Foto: Hrp |
“Boleh saja pakai gross split, tetapi harus menguntungkan bagi kedua pihak. Pemerintah tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri,” ujar Ari kepada wartawan, Rabu (24/05).
Ari lantas menawarkan solusi yang menurutnya mungkin saja menarik bagi investor. Pertama, biaya eksplorasi tetap diganti pemerintah jika ternyata lapangan migas tersebut ekonomis, dilanjutkan ke tahap produksi. “Sebab kalau ternyata gagal atau dry hole, risiko kan semua ditanggung perusahaan migas,” ujarnya.
Kedua, boleh saja menggunakan skema base split 53:47, tetapi kalau IRR-nya di bawah 15 persen, pemerintah bersedia melakukan negosiasi ulang, dengan patokan harga minyak di angka USD 50 dollar per barel.
“Bahkan, pilihan ini pun belum tentu mau. Kalau IRR-nya ternyata melonjak menjadi 30 persen, dia akan merasa itu haknya. Sebab, investor migas itu koboi semua yang mau berjudi investasi. Kalau hilang ya hilang. Nah, jangan sampai ketika IRR melebihi batas lantas pemerintah mengajukan renegosiasi bagi hasil. Atau ketika harga minyak naik, misalnya melebihi 50 dollar AS per barel, pemerintah kembali ingin mengajukan renegosiasi bagi hasil. Makanya harus diajak semua perusahaan migas untuk menyepakati formula yang tepat dan pasti,” papar Ari.
Dia mengemukakan, gross split tidak akan manjur bila bermaksud ingin menciptakan efisiensi oleh perusahaan migas. Alasannya, perusahaan migas sudah berkorban ketika lapangan migas ternyata tidak ekonomis.
“Dia sudah mengambil risiko dapat atau tidak dapat minyak, lalu kenapa harus ada risiko lagi? Negara hanya ingin efisien bagi dirinya. Bagi kontraktor, saya sudah merisikokan duit dan belum tahu dapat atau tidak. Kalau risiko setelah dapat cadangan masih ada, dia tidak mau. Artinya, tanpa disuruh sekalipun, semua investor akan melakukan efisiensi, dia ingin duitnya cepat balik,” tukas mantan Direktur Utama Pertamina ini.
Itu sebabnya, Ari tidak setuju skema cost recovery yang dituding selama ini banyak mengalami kecurangan hingga berdampak pada menurunnya pendapatan negara dari sektor migas. Kalaupun ada kecurangan, jumlahnya tidak lebih dari 5 persen.
Di sisi lain, kurang bergairahnya investasi di sektor migas, sambung Ari, justru terletak di pihak pemerintah. Buktinya, Ari mengutip data konsultan hulu migas dunia Wood Mackenzie, Indonesia saat masih menggunakan cost recovery lebih menarik dari Meksiko, Brazil, dan Meksiko. Tetapi kenyataannya investasi lebih banyak di sana ketimbang di Indonesia. Sekarang, dengan menggunakan gross split, secara fiskal saja Indonesia tidak lagi menarik.
“Kalau dari segi fiskal saja tidak lagi menarik, apalagi sekarang? Faktor penyebabnya banyak seperti birokrasi, perubahan kontrak yang sepihak, dan kontrak yang masih antara negara dengan kontraktor. Seharusnya business to business seperti saat masih dipercayakan kepada Pertamina. Kesucian itu ada di kontrak, kalau mau revisi harus berdua. Jangan sepihak dengan alasan karena ada peraturan pemerintah,” ungkapnya.
Lalu jika skema gross split tidak segera direvisi, apakah akan berdampak pada penurunan produksi migas nasional? “Sudah pasti, kita lihat saja nanti. Tetapi sekali lagi, saya bukan anti gross split, tetapi sebaiknya direvisi secara menyeluruh dan melibatkan semua pihak terkait,” jawab Ari Soemarno. RH
Ari Soemarno: Gross Split Sebaiknya Direvisi
Reviewed by OG Indonesia
on
Sabtu, Mei 27, 2017
Rating: