Proyek pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem) sempat melakukan groundbreaking pada Februari 2020 lalu, sebelum akhirnya PT Rekayasa Industri mundur dari proyek tersebut. |
Jakarta, OG Indonesia -- Beda pendapat antara Kementerian ESDM dan BPH Migas terkait rencana proyek strategis nasional pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem) mencuat ke publik dalam beberapa waktu terakhir. Publik melihat ada perbedaan mencolok terkait pendanaan proyek pipa gas Cisem pasca mundurnya PT Rekayasa Industri yang jadi pemenang hak khusus ruas transmisi gas bumi Cirebon-Semarang.
Di mana Kementerian ESDM ingin agar proyek pipa gas ini dapat dikerjakan lewat skema APBN. Sedangkan BPH Migas berpatokan bahwa proyek tersebut harus diberikan kepada pemenang lelang urutan kedua yaitu PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) yang notabene perusahaan swasta. "Dua pemikiran di atas tentu sangat kontras dan pola pikirnya sangat mencolok antara semangat konstitusi dengan semangat kapitalis pencari rente dari swasta," ucap Ferdinand Hutahaean, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) dalam keterangannya, Selasa (27/4/2021).
Ferdinand menjelaskan, bahwa gas adalah salah satu cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti halnya Bahan Bakar Minyak (BBM). Di mana gas merupakan salah satu komponen utama yang sangat besar persentasenya dalam sektor industri yang mempengaruhi harga produk.
"Maka selayaknya semua infrastruktur produksi gas dan distribusi gas ini harus dikuasai oleh negara sebagaimana diamanatkan konstitusi, bukan malah diserahkan kepada swasta yang akan membuat negara ketergantungan kepada swasta. Ini bahaya," tegas Ferdinand.
Dia pun menceritakan lagi soal kisruh harga gas industri yang pernah terjadi. Karena masalah tersebut, disampaikan Ferdinand, Presiden Joko Widodo bahkan pernah marah terkait mahalnya harga gas industri. Pada akhirnya, Pemerintah pun turun tangan dengan mengeluarkan keputusan yang memaksa PGN menjual gas dalam harga tertentu yang ternyata juga mengakibatkan tekanan terhadap keuangan PGN karena berdampak pada pendapatan serta laba.
"Padahal salah satu penyebab utama mahalnya harga gas adalah mahalnya biaya toll fee yang harus dibayar kepada swasta untuk mendistribusikan gas. Ini kesesatan logika puluhan tahun yang ingin dipertahankan oleh BPH Migas. Sebuah keputusan yang memperkaya swasta dan menyandera kepentingan negara. Maka kesalahan masa lalu tersebut tidak boleh diteruskan oleh BPH Migas dan harus merubah pola pikirnya," paparnya.
Untuk proyek pipa Cisem, menurut Ferdinand, pilihan terbaiknya adalah dengan dibiayai oleh APBN yang akan menegaskan posisi negara menguasai cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Menurutnya, dengan dibiayai oleh APBN maka akan mampu menekan harga gas karena biaya distribusi akan berkurang dan tidak lagi membayar mahal kepada swasta.
"Saya heran bila BPH Migas tidak berpihak kepada negara, jangan-jangan ada yang manis di sana sehingga lebih memilih swastanisasi kapitalisme dibanding menegakkan konstitusi. Saya berharap agar Presiden Jokowi menegur BPH Migas dan memerintahkan agar proyek pemipaan ini dilaksanakan oleh pemerintah dengan APBN demi masa depan industri yang kompetitif," saran Ferdinand.
Mirip Kalija 1
Sementara itu, politisi Partai Hanura yang juga mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Inas Nasrullah Zubir menilai, persoalan proyek pipa gas Cisem ini mirip dengan persoalan pipa gas Kalija 1 ruas Kepodang-Tambak Lorok di Jawa Tengah beberapa tahun lalu. Di mana peserta tender pada saat itu adalah PT Barata (BUMN), BNBR/Bakrie, PGN (BUMN), dengan Barata sebagai pemenangnya.
"Justru yang harus dicermati adalah bahwa persoalan ini sangat mirip dengan masalah yang terjadi di pipa gas Kalija 1 dari Kepodang ke Tambak Lorok, Jawa Tengah dengan pemenang PT Barata tapi mangkrak. Kemudian ditunjuk pemenang kedua, yakni Bakrie, tapi mangkrak juga," ungkap Inas.
Inas menceritakan, proyek tersebut pada akhirnya diambilalih Pemerintah yang kemudian menugaskan PGN untuk mengerjakannya melalui joint venture dengan Bakrie melalui PT Kalimantan Jawa Gas. "Dan yang menarik seluruh pipanya disuplai oleh Bakrie Pipe Industries," bebernya.
Menurut Inas, jika proyek pipa gas Cisem diambilalih Pemerintah melalui Kementerian ESDM maka yang akan melaksanakannya nantinya sudah pasti BUMN. "Siapa lagi kalau bukan PGN. Dan kita bisa menduga bahwa praktik yang sama dengan Kalija 1 pun akan terjadi, yakni PGN disuruh joint venture lagi dengan Bakrie dan pipa gasnya disuplai lagi dari Bakrie Pipe Industries," ucapnya.
Lebih jauh Inas menambahkan, bahwa saat ini Negara sudah membangun pipa transmisi gas melalu BUMN yakni PGN dan anak usahanya sepanjang 4751 km atau sekitar 98% dari pipa transmisi gas bumi nasional. Masih ada lagi pipa distribusi sepanjang 5.418 km yang sekitar 89% dari pipa distribusi gas bumi nasional.
"Untuk itu, jika BPH Migas ingin menunjuk BNBR/Bakrie, seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, asalkan jangan sampai kasus Kalija 1 terulang lagi, di mana kemudian mangkrak lagi dan ujung-ujungnya PGN disuruh joint venture dengan BNBR/Bakrie, dan Bakrie juga yang akan menyuplai pipanya. Itu namanya modus," tutup Inas. R3