Oleh: Anoman Obong
Seminggu terakhir meski tak mengganggu fokus publik akan unjuk rasa mahasiswa dengan berbagai macam tuntutannya, pelaku industri yang butuh gas yaitu KADIN dan pemasok gas yaitu PGN sedang mengambil ruang juga untuk saling unjuk rasa. Sayang, keduanya tak punya ruang unjuk rasa di depan istana atau di depan DPR karena ruang itu diambil oleh para penguasa politik, baik politik elit maupun politik jalanan. Jadilah PGN dan KADIN unjuk rasa di ruang sempit.
KADIN mengunjukkan rasanya tanpa mobil komando. Karena memang bukan level mereka naik mobil komando, tapi naik mobil mewah berharga miliaran dan teriak lantang tak mampu menanggung rencana kenaikan harga gas industri yang akan berlaku Oktober depan. Kami rugi…! Kami bisa bangkrut..! Industri bisa tutup..! Begitulah kira-kira teriak para konglomerat KADIN sambil jalan-jalan keliling surga dunia dengan pesawat pribadi. Sambil sesekali menelepon sekretaris menanyakan laporan keuntungan yang baru masuk. Hmmm..!
Sementara itu PGN dengan mobil komando kecil dan suara lemah mencoba teriak ke penguasa dan kepada pengusaha, meski dengan suara lemah dan lirih, mengunjukkan rasanya bahwa PGN akan gagal sebagai perusahaan bila tak menaikkan harga jual gas. Tugas berat yang dibebankan oleh pemerintah kepada PGN untuk membangun jaringan gas jutaan unit rumah dan ratusan ribu kilometer jaringan distribusi tentu tak akan bisa dibangun jika PGN harus terus mensubsidi para konglomerat. Risikonya tak sebanding. Pejabat PGN terancam pidana dengan risiko aksi korporasi sementara KADIN dengan para konglomeratnya melenggang menimbun kekayaan dari gas murah.
Pertanyaan sekarang, haruskah harga Gas ini digas menjadi konflik? Di mana peran pemerintah sebagai regulator dan keberpihakan sebagai pemilik saham PGN? Haruskah hukum pasar dijungkirbalikkan oleh arogansi konglomerat di KADIN? Di mana-mana, harga selalu ditentukan penjual bukan oleh pedagang, meskipun ada tawar menawar, tetap harga akhir ditentukan oleh penjual. Bagaimana kita-kira kalau harga produk industri para konglomerat KADIN ditentukan oleh pembeli? Tak perlu dijawab terbuka, jawab saja dalam hati, karena kami sudah tahu jawabannya.
Masalah ini tentu tak boleh dibiarkan berlarut, arogansi konglomerat KADIN harus dihentikan. Upaya menumpuk keuntungan dengan merugikan PGN adalah cara berbisnis tak elok. Mulailah menerima kenyataan bahwa memang harga harus ada fluktuasinya, naik turun sesuai situasi. Jangan menjadi konglomerat yang memaksa memakan subsidi, toh PGN pasti berkarya untuk rakyat, untuk bangsa dengan cara mengambil keuntungan dari harga gas.
PGN vs KADIN, Haruskah Digas Jadi Konflik?
Reviewed by OG Indonesia
on
Minggu, September 29, 2019
Rating: