Foto: Dokumen Pertamina |
Jakarta, OG Indonesia – Indonesia bisa disebut sebagai surga panas bumi di dunia. Bagaimana tidak, dengan posisi geografis Indonesia yang dikelilingi jajaran gunung berapi menyebabkan sekitar 40% potensi panas bumi dunia berada di kepulauan Nusantara ini. Tetapi saat ini pemanfaatan energi geotermal di Indonesia baru sekitar 2.175 Megawatt (MW) atau kurang dari 10% dari total potensi panas bumi Indonesia yang mencapai 23.765 MW.
Tantangan utama dalam pengembangan panas bumi sebagai sumber
tenaga listrik adalah masalah keekonomian (affordability). Saat ini tarif
listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terbilang mahal, bisa
sampai 12-13 sen dollar per kWh. Padahal tarif listrik dari pembangkit listrik
tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara hanya sekitar 6 sen dollar per
kWh.
Diterangkan Sentot Yulianugroho, Manager Government Public
Relations PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), Indonesia memang menghadapi
Trilemma Energi atau tiga faktor penting yang harus diperhatikan dalam
penyediaan energi listrik. Selain faktor affordability, ada faktor lain
yang harus diperhatikan yaitu keamanan pasokan (availability) dan faktor
penerimaan publik yang terkait dengan level emisi yang dihasilkan (acceptability).
“Ketiganya kalau beririsan, itu akan sangat efektif. Akan
menghasilkan energi yang suplainya mencukupi dan terus berlanjut, terjangkau
harganya, dan secara emisi bisa diterima,” jelas Sentot dalam hari kedua pelatihan
media “Pengenalan Panas Bumi dan Bisnis Prosesnya” yang diadakan Oil & Gas
Indonesia dan Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) secara daring, Minggu
(26/9/2021).
Hanya saja saat ini masih sulit menemukan sumber energi
ideal memiliki irisan dari tiga faktor tadi. Seperti diketahui, PLTU batu bara
memang sangat murah dan pasokannya aman, namun kadar emisinya cukup tinggi.
Sementara energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)
cenderung intermittent alias pasokannya tidak terjamin karena bergantung
kepada faktor cuaca yang bisa mengurangi pancaran sinar matahari untuk PLTS.
Sedangkan untuk PLTP, kendati tergolong energi bersih dan
pasokannya cukup andal tetapi harganya masih relatif mahal. Kendati demikian
menurut Sentot, tarif listrik dari energi lainnya seperti batu bara yang
sekitar 6-7 sen per kWh sebenarnya baru 60% dari nilai sebenarnya. “Karena
nilai externality-nya di mana dampaknya terhadap lingkungan, itu belum
dihitung,” tegasnya. “Kalau kemudian (dampak lingkungan) itu dihitung, maka
harganya sama dengan panas bumi sebenarnya,” sambung Sentot.
Besarnya Biaya Investasi Pengaruhi Tarif Listrik
Dijelaskan Ashadi, Vice Chairman Jakarta Drilling Society,
ada beberapa faktor yang memengaruhi biaya investasi geotermal yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada tarif listrik yang dihasilkan dari PLTP yang
dikembangkan. Pertama, seberapa besar kapasitas pembangkit listrik yang
dikembangkan. “Kalau semakin besar, secara unit cost akan lebih murah,”
tuturnya.
Lalu kedalaman sumber daya panas bumi juga berpengaruh, di
mana jika semakin dalam kegiatan pengeboran maka semakin mahal biayanya karena
membutuhkan teknologi yang lebih mutakhir. Ada lagi faktor akses lokasi wilayah
kerja (WK) panas bumi. “Bayangkan kalau kita mengembangkan di Indonesia bagian
timur, itu logistiknya akan mahal, jalannya juga harus diperbaiki, dan
seterusnya,” paparnya.
Ashadi menyimpulkan, untuk biaya pengeboran bisa mencapai 40%
dari total biaya. Lalu biaya untuk infastruktur sekitar 10%-20%. Sisanya adalah
ongkos untuk peralatan-peralatan, membangun power plant dan steam
field, serta biaya untuk project management. “Pembangunan geotermal itu
kurang lebih antara 4 sampai 5 juta dollar per Mega (MW). Jadi misalkan bangun
10 Mega itu 40 juta (dollar), kurang lebih sekitar itu,” bebernya.
Kabar baiknya, lanjut Ashadi, saat ini seiring perkembangan teknologi dan kian bertumbuhnya geotermal yang memengaruhi economic of scale-nya, biaya manufacturing untuk pembangunan PLTP dari waktu ke waktu semakin murah. “Yang tadinya 4 sampai 5 juta dollar per Mega, menurut saya sudah bisa ditekan jadi 3 sampai 4 juta dollar, itu lumayan sekali dan sangat berdampak bagi suatu proyek,” terangnya.
Upaya Pemerintah Tekan Tarif
Pemerintah sendiri melakukan beberapa upaya agar tarif harga
listrik dari panas bumi bisa bersaing dengan pembangkit listrik dari sumber
energi lainnya. Eko Budi Lelono, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan pemerintah telah menjalanakan beberapa
inisiatif seperti menerapkan pengaturan tarif dengan skema insentif, mengambil
alih program eksplorasi panas bumi oleh pemerintah, menyinergikan BUMN yang
terkait usaha panas bumi seperti Pertamina, PLN, dan Geo Dipa, sampai
pemanfaatan gothermal fund lewat Kementerian Keuangan.
“Dalam hal pengaturan tarif harga listrik dari panas bumi,
saat ini memang masih dikaji hingga mendapatkan hasil yang lebih menarik bagi
pengembang, namun mengurangi pengeluaran pemerintah dalam hal subsidi listrik,”
ucap Eko. “Skema insentif harga untuk bea masuk juga diusahakan supaya komponen
dan kebutuhan instrumen pembangkit serta barang atau material yang berasal dari
luar negeri atau impor mendapat potongan pajak masuknya,” tegasnya.
Menurut Moshe Rizal, Sekretaris Jenderal Aspermigas, adanya tax holiday serta insentif lainnya tersebut cukup positif dan akan disambut baik oleh pihak investor. Namun masih ada pula isu lainnya terkait karakteristik panas bumi yang memiliki risiko usaha cukup tinggi di mana lokasi kegiatan panas bumi kebanyakan berada di daerah pelosok. “Jadi pada saat eksplorasi, pada saat akan masuk ke lapangan yang biasanya di ring of fire atau pegunungan, yang selalu jadi permasalahan adalah transportasi, logistik, pembebasan lahan. Itu masalah utama di depan,” urainya.
“Tax holiday is good, semua insentif kita terima
dengan baik dan sangat terbuka, kita berterima kasih sekali kepada pemerintah.
Tapi memang butuh lebih dari itu, yaitu terkait kesulitan-kesulitan di
lapangan,” tambah Moshe.
Jika hal-hal yang berpotensi menghambat dari sisi waktu pengerjaan proyek tersebut bisa diatasi, Moshe memprediksi pengembangan usaha panas bumi akan kian menarik dan siap meroket di masa depan. “Iklim investasinya akan lebih bagus, karena sifat dari bisnis ini tidak banyak pemain atau investor di sektor geotermal ini,” pungkas Moshe. RH