Foto: momi.minerba.esdm.go.id
Jakarta, OG Indonesia -- Kisruh penolakan izin pertambangan PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Sulawesi Utara yang tengah menjadi sorotan publik ibarat puncak gunung es persoalan izin pertambangan di Indonesia. Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif buka-bukaan soal sikap pemerintah atas kisruh di Sangihe dan kondisi perizinan pertambangan di Indonesia di webinar “Bincang Tambang Sangihe” yang digelar pada Jumat, 25 Juni 2021.
Irwandy menjelaskan pihak kementerian terus menerima masukan dari sejumlah pemangku kepentingan dan masyarakat sampai saat ini. Ia menjelaskan PT TMS merupakan perusahaan Kontrak Karya Generasi 6 dan telah melakukan kegiatan eksplorasi sejak 1997.
“Memang juga jadi pertanyaan dari kami kok lama betul tidak operasi? Nah ini mungkin banyak persyaratan yang harus dilengkapi dan baru kemarin keluar izin lingkungannya,” papar Irwandy.
Menurutnya terdapat juga simpang siur informasi di masyarakat soal luas wilayah kerja TMS yang disebut mencapai 42 ribu hektare. Ia menegaskan izin lingkungan yang keluar dan bisa dikelola sebenarnya hanya 65,48 hektare. Kementerian ESDM, kata dia, masih menggodok rencana penciutan wilayah kerja TMS dari 42.000 hektare menjadi 25 ribu hektare. “Tapi angka itu belum final,” jelasnya.
Ia juga menyebutkan kadar emas di Tambang Sangihe yang menjanjikan investasi rencana kerja senilai US$ 6 juta sebenarnya termasuk rendah dibanding tambang-tambang lain di Indonesia yakni maksimal di tahun ke-5 penambangannya hanya 1,09 gram per ton. “Ini nanti akan sangat sensitif dengan harga emas, kalau kadar peraknya lumayan besar. Dibandingkan dengan tambang di Cikotok misalnya bisa sampai 10 sampai 20 gram per ton," terangnya.
Irwandy menegaskan Kementerian ESDM tidak mungkin mengambil keputusan kalau tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. “Itu multistakeholders izinnya, tidak mungkin kalau masih ada yang keberatan bisa disetujui," ucapnya.
Perbaikan di sektor pertambangan, kata dia, sangat diperlukan. Usulan dari LSM hingga para pakar dipertimbangkan oleh Kementerian ESDM terhadap evaluasi izin-izin pertambangan yang ada saat ini. “Saat ini, Dirjen Minerba sedang tertibkan izin-izin usaha pertambangan, termasuk PKP2B dan Kontrak Karya, PMDN maupun PMA," ujar Irwandy.
ESDM Ancam Cabut 2350 Izin Pertambangan
Irwandy Arif juga mengungkap terdapat instruksi langsung dari Presiden Joko Widodo untuk meninjau izin pertambangan yang sekarang ada di Indonesia. “Dari 5600-an izin pertambangan saat ini, Presiden memerintahkan meninjau kembali 1600 IUP, PKP2B, dan KK yang tidak berkegiatan karena ini akan merugikan negara. Setelah ditindaklanjuti ternyata bukan 1600, tapi ada 2350," bebernya. Menurutnya, evaluasi ini sedang berjalan, semua yang tidak bisa mengerjakan kewajibannya dengan alasan yang tidak bisa diterima maka akan dicabut.
Ketua Pusat Studi Hukum ESDM IKA FH Universitas Diponegoro dan Pakar Hukum Lingkungan dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Wahyu Nugroho mengatakan untuk menghindari kekisruhan seperti kasus Tambang Sangihe, instrumen perizinan lingkungan hidup tidak dapat diabaikan, terutama dokumen AMDAL saat izin tambang disetujui pemerintah.
Lalu, pemerintah harus memastikan apakah izin tersebut sudah tersinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah & Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Mengingat 80% wilayah Indonesia adalah pesisir, dan sisanya adalah kehutanan. Sehingga penting dicermati aspek lingkungan hidup dan ekologisnya," jelas Wahyu.
Tak berhenti di situ, pengawasan juga harus dipastikan berjalan termasuk soal reklamasi dan pasca tambang. Dalam evaluasi kegiatan usaha tambang, ia juga menekankan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (GCG) yaitu dari sisi kemanfaatan, kecermatan, keterbukaan, dan kepentingan umum. “Sisi manfaat misalnya, terutama di pulau-pulau kecil itu menjadi berkah atau musibah bagi masyarakat sekitar," tuturnya.
Dari sisi sosiologis, perlu diperhatikan soal keikutsertaan masyarakat dalam proses wilayah penetapan pertambangan, AMDAl, dan lainnya. Sebab, masyarakat memiliki hak untuk mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pemerintah juga harus memperhatikan aspek perlindungan wilayah, tanah, dan hutan adat. “Kalau tidak ada partisipasi masyarakat, itu menjadi cacat formil izin pertambangannya,” tegas Wahyu.
Wahyu merekomendasikan evaluasi perizinan tambang bisa dilakukan secara komprehensif, tidak hanya dari sisi kewilayahan tapi juga masalah tumpang tindih wilayah IUP lain ataupun lahan adat, status kawasan, sosial budaya dan lingkungan. Koordinasi lintas sektoral juga diperlukan, tidak hanya Kementerian ESDM tapi juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), KKP, Kementerian ATR/BPN, dan lainnya. “Dan pastinya adalah harus ada ketegasan pemerintah baik dari sisi penciutan maupun pencabutan IUP/IUPK," lanjutnya.
Pakar Hukum Pertambangan Derita Prapti Rahayu menambahkan polemik kasus Sangihe terjadi karena ada benturan regulasi, dalam hal ini UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil.
Masalah pertambangan yang timbul saat ini juga tak lepas sebagai efek domino terbitnya UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, yang dinilai oleh Derita Prapti lebih sentralistik, oligarki, dan berpihak pada perusahaan pertambangan.
“Saat ini seluruh kategori izin pertambangan ditarik ke pusat. Saya harap kekuasaan di pemerintah pusat yang menjadi legitimasi untuk izin-izin tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada. Harus dilihat apakah relevan atau sinkron dengan undang lainnya, seperti UU tentang RTRW atau regulasi soal daerah pesisir," paparnya.
Sementara itu Pakar Hukum Pertambangan sekaligus Ketua IKA FH Universitas Diponegoro Ahmad Redi menambahkan bahwa izin pertambangan mesti dikaitkan dengan empat keseimbangan hak secara prioritas, “Yaitu keseimbangan hak lingkungan hidup, keseimbangan hak masyarakat yang berada dalam dan sekitar kegiatan yang akan ditambang, keseimbangan hak pemerintah dan pemda, serta keseimbangan hak pelaku usaha," ucapnya. R2