Christoper Liawan, Direktur Utama Sky Energy. |
Jakarta, OG Indonesia -- PT Sky Energy Indonesia Tbk akan meningkatkan kapasitas produksi panel surya dan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk mendukung upaya pemerintah mendorong pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Christoper Liawan, Direktur Utama Sky Energy, mengatakan saat ini TKDN produk Sky Energy 47,5%. Ke depan, perusahaan akan mengurangi komponen impor dan meningkatkan komponen dalam negeri.
“Kami sudah melakukan pendekatan dengan perusahaan komponen lokal dengan memperbesar kapasitas hingga 300 MW pada 2022. Dengan kapasitas yang makin besar, otomatis kami dapat meningkatkan TKDN karena perusahaan lokal mensyaratkan agar kapasitas bisa diperbesar,” kata Christoper, dalam Webinar SUKSE2S bertajuk "Pengembangan PLTS untuk Kemerdekaan Energi: Sampai Kapan Harta Karun Terbesar di Indonesia Disia-siakan?", Kamis (26/8/2021).
Selain Christoper, hadir menjadi pembicara dalam webinar yang digelar Editor Energy and Mining Society (E2S) itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Baru Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya, Direktur Pengembangan dan Niaga PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Iwan Purnama, Wakil Direktur Utama & Group CEO PT Indika Energy Tbk Azis Armand, Vice President Technical & Engineering Pertamina Power Indonesia Norman Ginting dan Direktur Pengembangan PT Bukit Asam Tbk Fuad IZ Fachroeddin.
Menurut Christoper, produksi Sky sebelumnya memang lebih banyak yang ditujukan untuk pasar ekspor karena waktu itu di Indonesia belum banyak kebutuhan terhadap panel surya. Produknya sudah diterima dengan baik oleh konsumen di berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat (AS) dan Kanada.
Ke depan, Sky Energi berupaya mendukung upaya pemerintah untuk mendorong penggunaan PLTS melalui ekspansi kapasitas produksi solar cell dan solar modul. “Komitmen ke depannya perbesar TKDN untuk mendukung program pemerintah,” kata Christoper.
Sementara itu, PT Bukit Asam Tbk memiliki rencana jangka panjang yang memasukkan Energi Baru Terbarukan dalam salah satu pilar energi yang ada di Bukit Asam untuk men-support green energy dan beyond coal perusahaan.
Fuad IZ Fachroeddin, Direktur Pengembangan Bukit Asam, mengatakan pada Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) hingga 2050, pengembangan EBT Bukit Asam cukup ambisius dan terukur karena mempunyai kelebihan dalam konteks lahan pasca tambang. Ini merujuk bahwa tantangan dalam pengembangan EBT, khusus PLTS adalah ketersediaan lahan dan tarif yang atraktif bagi pembeli. “Kami sudah hitung dengan cermat untuk address dua hal tersebut,” ucapnya.
Fuad mengatakan Bukit Asam sudah menyediakan 200 hektare lahan di Ombilin. Serta dua lokasi lain, yakni di Tanjung Enim dan Kalimantan Timur. Proyek tersebut akan dikembangkan bertahap hingga memiliki kapasitas hingga 300 MW.
“Di tiga titik tersebut rencana besar kami. Semoga PLN bisa approve masuk RUPTL. Jadi ketersediaan lahan sudah ada, lalu kami juga ingin memberikan value ke PLN,” kata dia.
Webinar SUKSE2S "Pengembangan PLTS untuk
Kemerdekaan Energi: Sampai Kapan Harta Karun
Terbesar di Indonesia Disia-siakan?", Kamis (26/8/2021).
Pembicara lainnya, Iwan Purnama, mengatakan untuk pengembangan PLTS perlu dukungan kebijakan, seperti dimasukkan semua perencanaan yang ada dalam RUPTL. Selain itu, menciptakan pasar PLTS dengan meningkatkan kapasitas pengembangan dalam PLTS dan menetapkan target pengembangan PLTS yang jelas. “Perlu harmonisasi antara supply dan demand dalam rangka akselerasi penambahan pembangkit baru,” terang Iwan
Menurut Iwan, dari sisi pengadaan juga diharapkan ada standarisasi aturan dan meningkatkan transparansi proses lelang, serta strandarisasi PPA yang bankable dengan alokasi risiko yang adil.
