Foto: Hrp |
Harga minyak dunia yang belum
juga membaik memang membuat investasi hulu migas menjadi tidak menarik. Hal ini
terbukti di tahun 2015 di mana investasi hulu migas turun 20,4% menjadi US$ 15,34
miliar, lalu target investasi sebesar US$ 12,5 miliar pada tahun 2016 juga
tidak tercapai. Lelang Wilayah Kerja (WK) Migas yang ditawarkan Pemerintah pun
tidak dilirik oleh investor. Pada tahun 2015 tidak ada satu pun WK Migas yang
laku terkontrak, sementara di tahun 2016 dari 17 WK yang dilakukan lelang juga
tidak menghasilkan pemenang.
Dikatakan oleh Wakil Menteri ESDM
Arcandra Tahar dalam Plenary Session III bertajuk “Priority Reforms to
Re-Attract Investment” di The 41st Indonesia Petroleum Association (IPA)
Convention and Exhibition 2017, di JCC Senayan, Jakarta, Kamis (18/05), perlu
ada diskusi dan tinjauan dari semua stakeholder
migas terhadap regulasi yang ada agar iklim industri hulu migas kian baik.
“Jadi jika anda (stakeholder migas) perlu untuk
menyampaikan sesuatu dengan ide yang luar biasa bagus supaya membuat industri
migas lebih baik dari sebelumnya, maka kita sangat boleh sekali untuk
berdiskusi sehingga ke depan kita akan memiliki regulasi yang lebih baik,” kata
Arcandra.
Dikatakan Wamen ESDM, beberapa
regulasi yang sudah direvisi oleh Pemerintah antara lain Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan
Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Revisi beleid tersebut dilakukan agar dapat
menyesuaikan insentif pajak yang selama ini dikeluhkan oleh pengusaha migas. “Beberapa
bulan yang lalu IPA datang menemui saya dan menyarankan untuk revisi PP 79, dan
saya rasa kita memang perlu merevisinya,” tuturnya.
Kendati masih perlu dinanti
keberhasilannya, skema gross split yang
baru saja digulirkan oleh Pemerintah di bawah Peraturan Menteri ESDM Nomor 8
Tahun 2017, menurut Arcandra merupakan upaya nyata yang dilakukan Pemerintah
untuk membenahi sektor hulu migas. Ditambahkan olehnya, faktor split atau bagi hasil untuk kontraktor
memang harus serius diperhatikan, sebab kalau split-nya dirasa kurang cukup maka tetap tidak akan bisa
meningkatkan iklim investasi yang baik di hulu migas Indonesia.
“Gross split ini adalah isu besar dan tantangan besar, dan banyak
sekali diskusi mengenai gross split. Tetapi
skema gross split ini adalah tetap
produk yang dibuat manusia yang kalau dilihat dari berbagai sudut mungkin ada
kekurangan dan bagian yang terlupakan. Jadi agar ini jadi lebih baik harus
berpatokan pada data yang riil, itu yang kita perlukan. Kalau anda bisa
menunjukkan kepada kami, misal bahwa split-nya
tidak cukup maka kita berhenti,” paparnya.
Dilanjutkan oleh Arcandra beberapa
upaya lain yang dilakukan Pemerintah untuk kian memperbaiki kondisi sektor hulu
migas adalah dalam penerapan Participating
Interest (PI) sebesar 10% sebagai bagian daerah dari hasil produksi migas.
Diungkapkan oleh Wamen ESDM, ada beberapa kontraktor yang menemui dirinya dan
menyampaikan bahwa pihaknya akan memerlukan biaya tambahan karena PI 10%
tersebut. “Dalam kaitannya dengan uang, ini benar, tetapi harus dilihat juga
dari perspektif lain, Misal dari proses bisnis dan perijinan di mana diharapkan
pemerintah daerah bisa mempercepatnya dengan tidak membuat peraturan daerah
baru yang tidak bisa memberi nilai tambah untuk kegiatan operasional migas,”
tuturnya.
Selanjutnya, disampaikan
Arcandra, perbaikan terhadap Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2017 tentang
Pergantian Investasi bagi Kontrak yang Akan Berakhir juga sudah dilakukan
Pemerintah agar pihak investor tak ragu dalam berinvestasi di Indonesia. “Jadi
kalau ada aturan atau perundangan yang tidak membantu kita semua bisa kita
revisi,” jelasnya.
Nick Sharma, Managing Director
APAC Head of Upstream Research & Consulting IHS, mengingatkan bahwa
perusahaan-perusahaan migas yang ada di dunia pada saat ini tengah membatasi
investasi kapitalnya untuk negara-negara tertentu terutama dengan iklim investasi
yang kurang menarik. “Kurangnya investasi hulu migas itu tentu akan berdampak
pada turunnya penyerapan tenaga kerja dan pendapatan negara, sementara tentunya
Indonesia masih perlu investasi yang besar di sektor ini,” ucap Nick Sharma. “Dengan
penerapan PSC gross split kita harus
memahami mungkin tidak akan mencapai tingkat yang sama dan menghasilkan seperti
sistem PSC sebelumnya, tetapi yang terpenting adalah untuk menyegarkan kembali
investasi,” sambungnya.
Salah satu titik perhatian dari
skema gross split yang baru saja
diterapkan pada tahun ini untuk WK baru dan perpanjangan adalah terkait besaran
split. Disampaikan oleh Syamsu Alam,
Direktur Hulu PT Pertamina (Persero), hal tersebut memang disoroti oleh
sebagian besar dari pelaku usaha hulu migas pada saat ini. Menurut Syamsu Alam,
split tentunya menjadi insentif
paling menarik yang diberikan Pemerintah kepada kontraktor dalam melakukan
pekerjaan hulu migas di Indonesia. “Tapi bagi kami (Pertamina) pada saat ini,
kami masih menikmati base split, variable
split, dan progressive split yang
diterima. Saat ini total split (dengan skema gross split) yang diterima PHE ONWJ sekitar 67%-68% dan itu sudah
baik,” ucapnya.
Ditambahkan oleh Direktur IPA
Ronald Gunawan, dalam lingkungan investasi global yang tengah membatasi dana
investasinya, setiap negara harus bersaing menarik investasi dalam tataran
kompetisi global. Diterangkan olehnya, status lapangan-lapangan migas Indonesia
sekitar 70% tergolong lapangan yang mature
dan sudah dieksploitasi dan diproduksi sehingga diperlukan kondisi-kondisi yang
menguntungkan agar investor terus tertarik menggulirkan uangnya untuk kegiatan
hulu migas di Indonesia.
Di sisi lain, lapangan-lapangan
migas di Indonesia juga masih ada yang dalam kondisi frontier alias belum dikembangkan, dan dengan kondisi tersebut juga
tetap diperlukan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi investor untuk membuat
investor berani mengembangkannya. “Favorable
terms dibutuhkan untuk memperpanjang usia lapangan dalam konteks lapangan
yang mature. Lalu pada area frontier, favorable terms juga
dibutuhkan untuk memberi insentif dan menarik investor berinvestasi,” terang Ronald.
Guna menarik investasi tersebut,
dikatakan oleh Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman
Wiratmaja Puja, salah satu hal yang dilakukan Pemerintah adalah menyederhanakan
proses perijinan yang ada di kegiatan hulu migas. “Kami melakukan
penyederhanaan perijinan di Kementerian ESDM, dari sekitar 104 ijin menjadi
hanya 6 ijin saja, dengan masa waktu proses mendapat ijin yang dibatasi tak
lebih dari 20 hari. Kami juga mendorong kementerian lain yang terkait dengan
kegiatan migas untuk juga menyederhanakan sistem perijinannya dan menyatukannya
di BKPM lewat sistem perijinan satu pintu,” beber Wirat.
Sementara itu Kepala SKK Migas
Amien Sunaryadi menekankan bahwa tantangan industri hulu migas Indonesia tak
semata terletak dalam skema bagi hasil yang digunakan, apakah itu PSC Cost Recovery atau PSC Gross Split. “Tetapi harus juga kita
pikirkan bagaimana membuat bisnis hulu migas ini lebih cepat dan lebih efisien,
dan kendala yang paling utama untuk hal ini adalah terkait procurement atau pengadaan. Karena itu sejak tahun 2015 dengan
beberapa KKKS kita sudah buat Centralized Integrated Vendor Database (CIVD),”
ucap Amien. “Jadi kita harus bekerja bersama dan inilah contoh bagaimana kita
harus bekerja bersama,” lanjutnya. RH
Wamen ESDM: Revisi Regulasi Perlu Agar Industri Hulu Migas Kian Baik
Reviewed by OG Indonesia
on
Jumat, Mei 19, 2017
Rating: