Jakarta, OG Indonesia -- Isu transisi energi kian tampak memperoleh perhatian yang cukup besar dari publik dan para pemangku kebijakan. Berdasarkan pencermatan, sejumlah negara kelompok OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) memformulasikan dan mendorong kebijakan percepatan proses transisi energi.
Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, di antara formulasi kebijakan yang secara bertahap didorong untuk diimplementasikan adalah kebijakan green investment. "Kegiatan industri hulu migas yang dinilai relatif tidak memenuhi kriteria green investment kemungkinan akan terkena dampak dari kebijakan tersebut," kata Komaidi dalam keterangan yang diterima OG Indonesia, Senin (20/9/2021).
Reforminer sendiri memberikan beberapa catatan terkait transisi energi dan peran industri hulu migas Indonesia. Ditegaskan Komaidi, transisi energi tidak akan dapat menghilangkan peran penting industri hulu migas dalam bauran energi Indonesia.
"Karena itu, transisi energi di Indonesia perlu dilakukan secara bertahap. Hal tersebut mengingat peran sektor migas dalam bauran energi Indonesia, bahkan sampai tahun 2050 diproyeksikan masih akan sangat signifikan," paparnya.
Pemerintah sendiri melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagaimana ditetapkan dalam Perpres No. 22/2017 memproyeksikan konsumsi minyak dan gas Indonesia pada tahun 2050 mencapai 8,69 juta BOEPD. Sementara untuk konsumsi minyak Indonesia diungkapkan Komaidi pada 2050 ternyata masih ada, diproyeksikan mencapai 4,62 juta barel per hari atau sekitar 3 kali dari konsumsi saat ini.
Meskipun RUEN menetapkan porsi minyak dalam bauran energi Indonesia menurun dari paling banyak 25% pada 2025 menjadi paling banyak 20% pada 2050, namun dikatakan Koamidi, secara volume konsumsi minyak Indonesia meningkat sekitar 111% dari 2,19 juta BOPD pada 2025 menjadi 4,62 juta BOPD pada 2050.
RUEN juga menetapkan porsi gas dalam bauran energi Indonesia meningkat dari 22,4% pada 2025 menjadi 24% pada 2050. "Volume konsumsi gas diproyeksikan meningkat sekitar 171% dari 1,76 juta BOEPD pada 2025 menjadi 4,79 juta BOEPD pada 2050," jelas Komaidi.
"Berdasarkan proyeksi RUEN, total konsumsi minyak dan gas bumi Indonesia akan meningkat sekitar 137%, meningkat dari 3,95 juta BOEPD pada 2025 menjadi 9,40 juta BOEPD pada 2050," sambungnya.
Komaidi melanjutkan, selain memiliki peran penting dalam bauran energi, sektor migas juga memiliki peran strategis dalam struktur perekonomian Indonesia. "Data Input-Output (IO) Indonesia menunjukkan bahwa dari sekitar 185 sektor ekonomi di Indonesia, sekitar 150 sektor ekonomi di antaranya memiliki keterkaitan (linkage) dengan sektor migas," ungkapnya.
Sektor hulu migas juga memiliki peran penting dalam realisasi investasi di Indonesia. Data menunjukkan, rata-rata realisasi investasi hulu migas selama periode 2015-2020 sekitar 27% terhadap total realisasi investasi seluruh sektor ekonomi di Indonesia.
Komaidi meneruskan, aspek konsep dan teori terkait transisi energi yaitu Environmental Kuznet Curve (EKC) menyebutkan bahwa hubungan antara degradasi lingkungan (produksi emisi) dengan pendapatan per kapita suatu negara akan membentuk kurva parabola.
"Pada tahap awal, suatu negara akan berfokus pada meningkatkan pendapatan per kapita yang disertai dengan meningkatnya produksi emisi. Titik balik akan terjadi ketika produksi emisi telah mencapai level tertinggi dan pendapatan per kapita suatu negara pada saat yang sama telah berada pada level yang tinggi," papar Komaidi.
Kajian Reforminer sendiri menemukan bahwa titik balik produksi emisi dari negara-negara di Kawasan Eropa rata-rata terjadi ketika pendapatan per kapita mereka telah lebih dari 30.000 USD per kapita. "Secara umum, negara-negara di Kawasan Eropa baru memberikan perhatian terhadap pengembangan dan pemanfaatan EBT ketika tingkat kesejahteraan meraka berada pada level yang cukup tinggi," bebernya.
Dia juga mengungkapkan bahwa porsi EBT pada bauran energi primer Amerika Serikat pada tahun 2020 tercatat baru sekitar 12% terhadap total konsumsi energi mereka. Sementara pada tahun yang sama pendapatan per kapita Amerika Serikat tercatat sekitar 64.000 USD per kapita.
Sedangkan di Indonesia pada tahun 2020, jelas Komaidi, pendapatan per kapita tercatat baru sekitar 3.900 USD per kapita atau sekitar 6% dari pendapatan per kapita Amerika Serikat. "Karena itu, ketika porsi EBT Amerika Serikat dalam bauran energi mereka baru sekitar 12%, sementara Indonesia memaksakan diri mencapai porsi 23% dalam bauran energi primer nasional dapat dikatakan tidak cukup proporsional," ucapnya.
Berdasarkan sejumlah catatan tersebut, Reforminer menilai stakeholder pengambil kebijakan perlu memberikan perhatian terhadap kebijakan pengelolaan dan pengusahaan pada industri hulu migas.
"Berdasarkan kondisi eksisting dan proyeksi pemerintah untuk tahun 2050, cukup jelas bahwa transisi energi tidak akan mengurangi peran penting migas dalam bauran energi Indonesia. Hal tersebut tercermin dari konsumsi migas Indonesia pada 2050 yang diproyeksikan masih sekitar 9,40 juta BOEPD," pungkas Komaidi. R1