Marwan Batubara, Komite SDA dan Lingkungan Hidup KAMI. Foto: Hrp |
Jakarta, OG Indonesia -- Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menggugat maraknya kehadiran tenaga kerja asing (TKA) China pada industri mineral nasional. Diketahui bahwa Indonesia memiliki cadangan mineral cukup besar di dunia yang diharapkan dapat memberi manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
"Ternyata pada industri nikel, terjadi banyak masalah, sehingga manfaat ekonomi dan keuangan yang diharapkan tak kunjung dapat diraih. Bahkan tenaga kerja lokal dan pribumi pun terpinggirkan, terutama akibat kebijakan dan penyelewengan seputar TKA China," ucap Marwan Batubara, Komite Sumber Daya Alam & Lingkungan Hidup KAMI dalam keterangannya, Kamis (27/5/2021).
Diungkapkan Marwan, KAMI menemukan sangat banyak masalah yang melanggar hukum, merugikan negara dan merampas hak rakyat untuk bekerja. Menurutnya, mesti sudah digugat berbagai kalangan, termasuk Ombudsman, Anggota DPR, serikat pekerja, pakar-pakar, pengurus partai dan ormas, namun masalah TKA China tetap berjalan lancar tanpa perbaikan, sanksi atau tersentuh hukum.
"Para TKA China seolah mendapat perlindungan dan jaminan dari oknum-oknum tertentu, termasuk oligarki penguasa-pengusaha. Mereka mendapat berbagai pengecualian, fasilitas dan kemudahan antara lain dengan dalih sebagai penarik investasi/FDI, penggerak ekonomi nasional dan daerah, serta status sebagai proyek strategis nasional (PSN)," bebernya.
Diperkirakan, jumlah TKA China yang masuk Indonesia, terutama pada industri nikel dan bauksit diindikasikan mencapai puluhan ribu orang dengan wilayah tujuan terutama Sulawesi, Halmahera dan Kepulauan Riau. Kedatangan TKA China tersebut, dikatakan Marwan, tidak berjalan paralel dengan penyerapan tenaga kerja lokal secara seimbang. Selain itu, TKA China bekerja dengan melanggar berbagai peraturan yang berlaku, seperti UU No.13/2013 tentang Ketenagakerjaan, Permen Ketenagakerjaan No.10/2018 tentang Tata Cara Penggunaan TKA, Kepmen Tenaga Kerja No.228/2019 tentang Jabatan Tertentu oleh TKA, dan UU No.6/2011 tentang Keimigrasian.
KAMI pun membeberkan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Pertama, TKA China bebas masuk saat larangan kedatangan orang asing berlaku selama pandemi Covid-19. Terdapat sekitar 10.482 TKA yang masuk selama pandemi. Padahal Menaker telah mengeluarkan Surat Edaran M.1.HK.04/II/2020 tentang Pelarangan sementara penggunaan TKA asal China akibat wabah sejak Februari 2020. Antara Januari-Februari 2021, ada 1.460 TKA China yang masuk. "Hal ini jelas bertentangan dengan kebijakan Presiden Jokowi sendiri yang melarang masuknya warga asing mulai Januari 2021," tegas Marwan.
Kedua, sebagian besar TKA China masuk menggunakan visa 212, yaitu visa kunjungan yang tidak bersifat komersial, bukan visa untuk bekerja. Masa berlaku Visa 212 maksimum 60 hari. "Visa kunjungan telah disalahgunakan untuk berkeja berbulan-bulan atau tahunan! Dengan puluhan smelter China, maka ada puluhan atau ratusan ribu TKA China ilegal di Indonesia," jelasnya.
Ketiga, TKA yang akan bekerja di Indonesia perlu mendapat visa 312. Namun hal ini sengaja dihindari karena harus memenuhi syarat seperti skill, waktu dan biaya pengurusan, serta pengenaan pajak. "Para pemberi kerja, pemerintah dan para TKA sengaja menghindari penggunaan visa 312. Rekayasa dan konspirasi ini jelas pelanggaran hukum yang serius, sudah seharusnya Penjamin TKA ini mendapatkan sangsi Pidana," sergah Marwan.
Keempat, mayoritas TKA China yang dipekerjakan hanyalah lulusan SD, SMP dan SMA, serta bukan tenaga terampil sesuai aturan pemerintah, tetapi pekerja kasar. Sesuai Permenaker No.10/2018 hal ini jelas melanggar aturan dan merampok hak tenaga kerja pribumi.
Kelima, meskipun bekerja di Indonesia, gaji TKA China lebih besar signifikan dibanding gaji pekerja pribumi. Marwan memaparkan, pada smelter VDNI, persebaran gaji bulanan sekitar 27% TKA menerima Rp 15 juta - Rp 20 juta; 47% menerima Rp 21 juta - Rp 25 juta; 16% menerima Rp 26 juta - Rp 30 juta; 5% menerima Rp 31 juta - Rp 35 juta, dan 4% menerima 36 juta – Rp 40 juta. "Hal hampir sama terjadi pada smelter OSS. Mayoritas TKA lulusan SD, SMP dan SMA. Namun memperoleh gaji besar dengan sebaran antara Rp 15 juta hingga Rp 35 juta," ungkapnya.
"Untuk jenis pekerjaan yang sama, gaji TKA China ini jauh di atas gaji pekerja pribumi lulusan SD-SMA yang hanya berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 5 juta, sudah termasuk lembur," tambah Marwan.
Keenam, sistem pembayaran gaji para TKA China dilakukan oleh sebagian investor di China daratan. Uang dari gaji tersebut tidak beredar di Indonesia, tidak ada uang masuk ke Indonesia. "Hal ini jelas merugikan ekonomi nasional dan daerah yang berharap perputaran ekonomi, peningkatan PDRB dan nilai tambah. Berhentilah mengharap nilai tambah. Sebab, kesempatan kerja kasar bagi lulusan SD-SMA pribumi saja sudah dirampok TKA China," lanjutnya.
Ketujuh, dengan pembayaran sebagian gaji TKA di China, maka negara kehilangan penerimaan pajak dan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA). Tidak ada jaminan VDNI, OSS dan sejumlah perusahaan smelter China lain, khususnya pada industri nikel dan bauksit membayar pajak dan DKPTKA. "Rekayasa dan manipulasi sistemik ini, termasuk penggunaan visa kunjungan membuat negara berpotensi kehilangan PNBP sangat besar," terangnya.
Dan kedelapan, pemerintah belum pernah melakukan audit terhadap puluhan smelter yang beroperasi di Indonesia. "Dengan demikian praktik curang dan manipulatif investor China dan konglomerat yang merugikan ekonomi dan keuangan negara tirliunan rupiah tersebut dapat leluasa berlangsung bertahun-tahun tanpa sanksi hukum," sambung Marwan.
KAMI juga menemukan bahwa potensi kerugian negara akibat tidak dibayarnya pajak dan DKPTKA adalah sekitar Rp 37,92 juta per TKA per tahun. Jika jumlah TKA China yang bekerja adalah 5000 orang per smelter, maka potensi kerugian negara adalah Rp 189 miliar per tahun. Jika diasumsikan ada 30 smelter yang beroperasi, masing-masing mempekerjakan 5000 orang TKA, maka total potensi kerugian negara adalah Rp 5,68 triliun per tahun!
Atas berbagi permasalahan itu KAMI merekomendasikan langkah-langkah cepat dan tanggap yang sudah harus dilakukan Pemerintah.
Pertama, menuntut pemerintah dan lembaga negara terkait untuk melakukan audit terhadap VDNI, OSS dan seluruh perusahaan China yang mempekerjakan TKA China di Indonesia;
Kedua, menuntut pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk memproses pelanggaran hukum para TKA China dan seluruh perusaahaan yang mempekerjakan mereka karena melanggar Pasal 63 ayat 2 dan 3, serta Pasal 122 huruf a dan b UU No.6/2011 tentang Keimigrasian.
Ketiga, dalam konteks pertahanan dan ketahanan nasional, menuntut pemerintah dan DPR untuk mengawasi dan menjamin terhindarnya negara dari ancaman rekayasa sistemik militer dan geopolitik China.
"Akhirnya dibutuhkan segenap kesungguhan hati, keseriusan, perhatian dan dukungan seluruh komponen bangsa, khususnya kepada Komisi IX DPR RI demi keselamatan dan tetap tegaknya nusa, bangsa, negara Indonesia tercinta," pungkas Marwan. RH