Foto: Ridwan Harahap |
Jakarta, OG Indonesia – Seperti halnya mobil tua yang butuh perawatan ekstra, demikian pula lapangan minyak, perlu penanganan tambahan agar dapat terus berproduksi di sisa usia. Salah satu caranya lewat Enhanced Oil Recovery (EOR).
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sendiri telah memasukkan upaya EOR sebagai salah satu dari empat strategi dalam menggenjot produksi minyak dan mewujudkan target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) serta 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada tahun 2030. Tiga strategi lainnya adalah mempertahankan tingkat produksi existing yang tinggi, akselerasi dari sumber daya ke produksi, serta melakukan kegiatan eksplorasi secara masif dan agresif.
Kondisi lapangan minyak di Indonesia saat ini banyak yang sudah tergolong brown field alias relatif tua. Karena itu kegiatan EOR menjadi krusial untuk menahan laju penurunan produksi di lapangan-lapangan minyak uzur tersebut. “Perjuangan kita adalah bagaimana mengarahkan produksi dan lifting di hulu migas Indonesia setelah lebih dari 20 tahun decline terus-menerus, untuk bisa meningkat dan menuju 1 juta barel oil per hari dan 12 ribu MMSCFD (12 BSCFD) di tahun 2030,” ucap Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam paparan kinerja hulu migas kuartal I 2021 beberapa waktu lalu.
Dalam siklus hidup suatu lapangan minyak, seiring waktu berlalu maka sumur minyak tak lagi bisa mengeluarkan minyak secara alamiah. Diterangkan John Wangge, Kepala Kelompok EOR KP3 Teknologi Eksploitasi PPPTMGB “LEMIGAS” Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kondisi tersebut menyebabkan remaining oil in place atau minyak tertinggal tidak bisa lagi terproduksi pada fase primary atau secondary recovery yang memakai teknik waterflood. Jadi sudah masuk fase tertiary recovery yang membutuhkan injeksi material eksternal.
Untuk penanganan pada tahap lanjut ini bisa dilakukan teknik EOR dengan memasukkan energi atau material dari luar ke dalam reservoir minyak. Beberapa teknik EOR yang sudah banyak dikenal adalah injeksi kimia (chemical injection), injeksi gas CO2 (CO2 injection), dan injeksi panas (thermal injection). Dengan menginjeksikan material eksternal tersebut maka minyak yang tersisa di reservoir minyak menjadi lebih mudah untuk dikuras dan disedot ke permukaan.
Kontribusi 15 Persen
John menegaskan, pemanfaatan EOR tidak
boleh dipandang sebelah mata dalam upaya mengejar produksi minyak 1 juta barel
per hari. Karena berdasarkan target yang dicanangkan SKK Migas untuk meraih 1
juta barel, sekitar 70% merupakan kontribusi dari lapangan existing, 15% dari
eksplorasi, dan 15% lagi dari EOR. “Jadi EOR berkontribusi 15 persen atau sekitar
150 ribu barel per hari, dengan yang menjadi andalan adalah injeksi chemical
dari Blok Rokan,” jelas John kepada OG Indonesia, Jumat (18/6/2021).
Selain krusial dan tak boleh dianggap remeh, menurut Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, EOR sejatinya juga menjadi tumpuan baru bagi masa depan hulu migas Tanah Air. “EOR merupakan masa depan kita, karena keterbatasan lapangan yang kita miliki. Optimalisasi penggunaan EOR saya kira harus dilakukan,” tegas Mamit kepada OG Indonesia, Senin (21/6/2021).
Memang, seiring kian banyaknya lapangan minyak yang telah melampaui masa mature-nya, maka implementasi EOR perlu makin digencarkan. Pemerintah lewat Kementerian ESDM beberapa waktu lalu telah memetakan ada 34 kandidat lapangan untuk EOR yang sebagian besar berada di wilayah Indonesia bagian barat. “Data yang kami pegang, estimasi jumlah minyak yang dapat dikuras adalah sekitar 4,6 miliar STB (stock tank barrel) di mana porsi yang dikuras melalui Chemical EOR sebesar 89 persen,” urai John.
Ditambahkan Dwi Soetjipto, saat ini ada beberapa kegiatan EOR yang tengah dijalankan. Pertama, POD (Plan of Development) chemical EOR untuk Lapangan Minas di Blok Rokan yang sudah mencapai tahap Dynamic Modelling. Kedua, melanjutkan field trial polymer EOR di Lapangan Tanjung. “Kita juga melakukan screening dan ranking kandidat EOR di Indonesia yang didukung oleh world class EOR Consultant,” ungkap Dwi.
Terkait dengan injeksi chemical di Lapangan Minas, diceritakan John Wangge, pada tahun 2008 dan 2012 LEMIGAS telah melakukan verifikasi terhadap chemical dari Oronite. “Hasil coreflood test-nya sangat bagus yaitu di atas 93% Sor. Tapi apakah dengan komposisi dan desain injeksi seperti ini ekonomis diterapkan pada full scale? Ya kita tunggu studi POD yang sedang dikerjakan,” urai John.
Keekonomian Lapangan
Keekonomian lapangan memang
menjadi salah satu tantangan dalam pengembangan EOR. Kepala SKK Migas
mengatakan implementasi EOR memang sangat mengharapkan keekonomian lapangan
agar bisa berjalan. “Karena memang cadangan yang diambil adalah cadangan yang
sudah mature dan dalam posisi sulit untuk diambil,” tutur Dwi.
Tantangan terkait biaya ini juga dikonfirmasi oleh Mamit Setiawan. Menurutnya, EOR merupakan pekerjaan jangka panjang yang harus dimulai dengan penelitian sampai ditemukan formula yang cocok dan khas untuk lapangan tersebut saja. “Untuk melakukan penelitian tersebut mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi nanti pada saat diimplementasikan, pastinya biayanya juga besar,” terangnya. Apalagi jika harga minyak dunia rendah, menurut Mamit program EOR bisa dipastikan tidak berjalan, kecuali ada stimulus dari pemerintah.
Namun kini, kondisi harga minyak dunia kian membaik. Pada Rabu (23/6/2021), minyak mentah Brent mencapai US$ 74,81 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) sekitar US$ 73,06 per barel. “Kenaikan harga minyak dunia saat ini yang merupakan tertinggi sejak 2018 bisa menjadi momentum untuk meningkatkan pekerjaan EOR ini,” ujar Mamit.
Ya, kembali tingginya harga
minyak dunia seharusnya bisa membuat pihak kontraktor kontrak kerja
sama (KKKS) kian bergairah untuk menguras minyak dari reservoir dengan
cara EOR. Agar EOR kian menarik, Mamit menyarankan adanya insentif bagi KKKS
agar program EOR berlangsung optimal. “Misalnya, karena EOR merupakan pekerjaan
jangka panjang, maka kepastian KKKS untuk mendapatkan perpanjangan kontrak ke
depannya saya kira harus diberikan,” sarannya.
Selain itu, perlu juga diberikan insentif fiskal tambahan untuk KKKS yang berhasil mengembangkan EOR di lapangan miliknya. “Pemerintah juga saya kira bisa melakukan riset dan penelitian sendiri dengan menggandeng lembaga nasional seperti LEMIGAS, LIPI dan universitas dalam mengembangkan EOR sehingga bisa menjadi lebih murah,” pungkas Mamit. (Ridwan Harahap)