Jakarta, OG Indonesia -- Setelah mencermati Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun 2018, Anggota Komisi VII DPR RI Rofi Munawar mengaku pesimis dengan arah pengembangan diversifikasi energi nasional.
“Nota Keuangan APBN 2018 semakin menegaskan bahwa proyeksi lifting minyak terus mengalami penurunan sejak tahun 2015. Situasi ini ini memberikan gambaran tidak adanya terobosan terhadap peningkatan produksi dan kelemahan dalam melakukan diversifikasi energi secara nasional,” kata Rofi Munawar dalam keterangan pers yang diterima OG Indonesia, Rabu (23/08).
Legislator asal Jawa Timur ini memberikan penjelasan secara kronologis terkait realisasi perkembangan lifting minyak di APBN sejak tahun 2016. Di tahun tersebut lifting minyak Indonesia mencapai 825 barel per hari (bph), mengalami penurunan di APBN-P tahun 2017 sebesar 815 bph dan hingga pada akhirnya di tahun 2018 Pemerintah hanya mematok optimis di angka 800 bph.
Situasi berbeda terjadi pada lifting gas yang terus mengalami kenaikan dari tahun 2016 sebesar 1.193 bph, tahun 2017 sebesar 1.150 dan tahu 2018 sebesar 1.200 bph. Di sisi lain, perkembangan diversifikasi energi juga tidak banyak berubah, berdasarkan data dari Kementerian ESDM, konfigurasi bauran energi (energy mix) masih didominasi bahan bakar minyak (BBM) sebesar 33,8%, Gas 23,9%, Batubara 34,6% dan 7,7% berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT).
“Postur APBN tahun 2018 jika dicermati sejak tahun 2016 menunjukan bahwa diversifikasi energi tidak banyak mengalami perubahan, karena masih dominannya penggunaan minyak dan batubara dalam bauran energi nasional. Situasi ini menunjukan bahwa belum adanya keseriusan dalam mengembangkan alternatif energi yang ramah lingkungan dan berorientasi jangka panjang (sustainable),” jelas ketua kelompok komisi (Kapoksi) VII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI ini.
Rofi juga mengingatkan, subsidi energi yang semakin besar di tahun 2018 sekitar Rp 172,407,9 triliun harus diorientasikan kepada sektor publik secara transparan, efektif dan tepat sasaran. Selain itu juga, diharapkan dapat menjadi daya pendorong konsumsi energi publik yang semakin produktif. Sebagai informasi, angka subsidi mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 168.876,8 triliun rupiah.
“Kenaikan subsidi energi harus diorientasikan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik dan mampu mendorong produktifitas nasional, bukan sekedar program populis yang tidak memberikan dampak yang besar kepada perbaikan konsumsi publik," tegasnya.
Sebagai catatan, dalam APBN Pemerintah di tahun 2017 telah menetapkan lifting minyak bumi sebesar 815 bph dan lifting gas bumi 1.150 ribu bph dengan total lifting migas sebesar 1.965 ribu bph. Tentu saja secara factual, target tesebut tidak jauh berbeda dengan proyeksi APBN 2018 lifting minyak 771 – 815 bph dan 1.194-1.235 bph. RH
“Nota Keuangan APBN 2018 semakin menegaskan bahwa proyeksi lifting minyak terus mengalami penurunan sejak tahun 2015. Situasi ini ini memberikan gambaran tidak adanya terobosan terhadap peningkatan produksi dan kelemahan dalam melakukan diversifikasi energi secara nasional,” kata Rofi Munawar dalam keterangan pers yang diterima OG Indonesia, Rabu (23/08).
Legislator asal Jawa Timur ini memberikan penjelasan secara kronologis terkait realisasi perkembangan lifting minyak di APBN sejak tahun 2016. Di tahun tersebut lifting minyak Indonesia mencapai 825 barel per hari (bph), mengalami penurunan di APBN-P tahun 2017 sebesar 815 bph dan hingga pada akhirnya di tahun 2018 Pemerintah hanya mematok optimis di angka 800 bph.
Situasi berbeda terjadi pada lifting gas yang terus mengalami kenaikan dari tahun 2016 sebesar 1.193 bph, tahun 2017 sebesar 1.150 dan tahu 2018 sebesar 1.200 bph. Di sisi lain, perkembangan diversifikasi energi juga tidak banyak berubah, berdasarkan data dari Kementerian ESDM, konfigurasi bauran energi (energy mix) masih didominasi bahan bakar minyak (BBM) sebesar 33,8%, Gas 23,9%, Batubara 34,6% dan 7,7% berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT).
“Postur APBN tahun 2018 jika dicermati sejak tahun 2016 menunjukan bahwa diversifikasi energi tidak banyak mengalami perubahan, karena masih dominannya penggunaan minyak dan batubara dalam bauran energi nasional. Situasi ini menunjukan bahwa belum adanya keseriusan dalam mengembangkan alternatif energi yang ramah lingkungan dan berorientasi jangka panjang (sustainable),” jelas ketua kelompok komisi (Kapoksi) VII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI ini.
Rofi juga mengingatkan, subsidi energi yang semakin besar di tahun 2018 sekitar Rp 172,407,9 triliun harus diorientasikan kepada sektor publik secara transparan, efektif dan tepat sasaran. Selain itu juga, diharapkan dapat menjadi daya pendorong konsumsi energi publik yang semakin produktif. Sebagai informasi, angka subsidi mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 168.876,8 triliun rupiah.
“Kenaikan subsidi energi harus diorientasikan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik dan mampu mendorong produktifitas nasional, bukan sekedar program populis yang tidak memberikan dampak yang besar kepada perbaikan konsumsi publik," tegasnya.
Sebagai catatan, dalam APBN Pemerintah di tahun 2017 telah menetapkan lifting minyak bumi sebesar 815 bph dan lifting gas bumi 1.150 ribu bph dengan total lifting migas sebesar 1.965 ribu bph. Tentu saja secara factual, target tesebut tidak jauh berbeda dengan proyeksi APBN 2018 lifting minyak 771 – 815 bph dan 1.194-1.235 bph. RH
Diversifikasi Energi Sulit Diharapkan dalam APBN 2018
Reviewed by OG Indonesia
on
Rabu, Agustus 23, 2017
Rating: