Foto: Hrp |
Pemidanaan aksi bisnis Pertamina di Blok BMG telah melahirkan sebuah postulat baru bahwa jika BUMN gagal dalam berinvestasi, maka anggota direksi dan karyawannya boleh didakwa melakukan tindak pidana korupsi (tipikor). Padahal aksi bisnis BUMN mutlak sebuah keputusan bisnis yang pada hakikatnya bisa untung dan bisa rugi. Demikian benang merah yang bisa ditarik dari Focus Group Discussion (FGD) bertema “Paradoks BUMN: Bisnis Harus Selalu Untung?” yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli BUMN di Jakarta, Rabu (08/05).
Beberapa narasumber yang hadir dalam FGD tersebut antara lain Arie Gumilar (Presiden FSPBB), Dian Puji N. Simatupang (Pakar Hukum Keuangan Publik), Irmansyah (Auditor Keuangan Negara), Rayendra Prasetya (Pakar Hukum dari DNd Law Firm), Prasetio (Mantan Dirut Peruri dan Mantan Direktur Telkom), Hadi Ismoyo ( Wakil Ketua IATMI), Hotasi D.P. Nababan (Mantan Dirut Merpati), dan Hikmahanto Juwana (Guru Besar Hukum Internasional UI).
Dalam kesempatan itu, pakar hukum keuangan publik, Dian Puji N. Simatupang, menjelaskan bahwa status keuangan dan kekayaan BUMN sebagai keuangan dan kekayaan negara adalah sebuah paradoks yang paling parah di Indonesia. Ada inkonsistensi logika hukum ketika menerjemahkan keuangan dan kekayaan BUMN sebagai keuangan dan kekayaan negara.
“Jika keuangan BUMN adalah keuangan negara, mengapa cara mengelolanya berbeda, mengapa tidak menggunakan cara atau pola APBN? Sementara, keuangan dan kekayaan BUMN dalam hal tuntutan kewajibannya tidak pernah menjadi beban APBN,” ujar Dian.
Sementara pakar hukum Rayendra Prasetya menegaskan bahwa tidak ada rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan dan peranan direksi dalam melakukan pengurusan BUMN. Dalam praktek hukum, beberapa praktiksi hukum (Jaksa, Polisi, Hakim, Advokat) dalam menerapkan hukum cenderung menonjolkan aspek hukum formal. Padahal aspek hukum materil yang merupakan tujuan utama hukum untuk mencari keadilan cenderung diabaikan.
“Pendapat yang demikian terkesan menganut aliran 'Legisme', yaitu aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya hukum adalah undang-undang, atau bahwa di luar undang-undang tidak ada hukum,” ujar Rayendra.
Namun sayangnya, Pasal 3 UU Tipikor telah dikonstruksi secara sederhana. Karena Investasi di Blok BMG “dianggap” rugi, maka telah terjadi kerugian keuangan negara (UU Keuangan Negara). Akibatnya, negara pun berhak menuduh para terdakwa korupsi (UU Tipikor). Pasal 3 ini telah menjerat Ferederick Siahaan (Mantan Direktur Keuangan) dan Bayu Kristanto (Mantan Manager M&A) dari Pertamina dengan vonis 8 tahun penjara dan denda uang sebesar Rp 1 Miliar, subsidiair 4 bulan, dalam kasus Blok BMG.
“Dengan ditetapkannya dua orang mantan direksi, seorang kepala hukum dan seorang manajer Pertamina sebagai terdakwa, timbul rasa cemas bagi pengurus dan anggota Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). Pasalnya, hal serupa akan terjadi terhadap para Pejabat maupun Pekerja Pertamina yang hendak melakukan aksi atau tindakan korporasi dengan itikad baik,” ujar Presiden FSPPB Arie Gumilar.
Menurut Arie, apabila hal tersebut dibiarkan, maka iklim berinvestasi di BUMN akan menjadi buruk. Akibatnya, Pejabat/Direksi/Pekerja BUMN akan takut mengambil keputusan untuk berinvestasi guna mencapai maksud dan tujuan dari pendirian sebuah BUMN.
Hal inilah, tegasnya, yang mendorong FSPPB mengajukan uji materiil (judicial review) terhadap pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) ke Mahkamah Konstitusi. “Kami menolak secara tegas atas ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, karena dapat mengakibatkan tindakan kriminalisasi terhadap jajaran direksi PT Pertamina (Persero). Permohonan uji materiil atas kedua pasal tersebut telah kami ajukan ke Mahkamah Konstitusi pada 11 April 2019 lalu,” ujar Arie.
Menurut Mantan Direktur Utama Peruri, Prasetio, direksi padahal harus mengambil keputusan bisnis agar perusahaan berjalan untuk mendapatkan keuntungan demi keberlangsungan bisnisnya. Namun, belajar dari kasus BMG ini publik dapat menyaksikan bahwa negara menampilkan kesan “mutlak” tidak dapat menerima konsep BUMN merugi. Konsep acceptable loss dan tanggung renteng yang diakomodir oleh UU PT dan UU BUMN yang saat ini dianggap mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada karyawan dan pengurus BUMN, terbukti tidak berfungsi pada kasus yang menjerat Ferderick, Bayu, Karen dan Genades.
"Tidak ada kepastian hukum di antara UU Keuangan Negara, UU BUMN, dan UU PT, terutaman tentang 'kekayaan negara' dan 'kerugian negara'," tegas Hotasi D.P. Nababan, Mantan Dirut Merpati yang juga pernah terjerat kasus hukum di BUMN Merpati.
Padahal, hanya dengan kepastian hukum yang mudah dipahami oleh nalar publik, karyawan dan direksi BUMN dapat mengenali batas-batas pelanggaran hukum dengan pasti sejak dini tanpa rasa was-was. Sehingga, mereka dapat bekerja nyaman dengan kepercayaan diri yang tinggi, tanpa harus merasa khawatir sewaktu-waktu akan didakwa korupsi, sebagai dampak dari risiko bisnis yang tidak disengaja dan/atau tidak dapat dihindari.
Kepastian hukum juga diyakini akan memberikan rasa adil bagi masyarakat umum, sekaligus memberikan ketenangan bagi investor dalam maupun luar negeri untuk bekerjasama dengan BUMN tanpa perlu khawatir akan ikut terseret dakwaan korupsi, bilamana kerjasama yang dibangun harus berujung kepada rugi. "Kenapa investasi di BUMN diseret-seret ke masalah korupsi, bukankah ini investasi? Kerugian negara sangat relatif menurut saya. Karena itu makanya harus (terbukti) ada niat jahatnya," pungkas Hikmahanto Juwana. RH
Bisnis Harus Selalu Untung, Karyawan dan Direksi BUMN Resah Dipidanakan
Reviewed by OG Indonesia
on
Rabu, Mei 08, 2019
Rating: