Oleh: Ihwan Datu Adam, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat
Di dalam dinamika yang berkembang di Komisi VII DPR RI selama tahun 2017, isu migas dan ketenagalistrikan selalu mengemuka. Dalam tulisan singkat ini akan diulas refleksi peran pemerintah terkait penguatan Pertamina dan upaya untuk memperbaiki sektor ketenagalistrikan nasional.
Menyoal BBM Satu Harga
Sedari awal melalui Komisi VII DPR RI terutama Fraksi Partai Demokrat DPR RI terus mendorong upaya ketahanan energi dan kemandirian energi melalui pengelolaan migas yang berkeadilan untuk kemaslahatan bangsa. Defisit energi di Indonesia kian dirasakan dengan semakin bergantungnya kita terhadap impor minyak, peran minim dari perusahaan migas nasional (hanya sekitar 20% dari seluruh wilayah di Indonesia), semakin rendahnya penemuan wilayah eksplorasi, serta relatif lesunya harga minyak dunia. Persoalan tersebut ditambah dengan konsumsi rata-rata minyak di Indonesia sebesar 1,5 juta barel per hari dengan laju kebutuhan minyak bumi rata-rata 3% per tahun dan dengan impor BBM sekitar 44% sehingga diperkirakan pada tahun 2025 konsumsi akan mencapai menjadi sekira 2 juta barel per hari. Padahal pendapatan hasil minyak dalam negeri rata-rata hanya mampu sekitar 750 ribu sampai 800 ribu barel per hari. Dapat dibayangkan kebergantungan terhadap minyak bumi begitu tinggi, sehingga Pemerintah RI masih harus mencari sumber minyak tersebut dengan membeli dari negara lain.
Untuk itu peran perusahaan migas nasional yang teruji dan sehat menjadi keniscayaan. Sampai saat ini PT Pertamina (persero) masih dibebani service obligation untuk memenuhi target distribusi minyak dan gas secara nasional dengan pemerataan akses dan harga sama di seluruh wilayah Indonesia. Padahal banyak perusahaan migas asing yang beroperasi seperti Total, Chevron, Petronas yang memiliki SPBU di Indonesia tidak diwajibkan melakukan distribusi di luar Pulau Jawa, apalagi di wilayah terpencil yang sangat terbatas infrastruktur migas. Peran itu, kenyataanya diambil alih oleh PT Pertamina (Persero), sehingga tugas dan tanggung jawab perusahaan tersebut begitu besar. Profesionalisme, kemandirian, kerja keras, dan kejujuran membuat perusahaan ini menjadi sorotan publik di tengah harapan yang begitu besar terhadap kinerja yang dapat memberikan kemajuan bangsa. Pertanyaannya, apakah Pertamina akan terus sanggup menanggung beban tersebut?
Pertamina merupakan aset milik bangsa yang harus diberikan ruang yang cukup untuk peningkatan akselerasi untuk pemanfaatan energi dan sumber daya mineral di Indonesia. Namun sungguh sayang, pada kenyataannya Pertamina yang lebih dulu muncul ketimbang Petronas (Malaysia), tetapi perkembangannya sekarang justru jauh tertinggal dari Petronas. Hal yang disoroti oleh Fraksi Partai Demokrat terkini yakni, salah satunya soal penugasan satu harga yang diberikan tidak berdampak positif dan seakan-akan menjadi beban untuk pertamina.
Program BBM satu harga diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang percepatan pemberlakuan program BBM satu harga, jenis BBM tertentu dan BBM jenis khusus penugasan secara nasional yang berlaku sejak 1 Januari 2017. Implementasi kebijakan yang berjalan selama 10 bulan tentu harus terus dikawal dan perlu dievaluasi. Meski pemeritah saat ini berargumen hal itu merupakan kewajiban utama untuk memberikan solusi terbaik untuk masyarakat di seluruh Indonesia. BBM satu harga merupakan program inisiatif oleh Presiden Jokowi yang dilatarbelakangi oleh tingginya harga BBM di Papua karena minimnya fasilitas sehingga harganya bisa tembus sampai Rp. 100.000/liter. Tingginya harga BBM pada umumnya belum disediakan infrastruktur dan pengiriman BBM pun melalui pesawat yang mengakibatkan tingginya biaya transportasi. Untuk itu, pemerintah yang terdiri dari Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, dan PT Pertamina berupaya mewujudkan BBM satu harga di Papua dan di daerah lain seperti Kalimantan Utara (Kaltara). Di daerah Kaltara yang berbatasan langsung dengan Malaysia, warga Indonesia tak pernah merasakan langsung BBM subsidi dari Pemerintah RI sehingga harus membeli BBM secara ilegal dari Malaysia dengan harga minimum Rp. 16.000/liter, atau bahkan pernah mencapai harga Rp.50.000/liter.
Pada intinya, Permen ESDM Nomor 36 Tahun 2016 mengamanatkan badan usaha yang menyalurkan BBM bersubsidi segera membangun penyalur di lokasi tertentu yang belum terdapat BBM jenis tertentu dan BBM jenis penugasan, sehingga masyarakat dapat membeli BBM dengan harga jual eceran yang ditetapkan oleh Pemerintah alias satu harga untuk seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah menargetkan, hingga akhir tahun 2019 akan beroperasi lembaga penyalur BBM satu harga di 159 lokasi dengan fokus daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Sejak tahun 2016 sampai dengan 20 Desember 2017, PT Pertamina (Persero) telah mengoperasikan 38 Penyalur Satu Harga dan PT AKR Corporindo Tbk telah mengoperasikan 2 Penyalur BBM Satu Harga. Dari 38 lembaga penyalur Pertamina, 9 penyalur telah beroperasi sejak tahun 2016 dan 29 penyalur mulai beroperasi sejak tahun 2017. Adapun 2 penyalur AKR beroperasi pada November 2017 lalu. Lalu, pada 29 Desember 2017 bertambah lagi 17 lembaga penyalur yang seremonialnya diresmikan oleh Presiden Jokowi di Pontianak, Kalimantan Barat. Alhasil, sekarang sudah terdapat total 57 titik lembaga penyalur BBM satu harga yang telah beroperasi.
Namun di balik tugas yang dibebankan ke Pertamina tersebut menyimpan hal negatif. Berbagai pihak melalui media massa menyebutkan bahwa Pertamina terbebani dengan penetapan satu harga BBM jenis premium baik di Jawa, Madura, Bali maupun di luar Pulau Jawa. Kementerian BUMN menyebutkan bahwa Pertamina telah menanggung kerugian dari penjualan BBM penugasan hingga 30 Juni 2017 mencapai US$ 957.000.000 atau sekitar 12 triliun. Itu bukan angka yang sedikit, dan bisa menjadi potensi yang sungguh besar sebenarnya buat Pertamina jika dipakai untuk melakukan investasi. Namun, kerugian Pertamina saat ini memang belum jelas disebabkan oleh sektor apa dan bagaimana dapat terjadi. Apakah penugasan BBM satu harga ini benar-benar membebani kegiatan di Pertamina? Atau ada aspek lain seperti piutang atau meningkatnya alokasi investasi pengembangan bisnis? Hal itu kalau tidak dicermati dan ditempatkan pada porsinya yang sesuai maka akan menjadi beban terhadap kemampuan perusahaan migas nasional untuk berdikari.
Sesuai dengan Permen ESDM Nomor 36 Tahun 2016, penyaluran BBM untuk penugasan relatif sederhana yaitu dari badan utama penugasan harus membangun infrastruktur dan fasilitas penyaluran. Mereka juga yang melakukan distribusi ke pelosok tanah air. Hal itu sebenarnya sangat bagus sebagai bagian mengambil peran serta membangun jaringan distribusi nasional, tetapi tentu jangan terlampau membebani keuangan Pertamina. Seyogyanya negara juga harus membantu dengan menanggung pengeluaran distribusi Pertamina sehingga perusahaan tersebut tidak terbebani. Pertamina lebih banyak dibebani untuk program satu harga yang belum tercapai, terlebih lagi ada kerugian 12 triliun sampai bulan Juni 2017. Di sisi lain, Pertamina tunduk kepada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dalam Pasal 2 ayat 1 tentang Pemerintah mewajibkan BUMN mengejar keuntungan, namun apa daya, Pertamina justru merugi. Jika kondisinya seperti demikian, semestinya Pemerintah dapat memberikan “konsesi” atau kemudahan ke Pertamina dengan memberikan lahan-lahan blok migas dengan kualitas terbaik dan blok-blok seperti Blok Mahakam yang akan dialihkan pengelolaannya dengan prioritas ke perusahaan migas nasional. Pemerintah juga harus membantu terkait usaha yang dipermudah dan masalah perizinannya. Yang terutama adalah proses izin jangan dipersulit, karena Pertamina sebenarnya membantu Pemerintah di dalam pemanfaatan dan pengelolaan BBM nasional.
Upaya Perbaikan Sektor Ketenagalistrikan
Sumber daya listrik merupakan kebutuhan yang sangat penting, mendasar, dan strategis untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan manusia serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Kebijakan energi nasional harus mencakup beberapa dekade ke depan dengan mempertimbangkan berbagai sumber energi. Di samping itu pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu. Oleh karena itu diperlukan ketahanan pasokan energi (security of supply) yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah saat ini.
Di era Pemerintahan SBY, telah dibuat pondasi dasar yang kuat terkait aturan ketenagalistrikan, yaitu dalam UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyediaan tenaga listrik. UU tersebut juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam memberikan persetujuan atas harga tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik. UU itu menyatakan bahwa tarif tenaga listrik untuk konsumen dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha. Kebijakan Pemerintah terhadap tarif adalah tarif tenaga listrik secara bertahap dan terencana akan diarahkan untuk mencapai nilai keekonomian sehingga tarif tenaga listrik dapat menutup biaya pokok penyediaan yang telah dikeluarkan. Tenaga listrik merupakan komoditas mahal karena proses penyediaan tenaga listrik merupakan kegiatan yang padat modal, padat teknologi, padat usaha, dan memiliki risiko usaha yang tinggi sehingga memerlukan jaminan pengembalian atas investasi yang dikeluarkan.
Secara spesifik UU tersebut telah mengatur regulasi sesuai dengan konteks dan kondisi sumber listrik di masing-masing daerah. Namun ternyata, di tahun 2017 dinilai menjadi semakin buruk terkait regulasi di sektor ketenagalistrikan nasional. Hal itu ditandai dengan revisi program fast track 35 ribu Mega Watt (MW), terkait dengan persoalan di hulu, pengadaan listrik, pembiaran terhadap kebijakan penumpukan utang PLN, regulasi yang kerap kali berubah, dan terbengkalainya pembangunan transmisi 35.000 MW. Hal ini tentu membuat semakin rendahnya minat investor untuk melakukan investasi di ketenagalistrikan. Akar silang sengkarut tersebut terletak pada terlalu banyaknya aturan atau kebijakan baru, isi aturan yang tidak konsisten dan saling berseberangan satu sama lain, yang berakibat menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi dunia usaha dan pengusaha lokal.
Permasalah energi di Indonesia pada awalnya adalah adanya ancaman pasokan energi yang diakibatkan tata kelola energi yang masih tidak sinkron. Kebutuhan listrik nasional yang diperkirakan tumbuh sekitar 8 –9 % per tahun mengakibatkan perlu percepatan dalam pembangunan pembangkit dan penyalurannya. Mengacu pada pertumbuhan tersebut, berarti bahwa setiap tahun semestinya ada tambahan sekitar 5.700 MW kapasitas pembangkit baru. Inilah yang mulanya harus disiapkan, apabila tidak terpenuhi melalui PLN dan IPP (pengembang listrik swasta), maka akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik di Indonesia cenderung terus meningkat sesuai dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat serta makin berkembangnya industri. Pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik tersebut tidak dapat sepenuhnya dipenuhi PLN karena keterbatasan kemampuan, sehingga masih ada beberapa sistem kelistrikan di luar Jawa-Bali yang mengalami kekurangan pasokan daya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, PLN telah membangun pembangkit tenaga listrik selain dari pembangkit listrik milik PLN sendiri dan juga menyewa pembangkit diesel serta melakukan pembelian listrik swasta. Dalam penyediaan listrik tersebut memang dibutuhkan dana yang begitu besar dalam investasi infrastruktur ketenagalistrikan, mulai dari pembangunan pembangkit-pembangkit baru, jaringan transmisi, dan hingga jaringan distribusi agar listrik dapat disalurkan hingga ke konsumen dengan mutu dan keandalan yang baik.
Langkah berikutnya masih ada lagi persoalan kenyataan rasio elektrifikasi yang mencapai sekitar 93,08%, yang berarti masih ada sekitar 6-7% masyarakat yang belum memiliki akses terhadap listrik sehingga tidak dapat menikmati listrik. Terutama masyarakat di daerah kepulauan, di daerah terpencil dan daerah terluar. Hal besar lainnya adalah kebutuhan subsidi listrik yang terus meningkat jumlahnya, seiring dengan pertumbuhan kebutuhan listrik yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif tinggi.
Jika ditengok kembali, dalam dokumen Kementerian ESDM tahun 2016, upaya pembangunan Pembangkit Listrik 35.000 MW mayoritas pelaksana yang membangun yaitu IPP sebesar 30.000 MW dan PLN sebesar 5.000 MW. Pihak swasta lebih dominan sebagai investor untuk membangun pembangkit listrik nasional. Namun, pada perjalanannya di tahun 2017 kontroversi terhadap Independent Power Producer (IPP) muncul ketika lahir sejumlah aturan turunan yang mengaturnya. Pertama, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2017, yang merupakan penyempurnaan atas Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Lalu ada Permen ESDM Nomor 45 tahun 2017, yang merupakan revisi atas Permen ESDM Nomor 11 Tahun 20117 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik. Kemudian ada lagi Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang merupakan hasil revisi kedua Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Selain itu, terdapat pula permintaan Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM yang meminta PLN meninjau ulang kontrak PPA Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) swasta yang ada di Jawa. Hal ini tertuang dalam surat yang dikirim ke Direktur Utama PLN Sofyan Basir tertanggal 3 November 2017.
Hal-hal tersebut dilakukan dengan semakin gencarnya investasi asing di sektor ketenagalistrikan Indonesia, sedangkan pengusaha lokal semakin dipersulit dengan pelbagai macam aturan. Sementara itu, Kementerian ESDM sebagai leading sector juga dinilai tahun ini gagal mengawasi utang PLN yang kian membesar. Upaya PLN untuk menyebarkan rasio elektrifikasi karena tuntutan dan target pemerintah, membuat perusahaan tersebut rajin berhutang dan kerap kali membeli pembangkit yang tidak sesuai daya dukung daerah dan potensi lokal. Suatu contoh, di wilayah Sulawesi Selatan, PLN banyak membeli pembangkit tenaga listrik bertenaga diesel yang notabene menggunakan bahan bakar minyak. Ironisnya, dengan banyaknya pembelian pembangkit tersebut, ternyata daya serap masyarakat terhadap listrik tidak begitu besar, sehingga listrik tidak terpakai (loses). Perilaku inefisiensi dan kerugian dari kasus tersebut terlihat jelas.
Kinerja PLN sendiri mengecewakan setelah menaikan tarif tenaga listrik (TTL) atau mencabut subsidi terutama untuk golongan 900 volt ampere (VA). Namun setelah menaikan tarif listrik kegiatan berutang perusahaan tersebut justru semakin naik. Semestinya kebijakan berutang PLN tidak menjadi semakin tinggi karena akan berdampak membebani rakyat. Pada kenyataannya, kebijakan kenaikan listrik tersebut terus dilakukan, agar mempunyai kemampuan untuk berhutang, seperti melakukan revaluasi aset yang dilakukan hanya untuk memperlebar ruang berhutang bagi PLN. Aset PLN otomatis jadi membengkak, jika melakukan revaluasi aset, nilai asetnya kini menjadi Rp 1.250 triliun. Tetapi jelas, tujuan dari kebijakan itu hanya untuk mempermudah perseroan dalam berhutang saja. Oleh karenanya pihak PLN selalu berdalih rasio utangnya atau debt to equity ratio (DER)-nya selalu diklaim masih aman. Padahal dari sisi capaian laba PLN, mereka tidak mungkin membayar utang yang besar itu. Bahkan cepat atau lambat PLN akan habis dijarah dan jatuh ke tangan pihak asing.
Total utang PLN sampai saat ini telah mencapai Rp. 500,175 triliun, dan jumlah itu belum termasuk rencana utang terbaru PLN yang kabarnya menerbitkan surat hutang (obligasi dan sukuk) senilai Rp. 10 triliun. Sehingga hal itu membuat PLN sebagai perusahaan dengan rekor tertinggi dalam mengambil utang. Total utang PLN sebelum revaluasi aset itu telah lebih dari 100% dari total assetnya. Yang jadi pertanyaan adalah, sampai kapan perusahaan ini dapat dan sanggup membayar hutangnya?
Menurut Fraksi Partai Demokrat, aksi korporasi PLN tersebut seperti bermain kosmetik yang seolah-olah membuat cantik di luar, tetapi kenyataannya jelek di dalam. Dengan dalih harga listrik mahal, PLN kerap kali membuat harga listrik terus naik tanpa memikirkan kemampuan masyarakat. Apalagi secara nyata kenaikan listrik itu telah mengesampingkan kondisi penurunan harga batubara, gas dan minyak yang merupakan unsur biaya terbesar dalam PLN selama ini. Harga bahan bakunya turun kenapa harga keluarannya mahal? Pasti ada yang salah di dalam pengelolaan PLN. Hal itu ternyata juga membuat geram Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengingatkan melalui surat kepada Menteri ESDM dan Menteri BUMN terkait kekhawatiran soal utang PLN serta program 35.000 MW hingga berisiko pada keuangan negara akibat gagal bayar.
Upaya yang Harus Dilakukan
Fraksi Partai Demokrat melihat, menilai, dan memberikan solusi, bahwa rasionalisasi penggunaan pembangkit listrik berbasis kepada daya dukung dan sumber pembangkit lokal juga harus dilakukan. Pemborosan belanja barang berupa pembangkit yang boros BBM harus segera dihilangkan karena jauh dari sifat efisiensi dan perlu dilakukan mapping area kebutuhan listrik wilayah agar dapat terserap dengan baik. Penentuan nilai tarif menuju harga keekonomian perlu dilakukan secara bertahap menuju subsidi yang wajar dan memperhatikan perkembangan kemampuan bayar masyarakat.
Penyederhanaan struktur tarif perlu dilakukan karena struktur yang berlaku saat ini rumit dan sulit dikomunikasikan kepada konsumen. Saat ini ada 37 kategori di dalam penentuan golongan tarif, dan itu mesti disederhanakan dengan proporsi yang sesuai dan tepat.
Insentif juga perlu diberikan bagi pengguna listrik untuk kegiatan yang bersifat produktif dan disinsentif untuk kegiatan yang bersifat konsumtif, khususnya untuk pelanggan yang penggunaan listriknya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dalam rangka mendorong penghematan pemakaian listrik, bagi tarif pelanggan yang bersifat konsumtif (pelanggan rumah tangga), perlu dibuat blok-blok tarif yang memiliki harga tarif Rp/kWh yang berbeda (progresif). Tarif listrik regional dapat segera diimplementasikan pada daerah tertentu mengingat beberapa daerah yang berdasarkan kajian regionalisasi termasuk dalam kategori yang memiliki kemampuan membayar pelanggan relatif lebih tinggi dari kemampuan bayar nasional.
Mengacu kepada hasil studi yang menunjukkan bahwa biaya bahan bakar merupakan komponen utama sebagai penyusun BPP dan dominansi komponen biaya BBM yang meliputi HSD, MFO dan IDO dalam komposisi energy mixed saat ini, maka untuk menekan besarnya BPP, komposisi energy mixed perlu diubah dengan melakukan substitusi BBM pada unit-unit pembangkit yang memungkinkan dioperasikan dengan dual fuel dengan bahan bakar gas atau membangun pembangkit baru yang lebih rendah BPP-nya serta meningkatkan pemanfaatan sumber energi pembangkit terbarukan. Diperlukan pengembangan energi listrik alternatif sebagai upaya dalam mendukung diversifikasi energi sebagai masukan dalam penyusunan rencana strategis dan merealisasikan kebijakan pemerintah di bidang diversifikasi energi pengganti energi fosil.
Perlu pengembangan informasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan bidang energi dan sebagai arahan dalam menentukan program pemanfaatan energi alternatif di Indonesia. Perlu pemanfaatan yang sebesar-besarnya dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada, sehingga kesejahteraan dapat merata, dan untuk menjaga lingkungan hidup dengan memanfaatkan green energy yang menumbuhkan pembangunan berkelanjutan.
Diperlukan pula inventarisasi energi alternatif yang sudah dan sedang dilakukan, serta kebijakan dan Peraturan Pemerintah tentang percepatan dan pemanfaatan energi alternatif. Serta melakukan inventarisasi mengenai karakteristik wilayah dari sisi geografis, lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya di wilayah-wilayah yang berpotensi menghasilkan sumber daya listrik lokal. Harus dilakukan pula rencana aksi dan peta lokasi pemanfaatan sumber energi listrik sebagai penjabaran dari program dan strategi nasional yang terarah dan memiliki durabilitas yang baik. Kiranya dua isu tersebut dapat menjadi bahan refleksi yang konstruktif di tengah situasi yang di akhir 2017 yang kian silang sengkarut. Semoga setiap kita dapat menerima sesuai kebutuhannya dan setiap kita dapat menerima sesuai dengan kemampuannya.
Di dalam dinamika yang berkembang di Komisi VII DPR RI selama tahun 2017, isu migas dan ketenagalistrikan selalu mengemuka. Dalam tulisan singkat ini akan diulas refleksi peran pemerintah terkait penguatan Pertamina dan upaya untuk memperbaiki sektor ketenagalistrikan nasional.
Menyoal BBM Satu Harga
Sedari awal melalui Komisi VII DPR RI terutama Fraksi Partai Demokrat DPR RI terus mendorong upaya ketahanan energi dan kemandirian energi melalui pengelolaan migas yang berkeadilan untuk kemaslahatan bangsa. Defisit energi di Indonesia kian dirasakan dengan semakin bergantungnya kita terhadap impor minyak, peran minim dari perusahaan migas nasional (hanya sekitar 20% dari seluruh wilayah di Indonesia), semakin rendahnya penemuan wilayah eksplorasi, serta relatif lesunya harga minyak dunia. Persoalan tersebut ditambah dengan konsumsi rata-rata minyak di Indonesia sebesar 1,5 juta barel per hari dengan laju kebutuhan minyak bumi rata-rata 3% per tahun dan dengan impor BBM sekitar 44% sehingga diperkirakan pada tahun 2025 konsumsi akan mencapai menjadi sekira 2 juta barel per hari. Padahal pendapatan hasil minyak dalam negeri rata-rata hanya mampu sekitar 750 ribu sampai 800 ribu barel per hari. Dapat dibayangkan kebergantungan terhadap minyak bumi begitu tinggi, sehingga Pemerintah RI masih harus mencari sumber minyak tersebut dengan membeli dari negara lain.
Untuk itu peran perusahaan migas nasional yang teruji dan sehat menjadi keniscayaan. Sampai saat ini PT Pertamina (persero) masih dibebani service obligation untuk memenuhi target distribusi minyak dan gas secara nasional dengan pemerataan akses dan harga sama di seluruh wilayah Indonesia. Padahal banyak perusahaan migas asing yang beroperasi seperti Total, Chevron, Petronas yang memiliki SPBU di Indonesia tidak diwajibkan melakukan distribusi di luar Pulau Jawa, apalagi di wilayah terpencil yang sangat terbatas infrastruktur migas. Peran itu, kenyataanya diambil alih oleh PT Pertamina (Persero), sehingga tugas dan tanggung jawab perusahaan tersebut begitu besar. Profesionalisme, kemandirian, kerja keras, dan kejujuran membuat perusahaan ini menjadi sorotan publik di tengah harapan yang begitu besar terhadap kinerja yang dapat memberikan kemajuan bangsa. Pertanyaannya, apakah Pertamina akan terus sanggup menanggung beban tersebut?
Pertamina merupakan aset milik bangsa yang harus diberikan ruang yang cukup untuk peningkatan akselerasi untuk pemanfaatan energi dan sumber daya mineral di Indonesia. Namun sungguh sayang, pada kenyataannya Pertamina yang lebih dulu muncul ketimbang Petronas (Malaysia), tetapi perkembangannya sekarang justru jauh tertinggal dari Petronas. Hal yang disoroti oleh Fraksi Partai Demokrat terkini yakni, salah satunya soal penugasan satu harga yang diberikan tidak berdampak positif dan seakan-akan menjadi beban untuk pertamina.
Program BBM satu harga diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang percepatan pemberlakuan program BBM satu harga, jenis BBM tertentu dan BBM jenis khusus penugasan secara nasional yang berlaku sejak 1 Januari 2017. Implementasi kebijakan yang berjalan selama 10 bulan tentu harus terus dikawal dan perlu dievaluasi. Meski pemeritah saat ini berargumen hal itu merupakan kewajiban utama untuk memberikan solusi terbaik untuk masyarakat di seluruh Indonesia. BBM satu harga merupakan program inisiatif oleh Presiden Jokowi yang dilatarbelakangi oleh tingginya harga BBM di Papua karena minimnya fasilitas sehingga harganya bisa tembus sampai Rp. 100.000/liter. Tingginya harga BBM pada umumnya belum disediakan infrastruktur dan pengiriman BBM pun melalui pesawat yang mengakibatkan tingginya biaya transportasi. Untuk itu, pemerintah yang terdiri dari Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, dan PT Pertamina berupaya mewujudkan BBM satu harga di Papua dan di daerah lain seperti Kalimantan Utara (Kaltara). Di daerah Kaltara yang berbatasan langsung dengan Malaysia, warga Indonesia tak pernah merasakan langsung BBM subsidi dari Pemerintah RI sehingga harus membeli BBM secara ilegal dari Malaysia dengan harga minimum Rp. 16.000/liter, atau bahkan pernah mencapai harga Rp.50.000/liter.
Pada intinya, Permen ESDM Nomor 36 Tahun 2016 mengamanatkan badan usaha yang menyalurkan BBM bersubsidi segera membangun penyalur di lokasi tertentu yang belum terdapat BBM jenis tertentu dan BBM jenis penugasan, sehingga masyarakat dapat membeli BBM dengan harga jual eceran yang ditetapkan oleh Pemerintah alias satu harga untuk seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah menargetkan, hingga akhir tahun 2019 akan beroperasi lembaga penyalur BBM satu harga di 159 lokasi dengan fokus daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Sejak tahun 2016 sampai dengan 20 Desember 2017, PT Pertamina (Persero) telah mengoperasikan 38 Penyalur Satu Harga dan PT AKR Corporindo Tbk telah mengoperasikan 2 Penyalur BBM Satu Harga. Dari 38 lembaga penyalur Pertamina, 9 penyalur telah beroperasi sejak tahun 2016 dan 29 penyalur mulai beroperasi sejak tahun 2017. Adapun 2 penyalur AKR beroperasi pada November 2017 lalu. Lalu, pada 29 Desember 2017 bertambah lagi 17 lembaga penyalur yang seremonialnya diresmikan oleh Presiden Jokowi di Pontianak, Kalimantan Barat. Alhasil, sekarang sudah terdapat total 57 titik lembaga penyalur BBM satu harga yang telah beroperasi.
Namun di balik tugas yang dibebankan ke Pertamina tersebut menyimpan hal negatif. Berbagai pihak melalui media massa menyebutkan bahwa Pertamina terbebani dengan penetapan satu harga BBM jenis premium baik di Jawa, Madura, Bali maupun di luar Pulau Jawa. Kementerian BUMN menyebutkan bahwa Pertamina telah menanggung kerugian dari penjualan BBM penugasan hingga 30 Juni 2017 mencapai US$ 957.000.000 atau sekitar 12 triliun. Itu bukan angka yang sedikit, dan bisa menjadi potensi yang sungguh besar sebenarnya buat Pertamina jika dipakai untuk melakukan investasi. Namun, kerugian Pertamina saat ini memang belum jelas disebabkan oleh sektor apa dan bagaimana dapat terjadi. Apakah penugasan BBM satu harga ini benar-benar membebani kegiatan di Pertamina? Atau ada aspek lain seperti piutang atau meningkatnya alokasi investasi pengembangan bisnis? Hal itu kalau tidak dicermati dan ditempatkan pada porsinya yang sesuai maka akan menjadi beban terhadap kemampuan perusahaan migas nasional untuk berdikari.
Sesuai dengan Permen ESDM Nomor 36 Tahun 2016, penyaluran BBM untuk penugasan relatif sederhana yaitu dari badan utama penugasan harus membangun infrastruktur dan fasilitas penyaluran. Mereka juga yang melakukan distribusi ke pelosok tanah air. Hal itu sebenarnya sangat bagus sebagai bagian mengambil peran serta membangun jaringan distribusi nasional, tetapi tentu jangan terlampau membebani keuangan Pertamina. Seyogyanya negara juga harus membantu dengan menanggung pengeluaran distribusi Pertamina sehingga perusahaan tersebut tidak terbebani. Pertamina lebih banyak dibebani untuk program satu harga yang belum tercapai, terlebih lagi ada kerugian 12 triliun sampai bulan Juni 2017. Di sisi lain, Pertamina tunduk kepada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dalam Pasal 2 ayat 1 tentang Pemerintah mewajibkan BUMN mengejar keuntungan, namun apa daya, Pertamina justru merugi. Jika kondisinya seperti demikian, semestinya Pemerintah dapat memberikan “konsesi” atau kemudahan ke Pertamina dengan memberikan lahan-lahan blok migas dengan kualitas terbaik dan blok-blok seperti Blok Mahakam yang akan dialihkan pengelolaannya dengan prioritas ke perusahaan migas nasional. Pemerintah juga harus membantu terkait usaha yang dipermudah dan masalah perizinannya. Yang terutama adalah proses izin jangan dipersulit, karena Pertamina sebenarnya membantu Pemerintah di dalam pemanfaatan dan pengelolaan BBM nasional.
Upaya Perbaikan Sektor Ketenagalistrikan
Sumber daya listrik merupakan kebutuhan yang sangat penting, mendasar, dan strategis untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan manusia serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Kebijakan energi nasional harus mencakup beberapa dekade ke depan dengan mempertimbangkan berbagai sumber energi. Di samping itu pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu. Oleh karena itu diperlukan ketahanan pasokan energi (security of supply) yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah saat ini.
Di era Pemerintahan SBY, telah dibuat pondasi dasar yang kuat terkait aturan ketenagalistrikan, yaitu dalam UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyediaan tenaga listrik. UU tersebut juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam memberikan persetujuan atas harga tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik. UU itu menyatakan bahwa tarif tenaga listrik untuk konsumen dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha. Kebijakan Pemerintah terhadap tarif adalah tarif tenaga listrik secara bertahap dan terencana akan diarahkan untuk mencapai nilai keekonomian sehingga tarif tenaga listrik dapat menutup biaya pokok penyediaan yang telah dikeluarkan. Tenaga listrik merupakan komoditas mahal karena proses penyediaan tenaga listrik merupakan kegiatan yang padat modal, padat teknologi, padat usaha, dan memiliki risiko usaha yang tinggi sehingga memerlukan jaminan pengembalian atas investasi yang dikeluarkan.
Secara spesifik UU tersebut telah mengatur regulasi sesuai dengan konteks dan kondisi sumber listrik di masing-masing daerah. Namun ternyata, di tahun 2017 dinilai menjadi semakin buruk terkait regulasi di sektor ketenagalistrikan nasional. Hal itu ditandai dengan revisi program fast track 35 ribu Mega Watt (MW), terkait dengan persoalan di hulu, pengadaan listrik, pembiaran terhadap kebijakan penumpukan utang PLN, regulasi yang kerap kali berubah, dan terbengkalainya pembangunan transmisi 35.000 MW. Hal ini tentu membuat semakin rendahnya minat investor untuk melakukan investasi di ketenagalistrikan. Akar silang sengkarut tersebut terletak pada terlalu banyaknya aturan atau kebijakan baru, isi aturan yang tidak konsisten dan saling berseberangan satu sama lain, yang berakibat menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi dunia usaha dan pengusaha lokal.
Permasalah energi di Indonesia pada awalnya adalah adanya ancaman pasokan energi yang diakibatkan tata kelola energi yang masih tidak sinkron. Kebutuhan listrik nasional yang diperkirakan tumbuh sekitar 8 –9 % per tahun mengakibatkan perlu percepatan dalam pembangunan pembangkit dan penyalurannya. Mengacu pada pertumbuhan tersebut, berarti bahwa setiap tahun semestinya ada tambahan sekitar 5.700 MW kapasitas pembangkit baru. Inilah yang mulanya harus disiapkan, apabila tidak terpenuhi melalui PLN dan IPP (pengembang listrik swasta), maka akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik di Indonesia cenderung terus meningkat sesuai dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat serta makin berkembangnya industri. Pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik tersebut tidak dapat sepenuhnya dipenuhi PLN karena keterbatasan kemampuan, sehingga masih ada beberapa sistem kelistrikan di luar Jawa-Bali yang mengalami kekurangan pasokan daya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, PLN telah membangun pembangkit tenaga listrik selain dari pembangkit listrik milik PLN sendiri dan juga menyewa pembangkit diesel serta melakukan pembelian listrik swasta. Dalam penyediaan listrik tersebut memang dibutuhkan dana yang begitu besar dalam investasi infrastruktur ketenagalistrikan, mulai dari pembangunan pembangkit-pembangkit baru, jaringan transmisi, dan hingga jaringan distribusi agar listrik dapat disalurkan hingga ke konsumen dengan mutu dan keandalan yang baik.
Langkah berikutnya masih ada lagi persoalan kenyataan rasio elektrifikasi yang mencapai sekitar 93,08%, yang berarti masih ada sekitar 6-7% masyarakat yang belum memiliki akses terhadap listrik sehingga tidak dapat menikmati listrik. Terutama masyarakat di daerah kepulauan, di daerah terpencil dan daerah terluar. Hal besar lainnya adalah kebutuhan subsidi listrik yang terus meningkat jumlahnya, seiring dengan pertumbuhan kebutuhan listrik yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif tinggi.
Jika ditengok kembali, dalam dokumen Kementerian ESDM tahun 2016, upaya pembangunan Pembangkit Listrik 35.000 MW mayoritas pelaksana yang membangun yaitu IPP sebesar 30.000 MW dan PLN sebesar 5.000 MW. Pihak swasta lebih dominan sebagai investor untuk membangun pembangkit listrik nasional. Namun, pada perjalanannya di tahun 2017 kontroversi terhadap Independent Power Producer (IPP) muncul ketika lahir sejumlah aturan turunan yang mengaturnya. Pertama, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2017, yang merupakan penyempurnaan atas Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Lalu ada Permen ESDM Nomor 45 tahun 2017, yang merupakan revisi atas Permen ESDM Nomor 11 Tahun 20117 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik. Kemudian ada lagi Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang merupakan hasil revisi kedua Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Selain itu, terdapat pula permintaan Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM yang meminta PLN meninjau ulang kontrak PPA Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) swasta yang ada di Jawa. Hal ini tertuang dalam surat yang dikirim ke Direktur Utama PLN Sofyan Basir tertanggal 3 November 2017.
Hal-hal tersebut dilakukan dengan semakin gencarnya investasi asing di sektor ketenagalistrikan Indonesia, sedangkan pengusaha lokal semakin dipersulit dengan pelbagai macam aturan. Sementara itu, Kementerian ESDM sebagai leading sector juga dinilai tahun ini gagal mengawasi utang PLN yang kian membesar. Upaya PLN untuk menyebarkan rasio elektrifikasi karena tuntutan dan target pemerintah, membuat perusahaan tersebut rajin berhutang dan kerap kali membeli pembangkit yang tidak sesuai daya dukung daerah dan potensi lokal. Suatu contoh, di wilayah Sulawesi Selatan, PLN banyak membeli pembangkit tenaga listrik bertenaga diesel yang notabene menggunakan bahan bakar minyak. Ironisnya, dengan banyaknya pembelian pembangkit tersebut, ternyata daya serap masyarakat terhadap listrik tidak begitu besar, sehingga listrik tidak terpakai (loses). Perilaku inefisiensi dan kerugian dari kasus tersebut terlihat jelas.
Kinerja PLN sendiri mengecewakan setelah menaikan tarif tenaga listrik (TTL) atau mencabut subsidi terutama untuk golongan 900 volt ampere (VA). Namun setelah menaikan tarif listrik kegiatan berutang perusahaan tersebut justru semakin naik. Semestinya kebijakan berutang PLN tidak menjadi semakin tinggi karena akan berdampak membebani rakyat. Pada kenyataannya, kebijakan kenaikan listrik tersebut terus dilakukan, agar mempunyai kemampuan untuk berhutang, seperti melakukan revaluasi aset yang dilakukan hanya untuk memperlebar ruang berhutang bagi PLN. Aset PLN otomatis jadi membengkak, jika melakukan revaluasi aset, nilai asetnya kini menjadi Rp 1.250 triliun. Tetapi jelas, tujuan dari kebijakan itu hanya untuk mempermudah perseroan dalam berhutang saja. Oleh karenanya pihak PLN selalu berdalih rasio utangnya atau debt to equity ratio (DER)-nya selalu diklaim masih aman. Padahal dari sisi capaian laba PLN, mereka tidak mungkin membayar utang yang besar itu. Bahkan cepat atau lambat PLN akan habis dijarah dan jatuh ke tangan pihak asing.
Total utang PLN sampai saat ini telah mencapai Rp. 500,175 triliun, dan jumlah itu belum termasuk rencana utang terbaru PLN yang kabarnya menerbitkan surat hutang (obligasi dan sukuk) senilai Rp. 10 triliun. Sehingga hal itu membuat PLN sebagai perusahaan dengan rekor tertinggi dalam mengambil utang. Total utang PLN sebelum revaluasi aset itu telah lebih dari 100% dari total assetnya. Yang jadi pertanyaan adalah, sampai kapan perusahaan ini dapat dan sanggup membayar hutangnya?
Menurut Fraksi Partai Demokrat, aksi korporasi PLN tersebut seperti bermain kosmetik yang seolah-olah membuat cantik di luar, tetapi kenyataannya jelek di dalam. Dengan dalih harga listrik mahal, PLN kerap kali membuat harga listrik terus naik tanpa memikirkan kemampuan masyarakat. Apalagi secara nyata kenaikan listrik itu telah mengesampingkan kondisi penurunan harga batubara, gas dan minyak yang merupakan unsur biaya terbesar dalam PLN selama ini. Harga bahan bakunya turun kenapa harga keluarannya mahal? Pasti ada yang salah di dalam pengelolaan PLN. Hal itu ternyata juga membuat geram Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengingatkan melalui surat kepada Menteri ESDM dan Menteri BUMN terkait kekhawatiran soal utang PLN serta program 35.000 MW hingga berisiko pada keuangan negara akibat gagal bayar.
Upaya yang Harus Dilakukan
Fraksi Partai Demokrat melihat, menilai, dan memberikan solusi, bahwa rasionalisasi penggunaan pembangkit listrik berbasis kepada daya dukung dan sumber pembangkit lokal juga harus dilakukan. Pemborosan belanja barang berupa pembangkit yang boros BBM harus segera dihilangkan karena jauh dari sifat efisiensi dan perlu dilakukan mapping area kebutuhan listrik wilayah agar dapat terserap dengan baik. Penentuan nilai tarif menuju harga keekonomian perlu dilakukan secara bertahap menuju subsidi yang wajar dan memperhatikan perkembangan kemampuan bayar masyarakat.
Penyederhanaan struktur tarif perlu dilakukan karena struktur yang berlaku saat ini rumit dan sulit dikomunikasikan kepada konsumen. Saat ini ada 37 kategori di dalam penentuan golongan tarif, dan itu mesti disederhanakan dengan proporsi yang sesuai dan tepat.
Insentif juga perlu diberikan bagi pengguna listrik untuk kegiatan yang bersifat produktif dan disinsentif untuk kegiatan yang bersifat konsumtif, khususnya untuk pelanggan yang penggunaan listriknya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dalam rangka mendorong penghematan pemakaian listrik, bagi tarif pelanggan yang bersifat konsumtif (pelanggan rumah tangga), perlu dibuat blok-blok tarif yang memiliki harga tarif Rp/kWh yang berbeda (progresif). Tarif listrik regional dapat segera diimplementasikan pada daerah tertentu mengingat beberapa daerah yang berdasarkan kajian regionalisasi termasuk dalam kategori yang memiliki kemampuan membayar pelanggan relatif lebih tinggi dari kemampuan bayar nasional.
Mengacu kepada hasil studi yang menunjukkan bahwa biaya bahan bakar merupakan komponen utama sebagai penyusun BPP dan dominansi komponen biaya BBM yang meliputi HSD, MFO dan IDO dalam komposisi energy mixed saat ini, maka untuk menekan besarnya BPP, komposisi energy mixed perlu diubah dengan melakukan substitusi BBM pada unit-unit pembangkit yang memungkinkan dioperasikan dengan dual fuel dengan bahan bakar gas atau membangun pembangkit baru yang lebih rendah BPP-nya serta meningkatkan pemanfaatan sumber energi pembangkit terbarukan. Diperlukan pengembangan energi listrik alternatif sebagai upaya dalam mendukung diversifikasi energi sebagai masukan dalam penyusunan rencana strategis dan merealisasikan kebijakan pemerintah di bidang diversifikasi energi pengganti energi fosil.
Perlu pengembangan informasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan bidang energi dan sebagai arahan dalam menentukan program pemanfaatan energi alternatif di Indonesia. Perlu pemanfaatan yang sebesar-besarnya dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada, sehingga kesejahteraan dapat merata, dan untuk menjaga lingkungan hidup dengan memanfaatkan green energy yang menumbuhkan pembangunan berkelanjutan.
Diperlukan pula inventarisasi energi alternatif yang sudah dan sedang dilakukan, serta kebijakan dan Peraturan Pemerintah tentang percepatan dan pemanfaatan energi alternatif. Serta melakukan inventarisasi mengenai karakteristik wilayah dari sisi geografis, lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya di wilayah-wilayah yang berpotensi menghasilkan sumber daya listrik lokal. Harus dilakukan pula rencana aksi dan peta lokasi pemanfaatan sumber energi listrik sebagai penjabaran dari program dan strategi nasional yang terarah dan memiliki durabilitas yang baik. Kiranya dua isu tersebut dapat menjadi bahan refleksi yang konstruktif di tengah situasi yang di akhir 2017 yang kian silang sengkarut. Semoga setiap kita dapat menerima sesuai kebutuhannya dan setiap kita dapat menerima sesuai dengan kemampuannya.
Refleksi Akhir Tahun 2017: Pertamina dan Ketenagalistrikan Nasional
Reviewed by OG Indonesia
on
Selasa, Januari 02, 2018
Rating: