Jakarta, OG Indonesia -- Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengungkapkan data bahwa ada sekitar 11 perusahaan smelter yang berhenti beroperasi karena merugi akibat keputusan relaksasi ekspor konsentrat dan mineral mentah kadar rendah.
"Ada yang berhenti beroperasi sekitar 11 smelter, kemudian ada 12 yang rugi. Dampaknya sudah terlihat, sudah ada yang menderita," kata Marwan dalam diskusi bertema "Dampak Relaksasi Ekspor Mineral terhadap Program Hilirisasi Mineral Tambang di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (20/07).
Marwan merinci 11 smelter tersebut antara lain PT Karyatama Konawe Utara, PT Macika Mineral Industri, PT Bintang Smelter Indonesia, PT Huadi Nickel, PT Titan Mineral, PT COR Industri, PT Megah Surya, PT Blackspace, PT Wan Xiang, PT Jinchuan, dan PT Transon.
Adapun 12 perusahaan smelter nikel yang merugi akibat jatuhnya harga antara lain PT Fajar Bhakti, PT Kinlin Nickel, PT Century, PT Cahaya Modern, PT Gebe Industri, PT Tsingshan (SMI), PT Guang Ching, PT Cahaya Modern, PT Heng Tai Yuan, PT Virtue Dragon, PT Indoferro, dan PT Vale Indonesia Tbk.
Ditegaskan oleh Marwan, kebijakan relaksasi yang dilakukan pemerintah telah mengkhianati komitmen yang dibuat dengan para kontraktor yang telah melakukan investasi pembangunan smelter dalam 2-3 tahun terakhir.
"Kebijakan relaksasi antara lain menjadikan peta dan volume ekspor-impor konsentrat berubah, harga komoditas turun dan kelayakan investasi smelter pun ikut terganggu," tuturnya.
Seperti diketahui, semula publik menaruh harapan besar kepada pemerintahan Jokowi yang berjanji akan konsisten menjalankan perintah UU Minerba No.4/2009 yang akan memperbesar nilai tambah nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
"Namun, memasuki tahun ketiga pemerintahan, harapan tersebut mulai memudar, terutama dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No.1/2017 serta Peraturan Menteri ESDM No.5/2017 dan No.6/2017. Ketiga peraturan ini pada dasarnya mengizinkan kembali ekspor konsentrat, mineral mentah kadar rendah untuk bauksit dan nikel," paparnya.
Dampaknya pun terasa pada mandeknya pembangunan smelter. Marwan membeberkan data, dari 12 smelter bauksit/nikel yang direncanakan dibangun pada 2015, ternyata yang terealisasi hanya 5 smelter, atau dari 4 yang direncanakan pada 2016 hanya 2 smelter yang terealisasi.
"IRESS sangat prihatin dan kecewa dengan sikap pemerintah ini, dan karenanya IRESS pun ikut bergabung mengajukan gugatan uji materiil bersama Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) atas peraturan-peraturan teesebut ke Mahkamah Agung pada akhir Maret 2017 yang lalu. Target gugatan adalah agar peraturan-peraturan tersebut dibatalkan, hukum ditegakkan dan kebijakan relaksasi ekspor konsentrat dibatalkan," tutup Marwan. RH
"Ada yang berhenti beroperasi sekitar 11 smelter, kemudian ada 12 yang rugi. Dampaknya sudah terlihat, sudah ada yang menderita," kata Marwan dalam diskusi bertema "Dampak Relaksasi Ekspor Mineral terhadap Program Hilirisasi Mineral Tambang di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (20/07).
Marwan merinci 11 smelter tersebut antara lain PT Karyatama Konawe Utara, PT Macika Mineral Industri, PT Bintang Smelter Indonesia, PT Huadi Nickel, PT Titan Mineral, PT COR Industri, PT Megah Surya, PT Blackspace, PT Wan Xiang, PT Jinchuan, dan PT Transon.
Adapun 12 perusahaan smelter nikel yang merugi akibat jatuhnya harga antara lain PT Fajar Bhakti, PT Kinlin Nickel, PT Century, PT Cahaya Modern, PT Gebe Industri, PT Tsingshan (SMI), PT Guang Ching, PT Cahaya Modern, PT Heng Tai Yuan, PT Virtue Dragon, PT Indoferro, dan PT Vale Indonesia Tbk.
Ditegaskan oleh Marwan, kebijakan relaksasi yang dilakukan pemerintah telah mengkhianati komitmen yang dibuat dengan para kontraktor yang telah melakukan investasi pembangunan smelter dalam 2-3 tahun terakhir.
"Kebijakan relaksasi antara lain menjadikan peta dan volume ekspor-impor konsentrat berubah, harga komoditas turun dan kelayakan investasi smelter pun ikut terganggu," tuturnya.
Seperti diketahui, semula publik menaruh harapan besar kepada pemerintahan Jokowi yang berjanji akan konsisten menjalankan perintah UU Minerba No.4/2009 yang akan memperbesar nilai tambah nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
"Namun, memasuki tahun ketiga pemerintahan, harapan tersebut mulai memudar, terutama dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No.1/2017 serta Peraturan Menteri ESDM No.5/2017 dan No.6/2017. Ketiga peraturan ini pada dasarnya mengizinkan kembali ekspor konsentrat, mineral mentah kadar rendah untuk bauksit dan nikel," paparnya.
Dampaknya pun terasa pada mandeknya pembangunan smelter. Marwan membeberkan data, dari 12 smelter bauksit/nikel yang direncanakan dibangun pada 2015, ternyata yang terealisasi hanya 5 smelter, atau dari 4 yang direncanakan pada 2016 hanya 2 smelter yang terealisasi.
"IRESS sangat prihatin dan kecewa dengan sikap pemerintah ini, dan karenanya IRESS pun ikut bergabung mengajukan gugatan uji materiil bersama Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) atas peraturan-peraturan teesebut ke Mahkamah Agung pada akhir Maret 2017 yang lalu. Target gugatan adalah agar peraturan-peraturan tersebut dibatalkan, hukum ditegakkan dan kebijakan relaksasi ekspor konsentrat dibatalkan," tutup Marwan. RH
Dampak Relaksasi Ekspor Mineral, 11 Smelter Berhenti Operasi
Reviewed by OG Indonesia
on
Kamis, Juli 20, 2017
Rating: