Pelatihan "Bisnis Proses Minyak & Gas Bumi" menghadirkan para pelaku dan pakar industri migas Tanah Air dan diikuti lebih dari 70 jurnalis dari berbagai daerah di Indonesia. |
Jakarta, OG Indonesia – Sumber daya minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia sejatinya masih ada. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan cadangan terbukti minyak bumi Indonesia mencapai 3,7 miliar barel. Sedangkan cadangan terbukti gas bumi Indonesia sekitar 77 TCF (triliun kaki kubik). Namun tanpa adanya temuan cadangan baru lewat upaya eksplorasi tentunya cadangan terbukti tersebut akan habis seiring waktu.
“Umur cadangan terbukti minyak hanya sekitar sembilan tahun dengan asumsi tidak ada lagi penemuan cadangan baru,” ucap Arifin saat memberi sambutan kunci dalam pelatihan untuk media bertajuk “Bisnis Proses Minyak & Gas Bumi” yang diadakan Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Apermigas) dan JSK Petroleum Academy serta diikuti lebih dari 70 jurnalis dari berbagai daerah di Indonesia pada Jumat (25/9/2020) dan Sabtu (26/9/2020).
Sementara untuk umur cadangan gas bumi pada posisi yang lebih baik. “Bisa sampai 22 tahun,” sambung Menteri ESDM. Untuk itu, optimalisasi pemanfaatan sumber daya migas yang terbatas tersebut untuk kepentingan dalam negeri harus jadi prioritas.
John S. Karamoy, Ketua Umum Aspermigas sekaligus Komisaris Utama JSK Petroleum Academy, mengungkapkan salah satu tantangan terbesar bagi industri migas nasional kini adalah memberikan nilai tambah dari produk migas yang dihasilkan dari bumi Nusantara. “Tantangan yang besar dari negara kita dalam bisnis migas ini di antaranya bagaimana kita meningkatkan nilai tambah dari industri ini,” tegas John.
Selain itu, tambah pria yang
dijuluki “The Oil Man” atas kiprahnya yang terentang melintas zaman di
industri migas ini, masih ada tantangan untuk menurunkan impor BBM sehingga
bisa mengurangi defisit perdagangan negara, sampai tantangan untuk memperkuat
ketahanan energi nasional, di antaranya melalui upaya hilirisasi. Karenanya
perlu arah baru agar pengelolaan sumber daya migas memberikan manfaat yang
lebih luas terhadap masyarakat.
Menteri ESDM sepakat dengan John
S. Karamoy. Ditekankan oleh Arifin, kebijakan energi nasional saat ini sebenarnya
sudah mulai beralih dari pola pikir yang menganggap energi sebagai komoditas
menjadi energi sebagai modal pembangunan. “Pemanfaatan energi untuk ekspor
secara bertahap dikurangi, dan sebaliknya pemanfaatan untuk domestik terus
ditingkatkan, terutama saat ini adalah gas dan batu bara,” jelas Arifin.
Dengan pemanfaatan sumber energi sebagai
bahan baku yang diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri, menurut Menteri
ESDM akan mendorong banyak industri nasional menggeliat. Ambil contoh gas bumi
yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk beragam industri, dari industri
pupuk, petrokimia, logam, sampai kaca. Industri tersebut tidak berkembang
sendirian, sebab efek dominonya berlanjut pada industri-industri penunjangnya. Ujungnya
tentu bermuara pada kesempatan kerja yang lebih banyak bagi masyarakat. “Akan
ada penciptaan lapangan kerja, mendorong industri jasa penunjang dan mendukung
pengembangan wilayah,” ujarnya.
Arifin melanjutkan, salah satu
upaya yang dilakukan Pemerintah untuk lebih memanfaatkan sumber energi di dalam
negeri adalah menugaskan kepada Pertamina untuk meningkatkan kapasitas kilang
lama yang ada serta membangun kilang baru. Di mana saat ini Pertamina sedang
meng-upgrade empat kilang lama dan membangun dua kilang baru.
“Harapan kami, kapasitas
pengolahan kilang yang saat ini sekitar 1 juta barel per hari dengan produksi
BBM yang sebagian besar setara dengan Euro 2, nantinya kapasitas pengolahan
akan meningkat jadi 2 juta barel per hari dengan produksi BBM yang setara Euro
5,” bebernya. Dengan semakin besar BBM yang bisa diproduksi sendiri di dalam
negeri membuat ketahanan energi Indonesia kian kuat karena tak lagi bergantung
kepada negara lain. Defisit neraca perdagangan negara pun dapat membaik karena
tak lagi impor dari luar negeri.
Pembangunan kilang-kilang
tersebut disampaikan Menteri ESDM juga akan diintegrasikan dengan industri
petrokimia. Menurut Pudjo Suwarno, salah
seorang Trainer dari pelatihan media yang juga mantan Direktur Medco Energi,
sumber energi migas memang akan menjadi lebih bernilai tambah jika digunakan
untuk industri petrokimia. “Output dari industri petrochemical ini
nilainya bisa lebih tinggi, harganya lebih baik, jadi secara bisnis mestinya
kita harus sudah berpikir ke arah sana,” terangnya.
Pudjo membeberkan, selama ini
untuk gas bumi misalnya hanya dijual sebagai raw gas yang nilai
tambahnya rendah. “Gas diproduksikan, dipipakan lalu dijual. Paling
banter karena masalah transportasi dijadikan LNG dulu kemudian dijual,”
ujarnya. Padahal banyak produk turunan dari gas bumi. Dibeberkan Pudjo, selain
bisa diubah jadi LNG atau dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, gas bumi juga
dapat dijadikan amonia, metanol, hingga alumunium.
Dari 100 MMscfd (juta standar
kaki kubik per hari) gas bumi, diuraikan Pudjo bisa menjadi 3.300 ton per hari amonia atau 3.000
ton per hari metanol. Dengan 100 MMscfd gas bumi juga bisa membuat pabrik
alumunium memproduksi alumunium sampai 400.000 ton per tahun. “100 MMscfd gas
ini kalau sampai 20 tahun itu hanya membutuhkan cadangan (gas) 0,67 TCF,” terang
Pudjo. Jumlah tersebut tentunya hanya sebagian kecil jika dibandingkan dengan
cadangan terbukti gas Indonesia saat ini yang mencapai 77 TCF.
Trainer lainnya yaitu Moshre Rizal yang juga Sekretaris Jendral Aspermigas mengatakan sebenarnya masa depan migas masih ada dan tetap bisa diandalkan. “Oil is here to stay,” tegasnya. Ia pun memaparkan bahwa saat ini saja penggunaan produk migas selain untuk bahan bakar, misal untuk petrokimia dan barang-barang kebutuhan sehari-hari justru porsinya sudah lebih besar. “Selain dari bahan bakar, penggunaan migas itu sudah lebih dari 56 persen,” tuturnya. Kondisi seperti ini idealnya harus lebih ditingkatkan ke depannya. “Jadi migas ini masih akan lama presence-nya di dunia,” tutup Moshe. (Ridwan Harahap)