Jakarta, OG Indonesia -- Pemerintah seolah tak berdaya menghadapi raksasa tambang PT Freeport Indonesia. Hal ini terbukti dengan akan diterbitkannya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yang memberikan relaksasi ekspor konsentrat hingga 11 Januari 2017.
Pemerintah beragumen, apabila PP tersebut tidak direvisi, pemegang Kontrak Karya (KK) seperti Freeport tidak lagi punya dasar hukum untuk melakukan ekspor konsentrat sejak 12 Januari 2017. "Ini bukan PP yang dibuat untuk badan usaha tertentu. Pemerintah membuat untuk sektor pertambangan. Kita juga akan mengikuti substansi UU Minerba, tidak ada upaya melanggar peraturan," ujar Jonan dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (10/01).
Dalam revisi PP tersebut, pemegang KK akan diubah statusnya menjadi Izin Usaha Produksi Khusus (IUPK). Menurut Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan, dengan mengubah KK menjadi IUPK, para pemegang KK bisa tetap mengekspor konsentrat.
Alasannya, izin ekspor konsentrat bisa diberikan ke pemegang IUPK karena UU Minerba hanya mengatur batas waktu pelaksanaan kewajiban melakukan pemurnian kepada pemegang KK yakni 5 tahun setelah UU Minerba disahkan. Sedangkan untuk pemegang IUPK tidak diatur secara rinci dan tegas.
Di sinilah keganjilan mulai muncul. Sebab, dalam UU Minerba jelas diatur bahwa pemegang KK maupun IUPK tetap diwajibkan membangun smelter. Penegasan itu tertuang dalam Pasal 103 ayat 1 UU Minerba yang berbunyi, “Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri”.
Dengan kata lain, perusahaan pemegang KK maupun IUPK secara hukum tetap harus membangun smelter 5 tahun setelah UU Minerba disahkan. Lantas, kenapa harus mengubah status KK menjadi IUPK jika membangun smelter masih diwajibkan?
Apalagi Presiden Joko Widodo sendiri sudah meminta agar ekspor bijih mineral di semua daerah di Indonesia dilarang dilakukan. "Sekedar mengingatkan, Pak Presiden meminta agar ekspor bijih mineral di semua daerah dilarang. Bijih mineral harus diproses untuk meningkatkan nilai tambah bagi kemajuan perekonomian nasional dan daerah," ucap Peneliti dari Policy Center ILUNI UI Ryad Chairil.
“Pada prinsipnya relaksasi konsentrat saja sudah melanggar UU Minerba. Sekarang pemerintah kembali ingin mengubah KK menjadi IUPK dengan harapan agar bisa tetap mengekspor konsentrat. Lalu apa bedanya jika hanya berstatus pemegang KK? Ini pemerintah jelas ngawur memahami UU Minerba,” kritik Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman kepada wartawan di Jakarta, Selasa (10/01).
Adapun keganjilan berikutnya diungkapkan Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS) Budi Santoso. Menurut Budi, alasan perlunya revisi PP relaksasi konsentrat adalah demi kesejahteraan masyarakat terkesan sangat klise. Ia mengkritik pemerintah yang lembek menjalankan kewajiban divestasi terhadap perusahaan tambang pemegang KK seperti Freeport, yang diatur dalam PP No 24/2012 tentang Kewajiban Divestasi Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar 51 persen.
Sementara UU Minerba mengamanatkan, begitu kontrak habis, seluruh rezim KK akan dihapus dan digantikan dengan rezim IUPK. Adapun kontrak Freeport akan habis pada 2021 mendatang.
“Seharusnya kewajiban divestasi dan smelter walau bukan dibangun oleh penambang adalah wajib. Justru pemerintah terkesan tidak memiliki political will yang kuat untuk memanfaatkan sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk rakyat. Kalau pemerintah hanya melihat PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebagai cermin kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, itu adalah konsep pengelolaan yang salah. Kalau Freeport divestasi setelah dapat IUPK maka nilai sahamnya pasti lebih mahal daripada divestasi sebelum diperpanjang. Ini menurut saya "kebodohan" pemerintah Indonesia,” beber Budi Santoso.
Budi kembali menegaskan, dengan mengubah KK menjadi IUPK juga menunjukkan tidak adanya kemauan pemerintah untuk mengelola sumber daya nasional. Sebab, dengan berakhirnya kontrak KK Freeport pada 2021 nanti, pemerintah sebetulnya mempunyai opsi memperpanjang kontrak atau memberikan mengambil alih pengelolaan Freeport.
“Namun paradigma pengelolaan minerba oleh pemerintah sekarang juga ternyata belum berubah. Bahwa kemakmuran sebesar-besarnya untuk rakyat tidak cuma dalam bentuk penerimaan negara. Tetapi dalam pertumbuhan dan daya saing industri nasional, pembangunan regional, peningkatan kompetensi industry dan tenaga kerja, dan membuka lapangan kerja. Pendapatan negara itu seharusnya ditempatkan di bagian paling akhir,” pungkasnya. RH
Pemerintah beragumen, apabila PP tersebut tidak direvisi, pemegang Kontrak Karya (KK) seperti Freeport tidak lagi punya dasar hukum untuk melakukan ekspor konsentrat sejak 12 Januari 2017. "Ini bukan PP yang dibuat untuk badan usaha tertentu. Pemerintah membuat untuk sektor pertambangan. Kita juga akan mengikuti substansi UU Minerba, tidak ada upaya melanggar peraturan," ujar Jonan dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (10/01).
Dalam revisi PP tersebut, pemegang KK akan diubah statusnya menjadi Izin Usaha Produksi Khusus (IUPK). Menurut Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan, dengan mengubah KK menjadi IUPK, para pemegang KK bisa tetap mengekspor konsentrat.
Alasannya, izin ekspor konsentrat bisa diberikan ke pemegang IUPK karena UU Minerba hanya mengatur batas waktu pelaksanaan kewajiban melakukan pemurnian kepada pemegang KK yakni 5 tahun setelah UU Minerba disahkan. Sedangkan untuk pemegang IUPK tidak diatur secara rinci dan tegas.
Di sinilah keganjilan mulai muncul. Sebab, dalam UU Minerba jelas diatur bahwa pemegang KK maupun IUPK tetap diwajibkan membangun smelter. Penegasan itu tertuang dalam Pasal 103 ayat 1 UU Minerba yang berbunyi, “Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri”.
Dengan kata lain, perusahaan pemegang KK maupun IUPK secara hukum tetap harus membangun smelter 5 tahun setelah UU Minerba disahkan. Lantas, kenapa harus mengubah status KK menjadi IUPK jika membangun smelter masih diwajibkan?
Apalagi Presiden Joko Widodo sendiri sudah meminta agar ekspor bijih mineral di semua daerah di Indonesia dilarang dilakukan. "Sekedar mengingatkan, Pak Presiden meminta agar ekspor bijih mineral di semua daerah dilarang. Bijih mineral harus diproses untuk meningkatkan nilai tambah bagi kemajuan perekonomian nasional dan daerah," ucap Peneliti dari Policy Center ILUNI UI Ryad Chairil.
“Pada prinsipnya relaksasi konsentrat saja sudah melanggar UU Minerba. Sekarang pemerintah kembali ingin mengubah KK menjadi IUPK dengan harapan agar bisa tetap mengekspor konsentrat. Lalu apa bedanya jika hanya berstatus pemegang KK? Ini pemerintah jelas ngawur memahami UU Minerba,” kritik Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman kepada wartawan di Jakarta, Selasa (10/01).
Adapun keganjilan berikutnya diungkapkan Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS) Budi Santoso. Menurut Budi, alasan perlunya revisi PP relaksasi konsentrat adalah demi kesejahteraan masyarakat terkesan sangat klise. Ia mengkritik pemerintah yang lembek menjalankan kewajiban divestasi terhadap perusahaan tambang pemegang KK seperti Freeport, yang diatur dalam PP No 24/2012 tentang Kewajiban Divestasi Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar 51 persen.
Sementara UU Minerba mengamanatkan, begitu kontrak habis, seluruh rezim KK akan dihapus dan digantikan dengan rezim IUPK. Adapun kontrak Freeport akan habis pada 2021 mendatang.
“Seharusnya kewajiban divestasi dan smelter walau bukan dibangun oleh penambang adalah wajib. Justru pemerintah terkesan tidak memiliki political will yang kuat untuk memanfaatkan sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk rakyat. Kalau pemerintah hanya melihat PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebagai cermin kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, itu adalah konsep pengelolaan yang salah. Kalau Freeport divestasi setelah dapat IUPK maka nilai sahamnya pasti lebih mahal daripada divestasi sebelum diperpanjang. Ini menurut saya "kebodohan" pemerintah Indonesia,” beber Budi Santoso.
Budi kembali menegaskan, dengan mengubah KK menjadi IUPK juga menunjukkan tidak adanya kemauan pemerintah untuk mengelola sumber daya nasional. Sebab, dengan berakhirnya kontrak KK Freeport pada 2021 nanti, pemerintah sebetulnya mempunyai opsi memperpanjang kontrak atau memberikan mengambil alih pengelolaan Freeport.
“Namun paradigma pengelolaan minerba oleh pemerintah sekarang juga ternyata belum berubah. Bahwa kemakmuran sebesar-besarnya untuk rakyat tidak cuma dalam bentuk penerimaan negara. Tetapi dalam pertumbuhan dan daya saing industri nasional, pembangunan regional, peningkatan kompetensi industry dan tenaga kerja, dan membuka lapangan kerja. Pendapatan negara itu seharusnya ditempatkan di bagian paling akhir,” pungkasnya. RH
Aneka Keganjilan di Balik Relaksasi Ekspor Konsentrat
Reviewed by OG Indonesia
on
Rabu, Januari 11, 2017
Rating: