Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rachmat Mardiana, mengatakan Bappenas sudah menyusun beberapa kajian Net Zero Emission. Kajian itu berisi pertimbangan sosial, ekonomi, lingkungan dan kebutuhan pendanaan untuk bisa mempercepat dekarbonisasi di Indonesia.
Rachmat mengatakan skenario yang disusun memiliki titik optimumnya pada kajian tahun 2060. Di mana skenario tahun 2060 itu membahas solusi agar pada tahun 2060 batu bara tidak digunakan lagi.
“Tentunya untuk itu kita juga perlu melihat upaya mengurangi ketergantungan batu bara melalui beberapa upaya. Misalnya melihat perkembangan teknologi ke depan, potensi energi hidrogen untuk mencukupi kebutuhan transportasi, industri, pembangkit tenaga listrik,” kata Rachmat dalam Press Conference The 4th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021, Senin (20/9/2021).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan proyek transisi energi terbarukan tersebut perlu menunggu Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Tujuannya agar Perpres Energi Baru Terbarukan (EBT) bisa segera diproses.
“Kita selesaikan dulu RUPTL, didalami dulu dari sisi anggaran, apakah perlu APBN atau biaya penggantian. Kemudian kita sounding ke Kemenkeu untuk Perpres Energi Baru Terbarukan (EBT). Ini sudah proses, sebentar lagi RUPTL selesai dibahas, lalu di Kemenkeu hanya dari sisi perhitungan anggaran saja,” kata Dadan.
Dadan mengatakan terkait Peraturan Menteri (Permen) Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap sudah dipublikasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada Minggu lalu. Akan tetapi saat ini masih dalam proses pengerjaan feedback dari Setkab.
Meski begitu, Dadan mengatakan sudah banyak peminat investasi untuk PLTS atap. Beberapa di antaranya adalah Perguruan Tinggi yang tertarik bergabung dalam program tersebut. Sebab mereka memiliki gedung dengan atap yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai PLTS atap. Menurutnya, untuk menyambut investor datang diperlukan persiapan data potensi energi terbarukan di Indonesia. Tujuannya supaya tidak terjadi delay ketika investor datang.
“Kuncinya ada di perencanaan. Minimal sekarang yang akan terbit adalah RUPTL 20 GW untuk 10 tahun ke depan on grid. Masih ada off grid yang tidak masuk jaringan PLN,” kata Dadan.
Di samping itu, perencanaan tersebut perlu didukung dengan solusi untuk mengatasi oversupply dari pembangkit listrik. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan kondisi oversupply bisa diatasi dengan upaya dekarbonisasi dari berbagai industri bisnis.
“Solusinya aksi mitigasi dengan substitusi heating yang menggunakan fosil dialihkan ke teknologi listrik. Kedua, solusinya adalah dengan PLTS atap justru paling efektif. Data resmi pemerintah pada 2019, dari PLTS ada 186 MW, tapi data kami di Asosiasi Energi Surya jauh lebih besar, pada 2020-2021 baik yang pipeline dan lengkap itu sampai Juli lalu totalnya ada 480 MW,” kata Fabby.
Fabby mengatakan, pemerintah perlu membuka kesempatan investasi untuk proyek energi terbarukan. Kajian IESR menunjukkan bahwa untuk memenuhi target 23 persen bauran energi baru terbarukan (EBT) hingga 2025, investasi yang diperlukan sekitar US$14 miliar hingga US$15 miliar, atau setara dengan Rp 210 triliun.
Sementara itu, untuk mencapai net zero emission, IESR memperkirakan nilai investasi yang diperlukan hingga 2030 menyentuh US$25 miliar sampai US$30 miliar, atau sekitar Rp420 triliun. Angka tersebut akan lebih tinggi pada 2030–2050, yakni mencapai US$50 miliar hingga US$60 miliar per tahun. Nilai investasi itu termasuk untuk pengembangan di sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Fabby menyebut, investasi itu juga mencakup pengembangan green hydrogen, serta sintetik fuel untuk kendaraan yang tidak dapat menggunakan listrik, seperti pesawat dan kapal.
Dari sisi industri batu bara, anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Widhyawan Prawiraatmadja mengatakan industri batu bara membutuhkan sinyal yang lebih kuat melalui pajak karbon.
“Konteksnya begini, kita menerapkan pajak karbon 5 dollar per ton. Aktornya akan berfikir kalau gitu dipajakin saja tidak apa-apa, kalau begitu sama saja tidak berfungsi. Kecuali kalau seperti di luar, pajaknya 50 dollar pasti sudah mikir banget mau pakai fosil,” kata Wawan. R2