Jakarta, OG Indonesia -- Institute for Essential Services Reform (IESR) beranggapan program kendaraan listrik dapat membantu Indonesia melakukan dekarbonisasi dan meningkatkan ketahanan energi Indonesia melalui penurunan laju permintaan bahan bakar minyak. Penggunaan kendaraan listrik jika dikombinasikan dengan peningkatan bauran energi terbarukan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Untuk itu Pemerintah perlu mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia dalam lima tahun mendatang dengan membangun ekosistem pendukung kendaraan listrik dan menstimulasi pasar dengan insentif finansial dan fiskal.
Di tahun 2019, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terbesar kedua (157 juta ton CO2 atau 27%) setelah sektor industri (215 juta ton CO2 atau 37%). Pemodelan IESR menunjukkan bahwa penetrasi kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi sebesar dalam skenario ambisius, dengan penerapan instrumen insentif yang agresif pada sisi permintaan, dapat menekan emisi sebesar 8,4 juta ton CO2 pada 2030 dan 49,5 juta ton CO2 pada 2050. Pemerintah menetapkan target 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta kendaraan listrik roda-2 pada 2030.
“Target ini cukup ambisius tapi dengan perencanaan yang terintegrasi, insentif untuk mendorong pasar, dan pengembangan ekosistem pendukung, target tersebut dapat dicapai,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam keterangan tertulisnya kepada OG Indonesia, Senin (21/12/2020).
“Kuncinya adalah akselerasi adopsi kendaraan listrik dalam 5 tahun mendatang. Untuk itu peluang terbaik ada pada segmen kendaraan listrik roda 2 yang lebih terjangkau bagi sebagian besar pengguna kendaraan bermotor di Indonesia. Jika ada insentif tambahan dalam bentuk kredit yang lebih mudah dan suku bunga rendah, serta stasiun penukaran battery (battery swapping) yang lebih banyak, ditambah dengan peningkatan kesadaran konsumen, maka dalam periode 5 tahun mendatang, motor listrik dapat mencapai 20% dari total penjualan kendaraan bermotor roda-2. Setelah 2025, kendaraan penumpang roda-4, bisa mencapai penetrasi 5-10% sampai 2030, seiring dengan peningkatan model dan harga mobil yang lebih terjangkau,” imbuh Fabby.
IESR menilai salah satu faktor utama dari adopsi kendaraan listrik jenis mobil penumpang adalah ketersediaan stasiun pengisian daya umum dan pengisian daya di rumah pengguna kendaraan listrik. Ketersediaan infrastruktur pengisian daya yang tersebar merata dapat menghilangkan “range anxiety” atau kecemasan jarak tempuh yang dimiliki oleh pengguna kendaraan pada umumnya. Untuk itu IESR merekomendasikan agar di tahap awal, rasio kendaraan listrik dan infrastruktur pengisian daya yang disarankan adalah 16:1.
Selain pemerintah perlu mendorong pihak produsen kendaraan listrik untuk menyediakan kendaraan listrik yang terjangkau, dan mendorong PLN dan pelaku swasta untuk membangun infrastruktur pengisian yang lebih banyak, selain pemasangan home charging oleh pemilik kendaraan listrik.
“Kebutuhan investasi untuk penyediaan infrastruktur pengisian daya ini sangat besar, berkisar 345 juta USD hingga tahun 2030 dan diperkirakan akan mencapai lebih dari 1 miliar USD hingga tahun 2050 dalam skenario penetrasi yang ambisius. Meski demikian, kebutuhan nvestasi untuk infrastruktur ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan besaran subsidi BBM yang diberikan pemerintah setiap tahun. Sebagai contoh, pada tahun 2020 saja, jumlah subsidi mencapai $1,2 miliar. Investasi ini perlu melibatkan partisipasi swasta sehingga dibutuhkan regulasi dan model bisnis yang dapat menarik minat mereka,” ungkap Julius Christian, peneliti bahan bakar bersih di IESR.
Menurut Idoan Marciano, peneliti IESR yang juga penulis kajian tentang kendaraan listrik, menyatakan saat ini sudah semakin banyak pihak swasta yang berinisiatif mengadopsi kendaraan listrik dan membangun infrastrukturnya, seperti perusahaan taksi, produsen motor listrik, perusahaan ride hailing, dan pengembang Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). Kolaborasi pemerintah dengan pihak swasta untuk mengadakan program demonstrasi dan pilot akan meningkatkan kesadaran publik bahwa tren mobil listrik sedang berjalan.
Pemerintah sudah membuat skema kerjasama untuk pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan SPBKLU dengan swasta. Namun untuk semakin menarik minat pengembang swasta, pemerintah perlu memberikan insentif untuk pembangunan infrastruktur tersebut seperti yang dilakukan beberapa negara yang progresif dalam mengadopsi kendaraan listrik.
“Selain harga, ketersediaan stasiun pengisian daya juga sangat menentukan keputusan untuk membeli kendaraan listrik,” kata Idoan.
Untuk membuat harga kendaraan listrik terjangkau, pemerintah perlu memberikan Insentif dalam bentuk pembebasan pajak dan bea impor untuk mobil listrik, serta pembebasan pajak tahunan selama beberapa tahun pertama. Insentif ini dapat membuat Total Ownership Cost (TOC) kendaraan listrik lebih baik daripada kendaraan mesin bakar.
Inisiatif pemerintah dengan membentuk konsorsium beberapa BUMN dan investor swasta untuk memproduksi baterai dengan mengandalkan potensi nikel yang cukup besar sebagai bahan baku baterai patut diapresasi.
IESR merekomendasikan untuk mempercepat pengembangan industri baterai dengan dukungan R&D dan menciptakan pasar domestik. Di tahap awal produksi battery difokuskan untuk mendukung produksi kendaraan listrik roda dua lokal. Selain itu pemerintah harus memastikan bahwa aktivitas tambang untuk produksi baterai mengikuti kaidah penambangan yang berkelanjutan, menghindari konflik sosial dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Produksi baterai juga menggunakan energi yang besar sehingga upaya efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan merupakan keharusan untuk meminimalisir emisi GRK.
Komitmen pemerintah untuk menggunakan energi terbarukan untuk pengembangan KBLBB melalui pernyataan menteri ESDM Arifin Tasrif juga merupakan hal yang tepat. Analisis IESR menemukan bahwa bila pengisian daya mobil listrik dilakukan menggunakan faktor emisi jaringan yang ada sekarang, maka akan meningkatkan emisi GRK dibandingkan dengan mobil konvensional bila memperhitungkan juga emisi dari produksi mobil dan baterainya. Untuk mendapatkan manfaat penurunan gas rumah kaca, maka penetrasi energi terbarukan harus ditingkatkan diatas 23% sehingga dapat menurunkan faktor emisi jaringan (grid emission factor) dibawah 600 grCO2/kWh.
Penetrasi kendaraan listrik dapat meningkatkan permintaan listrik sebesar 15 TWh pada 2030 dan 68 TWh pada 2050. Sebagai pembanding, konsumsi listrik total pada tahun 2018 adalah sebesar 232 TWh. Untuk menghindari beban listrik yang memuncak perlu kebijakan yang tepat pula. IESR merekomendasikan penerapan tarif listrik Time Of-Use (pembedaan tarif pada beban puncak dan luar beban puncak) sehingga waktu pengisian baterai kendaraan listrik akan teralihkan. Penerapan kebijakan tarif listrik Time-of-Use dapat membantu merekayasa perilaku konsumen dalam mengisi daya baterai kendaraan listrik dan menghindari peningkatan beban puncak akibat pertumbuhan kendaraan listrik. R2