Dari sisi eksekusi proyek ada kemudahan dan flesibilitas dalam perizinan dan penyiapan lahan, termasuk perizinan waduk yang dikelola oleh Kementerian PUPR. Kemudian relaksasi persentase penggunaan permukaan waduk untuk mendanai PLTS terapung.
“Serta penguasaan teknologi dan kesiapan industri pendukung untuk bunga rendah,” kata dia.
Sementara itu, PT Indika Energy Tbk pada awal 2021 mendirikan perusahaan join venture dengan salah satu pengembang PLTS di India. “Kami sebutnya EMITS. EMITS sudah mengembangkan lebih 550 MW di India, mayoritas kepemilikan dipegang TPG,” ujar Azis Armand.
Menurut Azis, target komitmen net zero emission akan dicapai Indika melalui perubahan portfolio, dan melakukan dekarbonisasi di anak usaha yang akan berkontribusi ke net zero emission.
“Kami sudah diskusikan bahwa potensi PLTS sangat besar karena PLTS akan mempunyai suatu ekosistem tertentu. Kami ingin menjadi bagian dari ekosistem solar PV di Indonesia, baik melalui anak usaha EMITS dan lainnya,” kata dia.
Menurut Chrisnawan, pemanfataan EBT di Indonesia masih rendah. Untuk itu, semua energi terbarukan akan dikembangkan, namun kecepatannya melihat dari teknologi dan competiveness teknologi tersebut. “Teknologi surya besar tapi utilisasinya kecil. Saat ini kami sedang finalisasi pemuktahiran teknologi EBT, salah satunya surya yang potensinya besar,” ujar Chrisnawan.
Salah satu pertimbangan Kementerian ESDM mendorong PLTS adalah harganya yang terus turun dan animo yang meningkat di tanah air. Untuk itu, regulasi untuk mendukung pengembangan PLTS dipersiapkan. Saat ini regulasi tersebut tingga menunggu selesainya RUPTL.
Kementerian ESDM mendorong adanya Permen PLTS Atap yang memberikan insentif lebih partisipasi masyarakat, yakni ketentuan ekspor yang lebih besar dari 65% dan kelebihan akumulasi selisih dinihilkan diperpanjang.
“Selain itu, jangka waktu permohonan PLTS Atap lebih singkat, adanya pusat pengaduan sistem PLTS atap untuk menerima dan menindaklanjuti pengaduan, perluasan tidak hanya pelanggan PLN saja tapi dari pelanggan di luar wilayah usaha non PLN, hingga mekanisme pelayanan diwajibkan,” kata Chrisnawan.
Namun pengembangan PLTS bukan tanpa tantangan, khususnya kemampuan industri solar PV dalam negeri yang baru pada tahap assembly modul surya. Pengembangan industri solar PV dalam negeri ada pada skala ekonomi yang kecil, sehingga tidak kompetitif.
“Salah satu komponen PLTS yang penting yaitu inverter belum dapat diproduksi dalam negeri, teknologi penyimpanan energi masih mahal, dan kemampuan produksi dalam negeri juga masih terbatas untuk mendukung proyek PLTS skala besar,” kata Chrisnawan.
Norman mengungkapkan PPI yang juga Subholding Pertamina New Renewable Energy, menargetkan 50 MW sampai 50 MW hingga lima tahun ke depan. Proyek PLTS Pertamina dengan potensi 1,5 GW degan target PLTS sebesar 500 MW.
“Untuk merealisasikan target kapasitas terpasang 50 MW dari PLTS pada 2021, termasuk di SPBU Pulau Jawa, perlu dukungan manufaktur dan EPC lokal. PLTS ini tidak hanya digunakan untuk perumahan, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan listrik di sistem LNG Badak, termasuk di Dumai,” kata dia.
Mnurut Norman, tantangan pengembangan bisnis PLTS di Indonesia adalah segregated networks, tarif listrik intermitten, grid constrain, dan regulasi. “Saya juga melihat hal lain, seperti proses perizinan karena ada isu over supply sehingga BKPM menutup ruang bagi pengembang yang akan membangun PLTS. Hal ini menjadi kendala. Hal-hal seperti ini kita harapkan ada fasilitasi dari pemerintah sehingga bisa dipercepat pengembangannya,” tegasnya. RH