu tidak sesuai dengan azas dan tujuan berbangsa dan bernegara. Spekulasi di atas dapat pula membuat pemerintah mengambil keputusan yang salah, sekaligus merugikan negara, BUMN dan publik. Sehingga berita tersebut perlu diklarifikasi dan pelakunya harus diberi sanksi sesuai hukum berlaku. Dalam hal ini pemerintah perlu memberi sanksi tegas jika ada oknum pemerintah yang terlibat rekayasa yang merugikan ini. Aparat penegak hukum, termasuk KPK pun harus segera memulai pengusutan.
Seperti diketahui, Kementerian ESDM (KESDM) telah menggagas revisi Permen No.49/2018 sejak awal tahun 2021. Guna memperoleh persetujuan Presiden Jokowi dan sejalan dengan perintah Perpres No.68/2021, KESDM telah mengirim naskah revisi Permen kepada Kementrian Hukum dan Ham (Kemenkumham) pada Juli/Agustus 2021 untuk proses harmonisasi.
Sebaliknya cukup banyak kalangan, termasuk IRESS, keberatan atas usul revisi tersebut. Kami menilai pembahasan revisi Permen belum melibatkan seluruh stakeholders terkait. Kementerian ESDM cenderung hanya mengakomodasi kepentingan kalangan tertentu. Sehingga, Kementerian ESDM gagal memenuhi syarat pembentukan peraturan sesuai UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh sebab itu naskah revisi belum layak untuk ditetapkan sebagai peraturan, terutama terkait perubahan tarif ekspor-impor listrik antara pelanggan PLTS Atap dengan PLN dari 65% menjadi 100%.
Tanggapan serta keberatan berbagai kalangan dan pakar telah diungkap kepada publik dan media, termasuk dalam bentuk surat terbuka dan tertutup kepada Presiden Jokowi yang dikirim antara akhir Agustus hingga awal September 2021. Pada prinsipnya tanggapan dan keberatan mendukung perluasan penggunaan EBT dan PLTS Atap, namun keberatan dengan perubahan tarif ekspor listrik PLTS Atap menjadi 100%. Perubahan tersebut dinilai tidak adil, merugikan negara/BUMN, memberatkan APBN dan menambah beban pelanggan listrik.
Lebih lanjut, guna menanggapi Siaran Pers KESDM No.303.Pers/04/SJI/2021 pada 2 September 2021, secara khusus IRESS menerbitkan Siaran Pers tertanggal 9 September 2021. Dalam hal ini IRESS mengungkap KESDM cenderung tendensius, menyembunyikan fakta, menggiring opini bahwa PLN, APBN dan pelanggan tidak dirugikan. Padahal perhitungan pakar-pakar energi menunjukkan:
• PLN dirugikan Rp 2,15 triliun setiap 1 GW pasokan PLTS Atap dan menjadi Rp 7,74 triliun jika pasokan naik menjadi 3,6 GW. KESDM menyebut penjualan PLN hanya turun 0,1%;
• KESDM menyebut penghematan bahan bakar cukup besar Rp 7,74 triliun. Sedang hitungan pakar hanya Rp 1,92 triliun. Dalam hal ini KESDM sengaja berasumsi bahan bakar yang digunakan gas, padahal menurut PLN, bahan bakar yang dipakai mayoritas batubara;
• Menurut KESDM BPP hanya naik Rp 1,14/kWh. Sedang menurut pakar naik Rp 5,10/kWh. Perbedaan terjadi sebab KESDM “luput” menghitung biaya operasi pembangkit yang harus tetap stand-by dan adanya sarana yang harus disiapkan PLN mengatasi intermitten;
• KESDM menyatakan biaya subsidi dan kompensasi naik Rp 0,319 triliun. Padahal menurut pakar subsidi naik Rp 1,08 triliun/tahun. Hal ini menjadi tambahan beban biaya bagi pelanggan non PLTS Atap, namun menjadi keuntungan bagi pengguna PLTS Atap.
Sebelum memutuskan revisi Permen ESDM No.49/2018, seluruh stakeholders kelistrikan nasional, terutama para pakar energi dan PLN sebagai BUMN listrik nasional sesuai Pasal 33 UUD 1954 harus dilibatkan. IRESS menilai hal ini telah gagal dilaksanakan oleh KESDM, yang tampak cenderung menggunakan pendekatan kekuasaan. Karena itu, IRESS kembali meminta agar Presiden Jokowi menolak usulan revisi Permen No.49/2018 dari KESDM. Selain itu, IRESS menuntut agar aparat penegak hukum, termasuk KPK, segera mengusut oknum-oknum pelaku sumber berita bohong tentang “Permen ESDM No.26/2021”. Presiden Jokowi harus segera mengusut dan menjatuhkan sanksi hukum jika ada pejabat negara yang terlibat.