Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
Kalangan industri melalui para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) bersikap aneh dan kekanak-kanakan. Pasalnya adalah, selesai mengadakan kegiatan Kelompok Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD) terkait penerapan harga gas bumi untuk industri yang diadakan di Kantor Kadin, pada Hari Rabu 25 September 2019, menyatakan menolak kenaikan harga gas oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang akan diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 2019. Pernyataan yang dikemukakan oleh Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Achmad Widjaja tersebut, bahkan menyampaikan kesepakatan pelaku industri untuk menggunakan harga lama jika PGN tetap ngotot menaikkan harga gas.
Pertanyaannya adalah, apa urusan KADIN menolak penetapan kebijakan kenaikan gas industri oleh perusahaan yang harus menyelamatkan kepentingan bisnisnya dan apalagi PGN merupakan Badan Usaha Milik Negara? Bukankah selama ini KADIN dan para anggotanya telah begitu lama menikmati subsidi BBM yang diberikan pemerintah untuk kalangan industri agar mampu berkompetisi sejak dini, lalu apakah kompetisi dalam pasar harus dimenangkan hanya dengan porsi gas subsidi?
Sikap dari KADIN ini semakin menunjukkan bukti nyata bahwa kalangan industriawan Indonesia selama ini menjadi tumbuh dan besar lebih dikarenakan oleh adanya biaya-biaya yang membentuk harga pokok produksi (HPP) berdasar kebijakan pemerintah dan atau BUMN. Menjadi bukti nyata pernyataan KADIN soal penolakan rencana kenaikan harga gas oleh PGN tersebut tidak memahami posisinya sebagai pengusaha yang harus profesional, dan menerapkan prinsip manajemen efektif dan efisien, bukan seperti demonstran jalanan.
KADIN seolah-olah tak mau tahu bahwa, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah melakukan penyesuaian harga energi, yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar dan gas serta listrik pada Tahun 2020. Hal ini sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemerintah dalam memangkas subsidi energi pada Tahun 2020 sebesar Rp 137,5 triliun terdiri dari subsidi listrik sebesar Rp 62,2 triliun dan subsidi BBM sebesar Rp 75,3 triliun. Angka subsidi energi ini turun jika dibandingkan dengan 2019 sebesar Rp 142,6 triliun.
Oleh karena itu, subsidi energi harus diarahkan untuk menjaga stabilitas harga dengan memperkuat pengendalian dan pengawasan konsumsi energi agar tepat sasaran, yang selama ini dinikmati kalangan industri dan bukan kelompok masyarakat miskin.
Kalangan industri melalui para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) bersikap aneh dan kekanak-kanakan. Pasalnya adalah, selesai mengadakan kegiatan Kelompok Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD) terkait penerapan harga gas bumi untuk industri yang diadakan di Kantor Kadin, pada Hari Rabu 25 September 2019, menyatakan menolak kenaikan harga gas oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang akan diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 2019. Pernyataan yang dikemukakan oleh Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Achmad Widjaja tersebut, bahkan menyampaikan kesepakatan pelaku industri untuk menggunakan harga lama jika PGN tetap ngotot menaikkan harga gas.
Pertanyaannya adalah, apa urusan KADIN menolak penetapan kebijakan kenaikan gas industri oleh perusahaan yang harus menyelamatkan kepentingan bisnisnya dan apalagi PGN merupakan Badan Usaha Milik Negara? Bukankah selama ini KADIN dan para anggotanya telah begitu lama menikmati subsidi BBM yang diberikan pemerintah untuk kalangan industri agar mampu berkompetisi sejak dini, lalu apakah kompetisi dalam pasar harus dimenangkan hanya dengan porsi gas subsidi?
Sikap dari KADIN ini semakin menunjukkan bukti nyata bahwa kalangan industriawan Indonesia selama ini menjadi tumbuh dan besar lebih dikarenakan oleh adanya biaya-biaya yang membentuk harga pokok produksi (HPP) berdasar kebijakan pemerintah dan atau BUMN. Menjadi bukti nyata pernyataan KADIN soal penolakan rencana kenaikan harga gas oleh PGN tersebut tidak memahami posisinya sebagai pengusaha yang harus profesional, dan menerapkan prinsip manajemen efektif dan efisien, bukan seperti demonstran jalanan.
KADIN seolah-olah tak mau tahu bahwa, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah melakukan penyesuaian harga energi, yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar dan gas serta listrik pada Tahun 2020. Hal ini sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemerintah dalam memangkas subsidi energi pada Tahun 2020 sebesar Rp 137,5 triliun terdiri dari subsidi listrik sebesar Rp 62,2 triliun dan subsidi BBM sebesar Rp 75,3 triliun. Angka subsidi energi ini turun jika dibandingkan dengan 2019 sebesar Rp 142,6 triliun.
Oleh karena itu, subsidi energi harus diarahkan untuk menjaga stabilitas harga dengan memperkuat pengendalian dan pengawasan konsumsi energi agar tepat sasaran, yang selama ini dinikmati kalangan industri dan bukan kelompok masyarakat miskin.
Pantas dan Adilkah Industri Mengkonsumsi Gas Subsidi?
Reviewed by OG Indonesia
on
Senin, September 30, 2019
Rating: