Oleh: Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS)
Presiden Jokowi dituntut untuk segera membatalkan proses tender pembangkit listrik Rp 4,2 triliun milik Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang sedianya akan digunakan untuk operasi Blok Rokan oleh Pertamina sejak 8 Agustus 2021. Penghentian ini harus segera dilakukan karena melanggar hukum, berpotensi merugikan keuangan negara triliunan rupiah dan merendahkan kedaulatan NKRI di hadapan asing dan para oligarki pemburu rente.
Selain itu, DPR dan KPK dituntut segera menyelidiki Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan Chevron Standard Ltd (CSL) atas sikap dan pelanggaran yang dilakukan. DPR dan KPK juga perlu segera memanggil dan menyelidiki keterlibatan konspiratif oligarki dan oknum-oknum pemerintah pada lembaga terkait, terutama Kementrian ESDM dan SKK Migas, yang membiarkan proses tender yang melanggar hukum dan Kontrak KKS tetap berlangsung.
Seperti diketahui, pengelolaan Blok Rokan akan beralih kepada Pertamina pada 8 Agustus 2021 setelah dioperasikan CPI sejak 8 Agustus 1970. CPI (dulu bernama Caltex) sendiri telah menambang minyak di Blok Rokan (lapangan-lapangan Minas, Duri dan Bekasap) sejak 1924. Cadangan Blok Rokan saat ditemukan sekitar 6 miliar barel. Namun sebagian besar cadangan sudah terkuras, sehingga saat ini guna mengeluarkan minyak yang tersisa dari sumur-sumur perlu suntikan air atau uap (secondary recovery) atau zat kimia (tertiary recovery, EOR).
Listrik adalah fasilitas utama untuk operasi lapangan dan penyuntikan uap ke sumur-sumur Blok Rokan. Untuk itu Blok Rokan ditopang Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) North Duri Cogeneration (NDC) berkapasitas 300 Megawatt (MW), yang menghasilkan output berupa daya listrik 300 MW dan uap 3.140 MMBTU sekaligus. PLTG ini dikelola oleh MCTN dengan komposisi saham Chevron Standard Limited (CSL) sebesar 95% dan PT Nusa Galih Nusantara (NGN) sebesar 5%. CLS sendiri terafiliasi dengan Chevron Corporation.
Belakangan diketahui, saat alih kelola Blok Rokan 8 Agustus 2021 yang akan datang, PLTG milik MCTN tidak termasuk bagian aset yang ditransfer dari CPI kepada Pertamina. Chevron tidak ingin mentransfer aset PLTG tersebut secara cuma-cuma dengan menyatakan bahwa aset tersebut tidak masuk dalam aset hulu migas yang dialih-kelola ke Pertamina. Karena itu CPI menyatakan berhak melelang pembangkit tersebut kepada penawar tertinggi.
Padahal, jika pasokan listrik dan uap PLTG NDC tidak tersedia, maka produksi minyak Blok Rokan akan terhenti. Dengan asumsi rata-rata produksi Blok Rokan 165.000 barel per hari, harga crude rata-rata April 2021 USS 60 per barel dan kurs US$/Rp=14.000, maka potensi kehilangan penerimaan Pertamina sejak 8 Agustus 2021 mencapai Rp (165.000 x 60 x 14.000) = Rp 138,6 miliar per hari. Dalam 3 tahun penerimaan yang akan hilang sekitar Rp 5 triliun.
PLN dan Pertamina Hulu Rokan (PHR) memang sudah menandatangani kontrak jual-beli listrik dan uap, berjangka pendek selama masa transisi, dan berjangka panjang, setelah PLN selesai membangun jaringan transmisi penghubung ke sistem jaringan listrik Sumatera. Karena itu, selama masa transisi mau tidak mau PLTG yang dikelola MCTN harus tetap menyuplai listrik dan uap Blok Rokan, sampai PLN mampu menyuplai kebutuhan 3 tahun mendatang.
Kasus listrik MCTN yang muncul saat alih-kelola dari CPI ke Pertamina tinggal beberapa bulan ini telah menyandera kelangsungan operasi Blok Rokan. Hal ini sekaligus akan mengancam pendapatan negara, merugikan Pertamina dam menurunkan lifting nasional, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan impor crude/BBM, menambah defisit neraca perdagangan dan menurunkan kurs rupiah. Karena itu Pemerintah dituntut untuk segera bertindak membatalkan proses tender, termasuk membawa kasus ini ke ranah hukum, karena hal-hal berikut.
Pertama, sarana listrik NDC milik MCTN telah dibayar oleh negara melalui mekanisme cost recovery, sehingga tidak ada alasan bagi CPI atau MCTN mengklaim tetap memiliki aset negara tersebut. Apalagi, selama beroperasi, pembangkit NDC berada di atas tanah negara dan MCTN tidak pernah membayar biaya sewa sesuai perjanjian.
Kedua, saat ini CPI masih terikat kontrak PSC Blok Rokan dengan Pemerintah atau SKK Migas. Sehingga, CPI tidak berhak secara hukum menenderkan PLTG NDC secara sepihak kepada pihak manapun tanpa persetujuan Pemerintah. Mengapa Pemerintah dan SKK Migas diam? Ada oknum penguasa atau pengurus partai yang terlibat perburuan rente?
Ketiga, sesuai konstitusi, PLN merupakan pemegang hak monopoli penjualan listrik domestik. Karena itu tidak ada hak bagi perusahaan swasta untuk menyuplai listrik (dan uap) Blok Rokan, termasuk swasta calon pemenang tender. Mengundang swasta untuk mengikuti tender listrik MCTN pada dasarnya sudah merupakan pelanggaran hukum yang fatal.
Keempat, seandainya pun lelang tetap terjadi, nilai tender pembangkit NDC sebesar US$ 300 juta (sekitar 4,2 triliun) ini sangat tidak wajar. Sebab, saat dibangun nilai NDC hanya US$ 190 juta (sekitar Rp 2,66 triliun) dan pembangkit ini sudah beroperasi selama 20 tahun. Sehingga nilai bukunya saat ini hanya tinggal beberapa juta US$ saja.
Kelima, selama ini CPI sengaja tidak membangun pembangkit sendiri, tetapi membiarkan pembangunan oleh perusahaan terafiliasi CPI, yakni MCTN. Sehingga hal ini memudahkan terjadinya transfer pricing guna memperoleh keuntungan besar. Tagihan listrik dari MCTN ke CPI dapat mencapai US$ 80 juta per tahun. Negara telah dikadali dan dirugikan!
Keenam, tender listrik MCTN sengaja dilakukan last minute, menjelang saat alih-kelola terjadi. Hal ini menunjukkan adanya iktikad buruk dan upaya perburuan rente di tengah ketidak-berdayaan Pertamina untuk tetap mempertahankan produski migas Rokan. Prilaku yang sarat moral hazard ini merupakan pelecehan terhadap kedaulatan negara dan martabat bangsa.
Ketujuh, proses tender berlangsung tertutup, konspiratif dan ditutup-tutupi guna memperoleh penawaran tinggi. Sementara itu, lembaga-lembaga terkait, terutama KESDM dan SKK Migas, tidak menjalankan tugas dan fungsi pengendalian dan pengawasan sesuai aturan, sehingga tender pembangkit NDC tetap berlangsung. Sikap pembiaran yang melanggar hukum ini perlu diselidiki dan diusut DPR dan KPK. Hal ini akan dibahas dalam tulisan terpisah.
Memperhatikan hal-hal di atas, IRESS kembali mengingatkan dan menuntut Pemerintah, terutama Presiden Jokowi, untuk segera membatalkan proses tender PLTG milik MCTN. Karena melecehkan kedaulatan, merugikan keuangan BUMN/negara dan mengancam lifting yang berujung pada defisit neraca perdagangan dan gangguan ekonomi nasional, maka proses tender PLTG MDC yang sedang berlangsung saat ini harus dinyatakan tidak berlaku.
Selain itu Presiden dituntut menjamin alih-kelola Blok Rokan dari CPI ke Pertamina secara mulus, lancar dan prudent, termasuk menjamin penyerahan PLTG NDC dari MCTN kepada PLN secara cuma-cuma sesuai aturan berlaku. Alih-kelola harus bebas dari intervensi oknum-oknum pejabat KESDM dan SKK Migas, serta oknum-oknum Partai yang terlibat perburuan rente, namun sekaligus merugikan negara. Pemerintah pun harus bersikap tegas menghadapi setiap upaya oligarki, termasuk pihak asing untuk memanfaatkan situasi ketidak-berdayaan BUMN (Pertamina dan PLN), atas nama mempertahankan lifting migas, dalam rangka berburu rente.[]