Oleh: Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS)
Kasus pencurian 21,5 ton BBM (Solar) milik Pertamina di Single Point Mooring (SPM) Tuban sudah berlalu sekitar dua minggu. Belum jelas bagaimana kelanjutan kasus ini ke depan. Padahal pencurian sudah nyata menunjukkan keterlibatan orang dalam, sebagian pelaku sudah tertangkap, terjadi pada fisilitas bongkar-muat (SPM), di depan hidung Pertamina yang mengoperasikan objek vital nasional (obvitnas).
Tim Gabungan Ditpolair Polri telah mengamankan kapal pencuri bernama MT Putra Harapan (MTPH), 21,5 ton solar, seorang nakhoda kapal (AI), seorang anak buah kapal (MT), satu unit selang hose single mooring, mulut pipa buatan, dan pipa selang spiral. Jika dikembangkan dengan seksama, hasil penyelidikan awal dengan tertangkapnya para pelaku dan barang-barang bukti yang ada, tentu sudah cukup lengkap untuk mengusut lebih lanjut.
Dalam kasus pencurian ini, para pelaku disangkakan melanggar pasal 363 KUHP, 372 KUHP, Pasal 53 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, Pasal 4 juncto Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Para pelaku terancam hukuman lebih dari 5 tahun penjara.
Ditpolair Polri mengaku memantau operasi kapal pencuri BBM ini selama berbulan-bulan, sehingga diperkirakan kejahatan ini sudah berlangsung lama dan dapat merugikan keuangan negara/BUMN puluhan miliar rupiah. Selain itu, BBM hasil curian ini merupakan salah satu sumber pasokan solar gelap di tanah air (di samping solar subsisdi yang diselewengkan dan tapping di tengah laut) yang dijual lebih murah dan bebas pajak yang banyak beredar, terutama untuk sektor industri dan marines.
Tentu saja pencurian solar dan maraknya peredaran solar gelap tersebut merugikan Pertamina dan keuangan negara yang kehilangan potensi pendapatan pajak. Karena itu proses penyelidikan yang telah dimulai Ditpolair Polri tersebut diharapkan dapat segera dilanjutkan secara transparan ke tingkat lebih lanjut hingga sampai ke pengadilan. Proses ini diharapkan pula bebas dari hambatan bernuansa kekuatan kekuasaan dan politik.
Cukup banyak media cetak dan elektornik yang memberitakan keterkaitan pemilik kapal Putra Harapan pencuri BBM ini, yang disebut-sebut Anggota DPR bernama Rahmat Muhajir (RM). Politisi dari Fraksi Gerindra ini disebutkan memiliki perusahaan layanan bunker dan transportasi BBM di Tanjung Perak, Surabaya. Bahkan selain MT Putra Harapan, yang bersangkutan konon memiliki sejumlah kapal lain yang bisa saja digunakan untuk operasi yang sama di lokasi yang sama dan/atau tempat lain.
Kejahatan sistemik pencurian minyak ini jelas melibatkan pihak-pihak internal dan eksternal Pertamina. Kerja sama kedua pihak diyakini sudah terjalin kuat dan berlangsung lama seperti terjadi pada kasus-kasus pencurian BBM dan minyak mentah di masa lalu. Bahkan pihak eksternal tersebut umumnya melibatkan oknum-oknum pengusaha, aparat keamanan dan pertahanan negara. Keterlibatan pihak yang disebut terakhir biasanya membuat kasus pidana pencurian tersebut tidak tuntas.
Kita tidak paham hingga seberapa jauh tingkat keterlibatan pejabat terkait di lingkungan internal Pertamina, apakah hanya di seputar penganggungjawab operasional fasilitas bongkar-muat, SPM atau hingga ke level lebih tinggi. Yang jelas sudah ada dua orang internal yang ditangkap. Penyelidik Polri tentu bisa mengembangkan penyelidikan lebih lanjut hingga ke level lebih tinggi dan lingkup lebih luas, sehingga pelaku utamanya tertangkap.
Keterlibatan pihak internal mungkin saja terbatas dalam lingkup lokal. Namun karena SPM berstatus sebagai obvitnas yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tentu manajemen yang lebih tinggi, bahkan hingga ke pusat, harus ikut bertanggungjawab. Tanggungjawab ini minimal dituntut untuk hal-hal yang menyangkut masalah stabilitas dan keamanan operasi obvitnas, fungsi pengawasan manajemen, kemampuan SDM dan prosedur kerja yang khusus melibatkan fasilitas obvitnas.
Pada sisi eksternal, penyelidikan terhadap pemilik kapal, serta keterlibatan dan perannya memuluskan proses pencurian di tempat terbuka milik negara, merupakan salah satu kunci penting untuk membongkar kasus ini. Fasilitas dan modus operasi merupakan kegiatan yang direncanakan secara seksama karena melibatkan penyediaan kapal dan jaringan luas yang membutuhkan investasi besar. Konon subjek utama kegiatan ini yang disebut sebagai Anggota DPR adalah juga seorang pengusaha besar daerah/nasional.
Pencurian ribuan ton minyak mentah per hari melalui terminal terapung atau single buoy mooring (SBM) di Lawelawe, Kalimantan Timur pernah terjadi dan berlangsung berbulan-bulan pada 2004-2005. Kejahatan ini merupakan kerja sama puluhan karyawan Pertamina dengan pihak luar, baik lokal maupun asing, termasuk oknum-oknum aparat negara. Hasil curian dijual ke luar negeri, terutama Singapura, yang dihitung merugikan negara Rp 8 triliun.
Dalam kasus Lawe-lawe, pengadilan memang telah menghukum karyawan Pertamina yang terlibat pencurian. Namun tidak ada kejelasan status hukum terhadap pihak-pihak eksternal yang terilbat, termasuk terhadap oknum-oknum aparat dan pengusaha kapal.
Untuk kasus pencurian solar di Tuban ini, kita berharap Polri dapat menuntaskan kasus secara independen, bebas dari pengaruh kekuatan uang, kekuasaan dan politik. Meskipun memang sangat pantas dihukum, jangan sampai hukum hanya berlaku terhadap para pelaku di lapangan, yang kebetulan tertangkap. Sementara jaringan pencurian yang terlibat, terutama pelaku utamanya bebas tak tersentuh hukum. Kita miminta komitmen dan langkah nyata dari Pimpinan Polri dan Pemerintah untuk menuntaskan kasus ini secara transparan.[]