Jakarta, OG Indonesia – Di tengah wacana transisi energi menuju energi terbarukan yang bersih, energi nuklir diyakini bisa menjadi opsi energi yang menjanjikan untuk Indonesia selain gas bumi yang jumlahnya cukup berlimpah di negeri ini. Pendapat tersebut disampaikan Moshe Rizal, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), dalam sesi Energy Outlook pada pelatihan media yang diselenggarakan Aspermigas secara virtual, Minggu (26/9/2021) lalu.
“Kalau dibandingkan dengan migas, polusinya (pembangkit
listrik tenaga nuklir/PLTN) itu jauh lebih kecil dibandingkan migas,” jelas
Moshe. Diterangkan olehnya, dalam tahapan pengembangan nuklir untuk energi
hanya sedikit bersinggungan dengan lingkungan yaitu pada saat ekstraksi uranium
dari bumi. “Setelah itu ya sudah, can last for 30 years, 40 years, dengan
konsumsi uranium dan material lainnya yang tidak besar,” tuturnya.
Aspek keamanan kerap dikhawatirkan dalam pembangunan PLTN, di mana kondisi geografis
Indonesia berada di wilayah ring of fire yang rawan letusan gunung
berapi dan gempa bumi yang tentunya bisa membahayakan konstruksi reaktor PLTN. Namun
menurut Moshe sebenarnya masih ada daerah-daerah di Indonesia yang cukup aman
dari ancaman bencana tersebut seperti di wilayah Kalimantan.
Apalagi saat ini teknologi nuklir sudah masuk ke generasi IV
yang disebut melt down free karena reaktornya bisa beroperasi pada
temperatur 500-1.100 derajat celcius. “Hampir dibilang tidak ada risiko melt
down,” tutur Moshe.
Dari sisi investasi, Moshe mengungkapkan untuk pengembangan
PLTN ternyata lebih murah jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga
panas bumi (PLTP). Sementara untuk
ongkos operasi PLTN bahkan lebih murah ketimbang PLTU yang berbahan bakar batu
bara. “Yang buat mahal nuklir ini adalah perizinannya. Perizinan nuklir itu
bisa sampai lima tahun. Itu bahkan harus sampai ke IAEA (Badan Tenaga Atom
Internasional),” bebernya.
BATAN memang sudah sejak lama mempersiapkan teknologi nuklir
untuk PLTN. Dikatakan Agus Sumaryanto, Kepala Organisasi Riset Teknologi Nuklir/BATAN
yang sekarang berada di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), riset
untuk energi nuklir penting dilakukan untuk melengkapi energi-energi lain yang
sudah dimanfaatkan.
“Kita lakukan Litbangjirap, penelitian, pengembangan,
pengkajian dan penerapan, ditambah sekarang ada inovasi dan invensi. Supaya
kita bisa menghasilkan teknologi,” ucap Agus dalam konferensi pers di Puspiptek
Serpong, Tangerang Selatan, yang dihadiri OG Indonesia, Rabu (8/9/2021) lalu.
Diharapkan dengan kemampuan dari sisi teknologi serta SDM tersebut membuat Indonesia kian siap untuk membangun PLTN sendiri. Lalu bagaimana dengan aspek penerimaan publik terhadap keberadaan PLTN? Moshe Rizal membuka data dari survei yang dilakukan BATAN yang menyebutkan tingkat penerimaan masyarakat akan PLTN ternyata lebih dari 70%. “Jadi kalau dilihat (penerimaannya) cukup bagus,” pungkas Moshe. RH